Friday, July 21, 2023

Masa Menguntungkan?

Di dalam suratnya kepada kaum lansia pada tahun 1999 (Surat Kepada Umat Lanjut Usia), Santo Yohanes Paulus II merangkum keindahan kelansiaan dengan mengutip Mazmur 92:13.15-16. Saya merenungkan kutipan itu sebagai pegangan untuk menjadi lansia yang subur dan segar sebagai pewarta kebaikan Allah. Dalam hal ini almarhum Paus Yohanes Paulus II mengetengahkan kata-kata Santo Paulus dalam surat kepada Titus 2:2-5 yang menurut saya menjadi pegangan kejiwaan lansia sebagai pewarta iman :

·       Laki-laki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan.

·       Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah ….., tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda, mengasihi suami dan anak-anaknya. 

Bagi saya yang paling mengesan adalah bahwa Santo Yohanes Paulus II menyebut kesemua itu menyajikan lanjut usia sebagai “masa yang sungguh menguntungkan”. Itu menjadi masa yang mengantar hidup hingga pemenuhan sehingga tercapai berhimpunnya segala sesuatu untuk menangkap arti hidup dan mencapai “kebijaksanaan hati”. Sejauh saya ketahui, yang disebut kebijaksanaan hati adalah kesadaran dan penghayatan akan hadirat Tuhan secara kongkret sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan pola jiwani. Di sini Santo Yohanes Paulus II menunjukkan pentingnya ”mengkaji ulang masa lampau” (Surat no. 2). Bagi saya lewat keheningan saya harus memasukkan pengalaman atau kisah masa lampau yang rasa-rasanya masuk melakat dalam ingatan masa kini. Ini harus dimasukkan dalam hati menjadi renungan seperti Bunda Maria yang “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (Luk 2:19)

Sebagai sharing perkenankanlah saya menyampaikan salah satu kisah saya :

BISA PUNYA BANYAK ORANG DEKAT

Situasi Tidak Beres

Kalau omong tentang kelahiran, aku hanya tahu lewat dokumen-dokumen bahwa hari lepasku dari rahim ibu adalah tanggal 30 Januari 1951. Katanya, itu adalah hari Selasa. Katanya,  menurut hari penanggalan Jawa itu itu adalah hari Pon. Ada juga yang omong tentang Wuku.  Wuku adalah bagian dari suatu siklus dalam penanggalan Jawa dan Bali” kata https://id.wikipedia.org. Katanya, saya masuk Wuku Warigagung. Ah, saya tidak akan omong tentang Pon dan Warigagung, karena saya tidak tahu tentang primbon Jawa. Bahkan tentang bintang Aquarius pun saya juga tak akan menseriusi karena saya tak mempunyai minat tentang perbintangan. Saya hanya mau bicara tentang masa bayi dan balita saya. Inipun hanya menurut kisah dari beberapa orang yang saya dengar.

Katanya, bapak saya meninggalkan ibu ketika saya masih berada dalam kandungan. Saya lahir ketika bapak dan ibu sudah bercerai. Situasi inilah yang barangkali membuat ketika lahir katanya saya diberi nama Sudarwanti. Lho, saya lahir berjenis kelamin laki-laki, ta?. Mengapa saya mendapatkan nama perempuan? Ketika sudah gede saya menafsirkannya dengan kacamata kebiasaan Jawa. Bagi yang lahir dalam suasana tidak beres, orang tua bercerai adalah salah satu ketidakberesan, harus ada tanda peringatan. Nah, nama perempuan untuk saya barangkali untuk menandai keberadaan saya dalam situasi tidak beres. Katanya, nama Sudarwanti tidak lama saya sandang. Kemudian ada penggantian nama menjadi Sudarwanto. Ini memang nama laki-laki. Tetapi, barangkali untuk tetap menunjukkan situasi ketidakberesan, ada penambahan kata “Tegowiyono” sehingga saya bernama Sudarwanto Tegawiyono, yang barangkali berarti Sudarwanto itu adalah “anak yang ditegakan”. Siapa yang tega? Dialah bapak yang meninggalkan.

Katanya, ketika berusia satu tahun saya sudah dapat berjalan. Tetapi pada suatu hari saya menderita sakit panas dan kemudian dibawa ke klinik desa. Saya mendapatkan injeksi dari seorang mantri kesehatan. Akibat injeksi ini saya tidak dapat berjalan. Kaki kiri menjadi lemah. Almarhum dokter Supranjono, seorang super spesialis ortopedi yang mengoprasi kaki kiri saya ketika berumur 24 tahun pada tahun 1985, menduga bahwa obat yang disuntikkan sudah kedaluwarsa. Orang bilang, saya mulai dapat berjalan ketika berumur 5 tahun. Peristiwa dapat berjalan, walau dalam kondisi kaki pincang, ditandai dengan penggantian nama menjadi Bambang Sutrisno.

Untung Kehilangan Bapak?

Kini saya adalah imam tua dan difabel yang tinggal di rumah tua. Pada suatu hari saya mendapatkan informasi bahwa akan datang rombongan kecil untuk mengunjungi salah satu teman imam yang juga sudah tua bahkan lebih tua dari saya. “Engko arep ana tamu nggo kowé. Arep ngulang taunké kowé” (Nanti akan ada tamu untukmu. Akan menyambut ulang tahunmu) saya berkata kepadanya. Apa jawabnya? “Ora penting!” (Itu bukan hal penting) ucapnya dengan nada ditekan. Terus terang, saya tidak terkejut dengan respon yang diberikan. Saya sudah menerima informasi dari salah seorang umat paroki yang telah ditinggalkan. Saya diberitahu bahwa teman saya ini sebenarnya tidak pernah mau diulangtahuni. “Setiap ulang tahun beliau selalu ingat bapaknya yang wafat pada hari lahirnya” umat itu memberi tahu. Saya memang tahu bahwa teman rama itu sungguh dekat dengan bapaknya. Sejak masih menjadi mahasiswa Seminari Tinggi sebulan sekali dia mengambilkan uang pensiun untuk bapaknya yang sudah tua.

Sebenarnya saya di dalam keluarga juga dekat dengan bapak. Sejak tak dapat berjalan ketika umur satu tahun, katanya saya diambil oleh nenek, ibu bapak saya. Sejak itu saya hidup bersama bapak dan ibu tiri. Ternyata bapak saya tidak hanya dua kali beristri. Paling tidak saya mengalami tiga kali ibu tiri. Tetapi dari beberapa kali kawin, bapak hanya punya saya sebagai satu-satunya anak. Bahkan akhirnya, sesudah saya menjadi mahasiswa seminari, bapak saya menduda. Tetapi, sekalipun saya tetap menjaga hubungan baik dengannya, rasa-rasanya saya terbentuk oleh rasa biasa menanggung beban hati sendiri. Saya merasakan bapak lebih dekat dengan ibu tiri. Sejak SMP saya tinggal sendiri di salah satu rumah milik bapak.

Bapak saya wafat pada November 1980. Padahal pada saat itu undangan tahbisan saya sudah akan disebarkan. Sanak keluarga dan umat Lingkungan asal saya sudah menyiapkan perayaan. Bapak wafat dua bulan sebelum saya menerima Sakramen Tahbisan. Bahkan bapak wafat sehari sebelum saya menghadapi ujian akhir. Saya memang kehilangan bapak. Pada saat hari tahbisan 22 Januari 1981 sosok bapak sudah tidak tampak. Kemudian saya menjalani imamat tanpa bapak. Dan itu saya jalani hingga kini dengan tenang. Apakah ini karena saya boleh menikmati karunia Allah yang sudah memberi landasan hidup ditinggal bapak sejak masih dalam kandungan? Apakah ini adalah karunia Allah yang membiasakan hidup saya kurang begitu dekat batin dengan bapak karena kebersamaannya dengan ibu(-ibu) tiri? Jujur saja, saya meyakini bahwa semua pengalaman berhubungan dengan bapak adalah karunia Allah. Tuhan memberikan rahmat khusus dalam penghayatan imamat saya. Saya mampu melandaskan diri pada keluarga yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus Kristus. Keluarga dan sanak saudara saya tidak hanya terbatas pada garis silsilah. “Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku." (Mat 12:50) Untuk diri saya justru karena kedekatan saya dengan orang-orang yang ikut Tuhan Yesus, saya dapat tuntunan untuk mendekat dengan keluarga dan sanak saudari baik dari garis ayah maupun garis ibu kandung.

Rm. Bambang

No comments:

Post a Comment

Santo Bruno, Pengaku Iman

diambil dari https://www.imankatolik.or.id/kalender/6Okt.html Bruno lahir di kota Koln, Jerman pada tahun 1030. Semenjak kecil ia bercita-ci...