diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 09 Oktober 2014 Diperbaharui: 30 September 2020 Hits: 11557
- Perayaan12 Juli
- Lahir22 Agustus 1823
- Kota asalBordeaux, Gironde, Perancis
- Wafat
- 29 Juli 1894 di Arnières-sur-Iton, Eure, Perancis - oleh sebab alamiah
- Venerasi26 Maret 1994 oleh Paus Yohanes Paulus II (decree of heroic virtues)
- Beatifikasi19 Oktober oleh Paus Benediktus XVI di Kathedral Lisieux, Perancis
- Kanonisasi
- 18 Oktober 2015 oleh Paus Fransiskus
PUTERA SEORANG PERWIRA MILITER.
Louis Joseph Aloys Stanislaus Martin dilahirkan pada tanggal 22 Agustus 1823 di Bordeaux, Perancis. Ayahnya adalah seorang perwira militer bernama Kapten Pierre-Frençois Martin dan ibunya bernama Marie-Anne-Fanie Boureau. Sewaktu bayi Louis dibawa ke gereja untuk dibaptis, kebetulan Uskup Agung berada di sana; ia memberkati sang bayi dan mengatakan kepada orangtuanya, “Selamat! Anak ini adalah anak yang ditentukan.”
Keluarga Martin berpindah-pindah seturut tugas Kapten Pierre-Frençois. Baru setelah pensiun pada bulan Desember 1830, keluarga Martin lalu menetap di Alençon. Louis menonjol dalam sastra Perancis dan ia cakap melukis. Pada tahun 1842, pemuda Louis mulai belajar cara membuat jam di Rennes, Strasbourg dan Paris. Karena hatinya merasa terpanggil untuk hidup membiara, Louis pergi ke Biara Agustinian di pegunungan Swiss untuk mohon diperkenankan menggabungkan diri. Prior biara mengatakan bahwa ia tak dapat diterima jika tidak mengenal bahasa Latin. Yakin akan panggilannya, Louis belajar bahasa Latin selama satu tahun hingga penyakit membuatnya tanpa ragu mengerti bahwa Tuhan mempunyai rencana lain baginya. Ia tidak melanjutkan belajar bahasa Latin, melainkan melanjutkan magangnya sebagai pembuat jam.
PEMBUAT JAM TANGAN YANG SUKSES
Setelah cakap dalam pembuatan jam, pada bulan November 1850 Louis membuka tokonya sendiri di Alençon. Ia seorang yang jujur dan adil; ia amat berhati-hati dalam mematok harga yang pantas dan tak pernah mengambil keuntungan secara tak adil dari orang-orang kaya yang menjadi pelanggannya. Usaha Louis maju pesat sehingga ia dapat membuka sebuah toko perhiasan juga. Meski terkadang bisnis menuntut, tapi Louis sangat menghormati hari Minggu dan sama sekali tak mau bertransaksi pada hari Minggu. Tujuh tahun kemudian, ia membeli Pavilion, sebuah rumah mungil di pinggir kota, yang kemudian menjadi tempat retretnya. Selain suka mengunjungi tempat-tempat ziarah, Louis biasa pergi ke sana untuk membaca, berdoa dan memancing. Di taman Pavilion, ia menempatkan sebuah patung Bunda Maria. Louis amat murah hati kepada kaum miskin dan tiada pernah ragu mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan. Demikianlah ia hidup membujang dengan tenang selama nyaris delapan tahun, tanpa keinginan untuk menikah.
HIDUP BERKELUARGA
Suatu hari, ketika ia sudah berusia 35 tahun, Louis dipertemukan Tuhan dengan Zélie. Keduanya segera saling jatuh cinta dan tiga bulan kemudian mereka menerima Sakramen Perkawinan di Gereja Santa Perawan Maria di Alençon. Pasangan baru ini tinggal di belakang toko Louis yang besar. Zélie meminta Louis untuk membawa patung Santa Perawan dari taman Pavilion ke rumah mereka. Patung ini menjadi pusat devosi keluarga. Patung ini jugalah yang di kemudian hari tersenyum kepada St. Theresia ketika ia sakit parah, sehingga sesudahnya dikenal sebagai “Santa Perawan Tersenyum”.
Walau menikah namun Louis dan Zélie tetap merindukan kehidupan religius. Mereka saling berjanji untuk hidup sebagai saudara dan saudari, seturut teladan St. Yosef dan Santa Perawan Maria. Sepuluh bulan lamanya mereka berdua hidup selibat dalam pantang total. Melalui campur tangan yang bijak dari bapa pengakuan dan didorong kerinduan untuk mempersembahkan anak-anak kepada Tuhan, pada akhirnya mereka berdua memutuskan untuk mengakhiri pantangan mereka.
Louis amat bahagia ketika anaknya yang sulung - Marie Louise - dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1860. Louis dan Zélie telah memutuskan untuk memberikan nama Marie pada semua anak mereka demi menghormati Santa Perawan Maria. Anak sulung mereka dikenal dengan nama ini sepanjang hidupnya. Ketika Louis membawa puterinya ke Gereja St. Pierre de Monfort untuk dibaptis, Louis dengan bangga berkata kepada pastor, “Ini adalah pertama kalinya pater melihat saya di sini untuk suatu baptisan, tetapi ini bukan yang terakhir!” Marie Puteri sulungnya ini senantiasa menjadi anak yang dikasihinya secara istimewa.
Anak kedua Louis dan Zélie lahir pada tanggal 7 September 1861 dan diberi nama Marie Pauline. Selanjutnya, pada tanggal 3 Juni 1863, lahir anak ketiga Marie Léonie dan pada tanggal 13 Oktober 1864 lahir Marie Hélène anak mereka yang keempat.
Secara istimewa Louis dan Zélie bersukacita atas kelahiran putera sulung, Marie Joseph Louis, pada tanggal 20 September 1866. Sayang, usianya belum genap lima bu lan ketika bayi Joseph meninggal dunia, meninggalkan orangtuanya dalam keadaan amat berduka. Zélie menggencarkan doa memohon seorang putera melalui novena kepada St. Yosef; novena ini berakhir pada Hari Raya St.Yosef. Tepat sembilan bulan kemudian, 19 Desember 1867, Marie Joseph John Baptiste dilahirkan. Bayi ini lemah, sehingga Zélie tak kunjung henti berdoa agar puteranya diijinkan tinggal di dunia. Namun Tuhan berkehendak lain, delapan bulan kemudian Zélie harus berserah pada kenyataan bahwa Tuhan menghendaki John bagi Diri-Nya.
Pada tanggal 28 April 1869, lahir bagi mereka Marie Céline. Sementara itu, putri mereka Marie Hélène tiba-tiba jatuh sakit parah dan meninggal dunia. Zélie mengenang peristiwa duka itu, “Aku merasa amat kehilangan atas kematian dua putera kecilku, tetapi aku terlebih lagi menderita kehilangan anak ini.”
Meski Zélie tak putus harapan untuk melahirkan seorang putera, tetapi anaknya yang kedelapan adalah seorang puteri, Marie Mélanie Thérèse, yang hanya bertahan hidup dua bulan. Pada tanggal 2 Januari 1873, lahirlah si bungsu Marie Francoise Thérèse yang sekarang kita kenal sebagai St.Theresia dari Kanak-kanak Yesus.
Louis berbahagia di kelahiran setiap anaknya dan berduka ketika tiga dari mereka meninggal dunia semasa bayi; tetapi dukanya yang terdalam adalah ketika Hélène meninggal dunia. Ia patah hati dan bahkan bertahun-tahun kemudian masih sering meratapi kematiannya dalam usia dini.
Setiap pagi Louis dan Zélie ikut ambil bagian dalam Misa. Mereka berdua menyambut Komuni Kudus beberapa kali dalam seminggu; sesuatu yang tak lazim pada masa itu. Sepulang gereja, Luois pergi bekerja mengurus bisnis jam dan perhiasan sementara Zélie mulai bekerja mengurus bisnis renda di rumah dengan lima belas pekerja.
Louis senantiasa melakukan segala yang dapat dilakukannya untuk membantu Zélie. Pada bulan April 1870, guna membaktikan lebih banyak waktu untuk membantu bisnis Zélie, Louis menjual bisnisnya sendiri dan bulan Juli 1871 membawa keluarganya pindah ke rumah lama Zélie. Louis mengambil alih keuangan, menangani marketing, pengiriman barang dan bahkan ikut memilih dan menggambar pola renda.
Louis suka melewatkan waktu bersama kelima puterinya dan ia menyenangkan mereka dengan mainan-mainan yang ia buat sendiri bagi mereka. Namun demikian, ia seorang yang tegas, menuntut ketaatan dan mengharapkan ketepatan waktu. Anak-anak menghormatinya karena kasih sayang kepada ayahnya. Louis mempunyai panggilan kesayangan bagi masing-masing anaknya: Marie adalah Permataku, Pauline Mutiaraku, Léonie Hatiku, Céline Pendekarku dan Thérèse Ratu Kecilku.
Ketika puteri sulungnya Marie terjangkit demam typhus dalam usia tigabelas tahun, Louis tak pernah beranjak dari sisi pembaringan puterinya. Dan demi memohon kesembuhan, ia berziarah dengan berjalan kaki sejauh 15 km ke Basilika Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa dan berpuasa. Keesokan harinya, ketika tiba kembali di rumah, puterinya telah sembuh sama sekali dari sakit secara ajaib.
KEMATIAN ZÉLIE
Pada bulan Oktober 1876, Zélie didiagnosa menderita tumor fibrous kepala. Tak ada operasi maupun obat-obatan yang dapat memberinya harapan sembuh. Malam hari sakit terasa paling hebat dan tubuhnya mati rasa sebelah, membuatnya sulit memejamkan mata. Louis amat berduka ketika mengetahui isterinya sakit parah tak tersembuhkan. Ia tak lagi pergi memancing, melainkan senantiasa setia mendampingi isterinya. Dalam sakitnya, Zélie tetap setia ikut ambil bagian dalam Misa meski ia nyaris sepanjang waktu harus mengerahkan tenaga menahan sakit agar tak berteriak kesakitan.
Setelah kunjungan ke Lourdes mohon kesembuhan yang tampaknya sia-sia, Zélie menulis, “Jika Santa Perawan Maria tak menyembuhkanku, berarti waktuku telah tiba dan bahwa Allah menghendakiku mendapatkan istirahatku di tempat selain dunia.” Pada tanggal 28 Agustus 1877, Zélie Martin pulang ke rumah Bapa.
Setelah kematian istrinya, Louis dan keluarganya pindah ke Les Buissonnets di Lisieux. Disana, siang hari biasanya dilewatkan Louis dengan mengunjungi gereja-gereja dan Sakramen Mahakudus. Sore hari dilewatkan bersama anak-anaknya dengan membaca bacaan dari Tahun Liturgi atau bacaan-bacaan yang sudah dipilihnya. Louis akan bercerita dan menyanyi bersama mereka. Acara selalu diakhiri dengan doa keluarga. Bersama Isidore Guérin, seorang kerabat almarhumah istrinya, Louis membentuk Serikat Adorasi Malam di Lisieux, dan ia juga aktif dalam Serikat St. Vincentius de Paul.
ALTAR DAN KURBAN
Ketika Pauline menyatakan keinginannya untuk masuk Karmel, Louis menanggapi, “Pauline, Papa memberimu ijin untuk masuk Karmel demi kebahagiaanmu, tetapi janganlah berpikir bahwa tak ada pengorbanan dari pihak Papa, sebab Papa amat sangat mengasihimu.” Hatinya pedih kehilangan seorang anak dalam lingkup keluarga, sekaligus bahagia bahwa doa-doanya bersama Zélie agar masing-masing anak dikonsekrasikan kepada Tuhan mulai terpenuhi. Marie Pauline menggabungkan diri dalam Biara Karmel di Lisieux pada bulan Oktober 1882 dan kelak dikenal sebagai Moeder Agnes dari Yesus.
Ketika si sulung Marie memohon ijin untuk masuk Karmel juga, Louis terguncang. Ia memandangi puteri kesayangannya dengan airmata berlinang, “Tuhan tidak dapat meminta kurban yang terlebih besar dari ini dariku. Papa pikir engkau tak akan pernah meninggalkan Papa!” Marie menggabungkan diri dalam Biara Karmel di Lisieux pada bulan Oktober 1886 dan kelak ia dikenal sebagai Suster Maria dari Hati Kudus.
Ketika kemudian si bungsu Thérèse meminta ijin untuk masuk biara Karmel, Louis sama sekali tidak terkejut. Meski puterinya itu baru berusia empatbelas tahun namun Louis sadar bahwa Thérèse mempunyai panggilan sejati untuk hidup kudus. Louis malahan mempertaruhkan namanya dianggap sebagai ayah yang tidak bijak sebab ia dengan segenap hati membantu puterinya yang masih dibawah umur dan mengupayakan ijin dari otoritas Gereja untuk dapat masuk biara. Ia sendiri yang menghantarkan Ratu Kecilnya menghadap Uskup dan bahkan Bapa Suci demi mendapatkan ijin yang diperlukan. Perjuangan mereka membuahkan hasil; pada bulan September 1888, Thérèse dengan ijin khusus diperbolehkan masuk Biara Karmel di Lisieux dalam usia limabelas tahun. Marie-Françoise-Thérèse inilah yang sekarang kita kenal sebagai Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus, wanita ketiga yang digelari Doktor Gereja.
Léonie yang kesehatannya senantiasa rapuh sejak masa kecilnya juga meninggalkan rumah untuk masuk Biara St. Klara yang sangat keras. Sayang ia harus pulang karena alasan kesehatan, dan setelah dua kali gagal karena alasan yang sama, pada akhirnya Léonie dapat menggabungkan diri dalam Biara Visitasi di Caen pada bulan Januari 1899 dan dikenal sebagai Suster Francoise Thérèse.
Pada bulan Mei 1888, ketika imam Katedral St. Pierre, gereja paroki Louis, memaklumkan bahwa ia memulai suatu pengumpulan dana untuk altar utama, Louis menyumbangkan seluruh jumlah yang diperlukan. Thérèse berkomentar, “Papa baru saja memberikan sumbangan kepada Allah untuk sebuah altar, dan ia sendirilah yang dipilih sebagai kurban untuk dipersembahkan bersama dengan Anak Domba tanpa cela.”
Bulan yang sama Louis pergi ke Alençon. Ia mengunjungi Gereja Santa Perawan Maria di mana ia dan Zélie menikah. Di sana, di hadapan altar ia mempersembahkan dirinya sebagai kurban. Kepada puteri-puterinya ia mengatakan, “Anak-anakku, Papa telah kembali dari Alençon, di mana di Gereja Santa Perawan Maria Papa menerima rahmat yang begitu besar, penghiburan yang begitu rupa, hingga Papa memanjatkan doa ini: “Allah-ku, ini terlalu banyak! Ya, aku terlalu bahagia; tidaklah mungkin pergi ke surga seperti ini, aku ingin menderita sesuatu bagi-Mu! Dan aku mempersembahkan diriku….” Kata “kurban” tak terluncur dari bibirnya, ia tak berani mengucapkannya, tetapi puteri-puterinya mengerti.
Bulan berikutnya, Juni 1888, Céline menunjukkan kepada ayahnya lukisan Santa Perawan Maria Berdukacita dan St. Maria Magdalena yang baru saja selesai dilukisnya. Louis begitu terkesan dan bermaksud membawa Céline ke Paris agar ia dapat belajar dari seorang artis professional. Céline menjelaskan bahwa ia tak ingin belajar di Paris, sebab ia berharap suatu hari nanti dapat mengikuti jejak saudari-saudarinya di Biara Karmel. Tetapi sekarang, ia ingin bersama Papa dan merawat Papa hingga akhir. Dihadapkan pada kurban baru ini, Louis menanggapinya secara mengagumkan, “Mari kita pergi bersama mengunjungi Sakramen Mahakudus untuk mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberiku kehormatan dengan mengambil semua anak-anakku.” Marie Céline kelak menggabungkan diri dalam Biara Karmel di Lisieux pada bulan September 1894 dan dikenal sebagai Suster Genoveva dari Wajah Kudus.
KURBAN TERAKHR
Sementara itu, kesehatan Louis mulai memburuk. Ia juga mengalami hilang ingatan yang cukup parah. Dalam perjalanan ke Le Havre, ia hilang selama empat hari sebelum akhirnya keluarga menemukannya dalam keadaan bingung. Kesehatannya yang menurun drastis membuat Louis tampak tua dan letih; ia juga mengalami stroke. Karena sering “menghilang”, atas desakan Isidore Guérin, pada bulan Februari 1889 Louis dirawat di Rumah Sakit Jiwa “Bon Sauveur” di Caen.
Ia yang begitu disegani dan dihormati tenggelam dalam keterpurukan yang paling ngeri. Ia minum dari “yang paling pahit dan paling hina dari segala piala,” tulis Thérèse. Di sini ia menghabiskan sebagian besar waktu di kapel dan menyambut Komuni Kudus setiap hari. Ia membagikan apa yang ia miliki dengan pasien-pasien lain dan tidak pernah mengeluh meski ia merasa menderita dipisahkan dari keluarga. Kepada dokternya Louis mengatakan, “Aku terbiasa memerintah, dan di sini aku harus taat. Sungguh berat! Tetapi aku tahu mengapa Tuhan mengirimkan pencobaan ini kepadaku. Aku tak pernah dihinakan sepanjang hidupku; aku perlu mengalaminya.”
Setiap minggu, puteri-puterinya menjenguk Louis di Caen hingga ia dapat kembali ke rumah pada bulan Mei 1892. Pada waktu itu stroke Louis telah melumpuhkan kedua kakinya, hingga mereka tidak perlu takut ia menghilang. Dua hari kemudian Louis dibawa mengunjungi puteri-puterinya di Karmel. Ketika dikabarkan bahwa Pauline telah dipilih sebagai Moeder Priorin, Louis menanggapi, “Mereka tidak dapat memilih yang lebih baik.”
Pada bulan Mei 1894, Louis mengalami stroke parah yang melumpuhkan lengan kirinya. Pada bulan Juni ia mendapat serangan jantung yang serius. Bulan berikutnya Louis kembali mendapat serangan jantung yang cukup lama, hingga suatu pagi keluarga mendapati tubuh Luois telah dingin bagai es. Céline berada di sisi pembaringan ayahnya sembari memanjatkan doa kepada Yesus, Maria dan Yosef untuk kematian yang bahagia bagi ayahnya. Luois memandangi wajah puterinya dengan penuh cinta dan terima kasih, lalu menutup mata. Isidore mengambil salib dan menekankannya beberapa kali ke bibir Louis agar ia dapat mengecupnya.
Luois Martin tutup usia dengan damai pada tanggal 29 Juli 1894. Isidore dengan terharu mengatakan bahwa belum pernah ia melihat kematian yang terlebih damai dari itu. Jenazah Louis dibawa kembali ke Lisieux dan dimakamkan pada tanggal 2 Agustus 1894 sesudah Misa Requiem di katedral. Kepada saudari-saudarinya di Karmel, Céline menulis, “Papa sudah di surga.”
BEATIFIKASI DAN KANONISASI
Pada tahun 1957 proses beatifikasi Louis dan Zélie Martin diajukan bersama. Pada tanggal 26 Maret 1994 Louis dan Zélie Martin dimaklumkan sebagai Venerabilis oleh Paus Yohanes Paulus II. Pada tanggal 19 Oktober 2008, Hari Minggu Misi Sedunia, Louis dan Zélie Martin dibeatifikasi di Basilika St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Lisieux Perancis. Salah satu Mujizat yang terpilih sebagai syarat bagi proses Beatifikasi suami istri ini adalah mujizat penyembuhan secara ajaib kondisi paru-paru congential yang biasanya fatal yang diderita oleh bayi Pietro Schiliro dari Monza, Italia. Penyembuhan ajaib ini terjadi setelah novena yang dipanjatkan oleh ibu Pietro dengan perantaraan Louis dan Marie-Blessed Azelie.
Berikut kutipan homili sebagaimana disampaikan Kardinal Jose Saraiva Martins, Mantan Prefek Kongregasi untuk Masalah Santa Santo, mewakili Bapa Suci Paus Benediktus XVI :
… Di antara panggilan dengan mana individu dipanggil oleh Penyelenggaraan Ilahi, perkawinan merupakan salah satu dari yang paling tinggi dan paling luhur. Louis dan Zélie tahu bahwa mereka dapat menjadi kudus, bukan dengan menghindari perkawinan, melainkan melalui, dalam dan dengan perkawinan, dan bahwa mereka menjadi pasangan suami isteri merupakan awal dari suatu pendakian bersama. Pada hari ini Gereja tak hanya merayakan kekudusan putera dan puteri Normandy ini, yang merupakan anugerah bagi kita semua, melainkan mengagumi juga, dalam pasangan Beato dan Beata ini apa yang membuat gaun pengantin Gereja menjadi terlebih indah dan cemerlang. Kasih suami isteri Louis dan Zélie merupakan suatu gambaran murni dari kasih Kristus bagi Gereja-Nya, dan juga suatu gambaran murni dari kasih yang cemerlang yang tanpa cacat atau kerut, melainkan kudus dan tak bercela (Efesus 5:27) sebagaimana Gereja mengasihi Mempelai-nya, Kristus. Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Efesus 1:4).
… Tetapi, apakah rahasia keberhasilan mereka dalam mengamalkan hidup sebagai orang-orang Kristen? Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah-mu (Mikha 6:8). Louis dan Zélie, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hidup dengan rendah hati di hadapan Allah dalam mencari kehendak Allah; Tuan, beritahukanlah kehendak-Mu kepada kami. Mereka mencari kehendak Allah. Mereka haus untuk mengetahui kehendak Allah. Mereka mencintai kehendak Allah. Mereka menerima kehendak Allah tanpa prasangka, tanpa menawar atau bahkan yang lebih parah, menolak. Dan demi memastikan bahwa mereka mengikuti kehendak Allah yang benar, mereka berpaling kepada Gereja, guru ahli mengenai kemanusiaan, dan kepada ajaran-ajarannya.
Tak ada suatu aspek pun dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan publik mereka yang tidak dalam keselarasan sempurna dengan ajaran-ajaran Gereja, dalam era mereka maupun dalam era kita. Sebab bagi Tuan dan Nyonya Martin, apa yang menjadi hak kaisar dan apa yang menjadi hak Allah sangatlah jelas. “Tuhan Allah-ku yang utama dilayani,” kata St .Yoana dari Arc. Keluarga Martin menjadikan itu sebagai motto keluara mereka. Penyerahan total pasangan ini pada kehendak Allah sungguh luar biasa. Ketika penderitaan menjamah hidup mereka, reaksi spontan mereka adalah selalu menerima kehendak Allah. Nyonya Martin kerap mengatakan: “Allah adalah Tuan. Ia melakukan apa yang Ia kehendaki.” Tuan Martin menggemakan perkataan isterinya ketika mengatakan: “Allah terlebih dahulu dilayani.” Suami dan isteri, mereka melayani Allah dalam mereka yang miskin, bukan karena kemurahan hati, bukan karena rasa keadilan sosial, melainkan hanya karena dalam kaum miskin mereka mengenali Yesus. Melayani kaum miskin adalah melayani Yesus, adalah memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:24-40).…
Louis dan Zélie mewakili anugerah bagi pasangan-pasangan suami isteri dari setiap masa dengan hormat dan keharmonisan yang menandai kasih mereka selama sembilanbelas tahun. Zélie mengungkapkannya ketika ia menulis kepada Louis: “Aku tak dapat hidup tanpamu, Louis sayang.” Dan suaminya menanggapi, “Aku suamimu dan sahabatmu yang kasihnya adalah milikmu untuk selamanya.” Mereka dengan gagah berani mengamalkan janji setia perkawinan yang mempersatukan mereka, untuk saling setia dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit; untuk saling mencintai dan saling menghormati seumur hidup.
Louis dan Zélie mewakili anugerah bagi para orangtua: Sebagai pelayan kasih dan kehidupan, mereka melahirkan sembilan orang anak bagi Tuhan. Di antara anak-anak ini, secara istimewa kita mengagumi Thérèse.
Louis dan Zélie mewakili anugerah bagi mereka semua yang kehilangan pasangan hidup. Selalu sulit orang menerima kenyataan bahwa dirinya menjadi duda. Louis menghadapi wafat isterinya dengan iman dan kemurahan hati, memilih pindah ke Lisieux demi kebaikan anak-anaknya, meski ia sendiri lebih suka tinggal di Alençon. Louis dan Zélie mewakili anugerah bagi mereka semua yang menghadapi penyakit dan kematian. Zélie wafat karena kanker. Hidup Louis berakhir setelah serangkaian stroke yang melumpuhkan.
Dalam dunia modern kita yang berupaya menyembunyikan diri dari kematian, mereka mengajarkan kepada kita untuk berani menghadapinya dengan penyerahan diri kepada Allah. Akhirnya, saya mengucap syukur kepada Tuhan, dalam Hari Misi Sedunia yang ke-82 ini, sebab Louis dan Zélie memberikan kepada kita suatu contoh teladan dari sebuah rumah tangga yang misionaris. Itulah sebabnya Bapa Suci menghendaki beatifikasi dilangsungkan pada hari ini yang merupakan hari berharga bagi Gereja Semesta, untuk mempersatukan guru Louis dan Zélie dengan murid Thérèse, puteri mereka, yang adalah Pelindung Misi dan Pujangga Gereja.
… Saudara dan saudariku, semoga keluarga-keluarga kalian, paroki-paroki kalian, komunitas-komunitas religius kalian di sini di segenap penjuru dunia, juga menjadi rumah-rumah tangga para kudus dan misionaris, sebagaimana rumah tangga pasangan suami isteri Beato Louis dan Beata Zélie Martin. Amin.
Suami isteri kudus ini dikanonisasi bersama oleh Paus Fransiskus pada tanggal 18 Oktober 2015. Pesta pasangan ini juga dirayakan bersama pada tanggal 12 Juli, tanggal ulang tahun perkawinan mereka.
No comments:
Post a Comment