Tuesday, July 11, 2023

Sisi Menceriakan


Ketika masuk Domus Pacis Puren, rumah untuk para romo praja sepuh dari Keuskupan Agung Semarang, saya mengawali dengan niat menemukan kekrasanan lebih dahulu. Di dalam kamar nomor 10 saya sering berbicara dengan diri sendiri “Sebelum aku merasakan kenyaman batin dalam kamar ini, aku tak akan punya aktivitas luar”. Tentu saja kalau diminta bantuan memimpin Misa ujub keluarga, syukur jarang terjadi, saya melakukannya. Maklumlah, memimpin Misa merupakan hal yang melekat pada kehidupan imamat. Pada tahun 2010 saya pernah punya catatan berikut :

Ketika datang ke kamar saya pada bulan September untuk memberikan uang saku bulanan, Rama Suka sang Minister Domus Pacis berkata “njenengan krasan teng kamar, nggih”. Saya hanya tertawa. Saya tidak bilang pada beliau bahwa program pertamaku tinggal di Domus Pacis mulai dengan 1 Juli 2010 adalah sungguh secara fisik menjadi bagian dari gedung Domus. Walau kadang pergi melayani permintaan misa, tetapi saya memang jauh lebih banyak menempatkan tubuh saya dalam kamar. Saya yakin dengan berjuang mencintai kamar dan senang di kamar, saya akan sungguh jadi bagian gedung Domus Pacis. Yang saya lakukan adalah doa, baca-baca, dan terutama nonton televisi sehingga akrab dengan jadwal tayangan masing-masing stasiun TV.

Bagi saya rasa mencintai kamar dan senang di kamar mengalir dari keceriaan relung hati. Hal ini akan tampak dalam perilaku yang mudah tertawa. Pada waktu itu kami para romo yang tinggal di Domus berjumlah 6 orang termasuk saya. Lima orang lain adalah :

  •  Rm. Yadi. Umurnya sudah melewati 74 tahun. Tetapi semangat pelayanannya hebat sekali. Memang, beliau melayani umat “hanya” untuk Perayaan Ekaristi. Akan tetapi hujan dan panas tidak mengahalangi beliau bersepeda motor menuju Paroki Salam, Godean, dan beberapa tempat lain di Yogya bahkan ada juga yang di Sala.
  •  Rm. Agung. Warga termuda di Domus Pacis. Tetapi dalam hal kematangan kepedulian kepada sesama warga serumah termasuk para karyawan, menurut saya beliaulah yang paling senior. Wawasannya paling luas. Tetapi segala pertimbangan yang disajikan oleh beliau selalu siap dilengkapi dengan tindakan operasional termasuk sharing finansialnya.
  •  Rm. Harto. Kekuatan fisik memang tidak dapat diharapkan dari beliau. Akan tetapi dalam diri Rama Harta terdapat magnit batin yang kuat luar biasa. Keberadaan beliau di Domus Pacis membuat rumah ini banyak dikunjungi oleh banyak orang Katolik dan yang beragama lain. Kedatangan banyak orang terutama dilandasi oleh harapan mendapatkan anugerah-anugerah ilahi berkat dukungan doa Rama Harto. Beliau selalu mengajak pengunjung di kamarnya untuk berdoa terutama Doa Rosario.
  • Rm. Joko. Tertawa Rama Joko biasa membahana di teras-teras dalam Domus Pacis. Rama ini amat sangat peduli dalam keperluan-keperluan fisik-duniawi warga Domus. Beliau pun biasa berada di dapur untuk mengawasi, memberikan saran, bahkan juga melakukan sendiri kegiatan masak. Segala sembronoan berkaitan dengan makanan akan mudah menjadi kenyataan karena kepekaan Rama Joko.
  • Rm. Harjaya. Ditulis dalam urutan terakhir, karena beliaulah yang menurut saya paling utama. Bukan karena Rama Harjaya dahulu adalah Vikjen bahkan Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang. Dalam beliaulah warga lain Domus Pacis mendapatkan rambu atau pertanda religius apakah sungguh murid Yesus atau tidak. Rama Harjayalah, yang dalam segala kelemahan dan kekurangannya, justru menghadirkan sosok Tuhan Yesus Kristus. Bersama Rama Harjaya paling tidak bagi saya terdapat cermin apakah saya dapat tenang bersama Yesus atau malah terganggu oleh kehadiranNya.

Kondisi Rm. Harjaya adalah yang paling rentan sehingga membutuhkan pelayanan dalam segala hal. Memorinya bisa dikatakan sudah menghilang sehingga sudah lupa dengan siapapun bahkan mungkin juga terhadap dirinya sendiri. Beliau selalu berada dalam pengawasan dan dijaga jangan sampai keluar dari dalam rumah. Tetapi justru dalam diri Rm. Harjaya bagi saya ada pembelajaran mendalam untuk berjumpa dengan Tuhan Yesus Kristus secara kongkret. Memang harus diakui, kalau agak lepas dari pengawasan, Rm. Harjaya mudah menimbulkan rasa terganggu bagi teman serumah. Tetapi entah bagaimana, saya dapat menemukan diri tidak terganggu bahkan bisa merasa dekat dengan beliau. Saya pernah menyampaikan pengalaman dalam buku saya Sejimpit Butir-butir Catatan dari Rumah Tua dalam judul “Belajar dari Yesus “Sang Pengganggu”” (Penerbit Pohon Cahaya : 2018 hal 106-108). Di situ saya menuliskan salah satu pengalaman gangguan dari Rm. Harjaya bagi romo-romo lain tetapi tidak demikian dengan diri saya. Kisahnya adalah sebagai berikut :


Hééé ........ Hééé .........

 

Di bulan Juli 2010 tanggal 1 saya menemukan Rm. Harjaya sudah tidak memiliki kosa kata sama sekali sebagaimana saya ketemukan pada tahun 2004 dan 2006 ketika saya numpang sementara di Domus Pacis. Tetapi kekhawatiran para warga Domus Pacis terhadap gangguan dari Rm. Harjaya masih sangat terasa. Saya masih kerap tertawa geli dan terbahak-bahak pada saat kami (Rm. Agung, Rm. Joko, Rm. Yadi dan saya) sedang kumpul-kumpul ndombos (omong kosong ke sana-sini tanpa tema) tiba-tiba harus bubar tercerai berai. Mengapa? Karena Rm. Harjaya keluar dari kamarnya dan mulai berjalan-jalan. Mungkin di benak para rama Domus Pacis beliau akan melakukan inspeksi ke kamar-kamar dan melakukan penyitaan barang di kamar para rama sesuai dengan seleranya. Maka para rama yang sedang asyik ndobos segera kembali ke kamar masing-masing untuk menjaga barang-barangnya atau paling tidak mengunci kamar dari luar. Lebih menggelikan bila Rm. Harta Widodo sedang di luar kamar omong-omong dengan rama lain atau saya. Tiba-tiba mulutnya mangap-mangap (berbicara tapi suara terlalu lemah) dan tangannya menunjuk-nunjuk. Ternyata dia khawatir Rm. Harjaya masuk kamarnya.

 

Kalau peristiwa seperti itu terjadi, saya hanya tertawa dan merasa senang sekali seperti mendapatkan pertunjukan komedi yang amat bagus. Terus terang, saya tidak pernah merasa takut kehilangan terutama lodhong atau kaleng berisi makanan. Memang, saya dapat merasa kehilangan kalau yang diambil buku. Untunglah saya mendapatkan pengalaman yang ternyata dapat “mengendalikan” Rama Harjaya. Kalau beliau masuk kamar saya dan saya ada di dalam, saya biasa menyediakan makanan kering. Dia sering saya suapi dan selalu tampak lahap. Sering kali ada karyawan yang menyertainya dan tentu saya minta untuk menyuapi makanan yang sudah tersedia sementara saya mengerjakan ini itu atau sekedar nonton TV. Suatu ketika, kala saya sedang nonton TV, tiba-tiba Rm. Harjaya masuk kamar saya dan mulai melihat-lihat buku-buku yang ada di meja sementara telapak tangannya menyentuh-nyentuhnya. “Aduh, bahaya nih!” pikir saya. Padahal dalam hal jalan saya juga mengalami kesulitan karena harus ambil kruk dulu. Kalau beliau ambil buku lalu lari keluar, saya tak akan dapat mengejarnya. Tiba-tiba saya berteriak “Hééé ..... hééé ......” Ternyata Rama Harjaya terus memandang saya. Entah mengapa tangan kanan saya terangkat dengan jari telunjuk menudingnya dan bergerak-gerak. Ééé ...... tiba-tiba beliau membalikkan tubuh lalu pergi keluar. Ketika teriakan “Hééé ..... hééé ......” dan gerakan telunjuk saya ulangi saat berada di luar kamar dan Rm. Harjaya mau masuk kamar saya, ternyata beliau batal masuk. Nah, inilah yang membuat saya selalu hanya tertawa kalau kami beberapa rama Domus sedang ndobos bareng dan Rm. Harjaya mulai berkeliling. Kalau rama-rama lain lari ke kamar masing-masing, saya cukup melihat dari jauh apakah beliau akan masuk kamar saya atau tidak. Kalau ya, saya cukup berteriak “Hééé ..... hééé ......”, dan kalau beliau melihat saya, saya cukup mengangkat tangan kanan dengan telunjuk bergerak-gerak. (hal 106-108)

Jujur saja, saya sering mikir-mikir mengapa Rm. Harjaya begitu ikut yang saya komandokan. Ketika mencoba menelusuri jejak-jejak yang sudah lewat, saya teringat peristiwa bulan Mei-Juni 2026. Saya memang pernah numpang tinggal 2 kali di Domus Pacis Puren sebelum menetap mulai tahun 2010. Pertama terjadi pada Oktober 2004 selama sebulan. Pada waktu itu saya baru saja opname di RS Panti Rapih oprasi empedu. Kemudian, ketika menjalani 6 bulan sabatikal, saya tinggal di Domus Pacis pada Mei dan Juni 2006. Pada Mei saya live in kerja di RS Panti Rapih diteruskan bulan Juni refleksi didampingi alm. Rm. Purwatmo, Pr. Berkaitan dengan Rm. Harjaya saya hanya sempat mendengar saja karena saya banyak berada di kamar berbaring di tempat tidur. Tetapi pada awal-awal Mei 2006 saya memang mengalami rasa terganggu oleh beliau. Meskipun demikian kemudian antara saya dan beliau tampak mampu menjalin hubungan “harmonis”. Ternyata hal ini menarik beberapa pihak termasuk Mgr. Harya yang pada waktu itu menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang. Terhadap peristiwa ini saya memiliki catatan sebagai berikut :

 

Di rumah tua tempat saya tinggal pernah ada penghuni yang sudah lupa orang-orang kanan kiri. Tentu saja dia juga seorang imam Katolik sebagaimana penghuni lainnya. Kalau bertemu dengan sesama penghuni dia akan bertanya “Kowé ya rama?” (Apakah kamu juga seorang rama?) Kata “rama” adalah sebutan umum untuk seorang pastor atau imam Katolik terutama di kalangan umat Jawa. Kemudian biasanya dia omong tentang jabatan-jabatan yang pernah diemban. Bangunan gedung gereja tertentu juga kerap ditunjuk sebagai prestasi dirinya. Dia memang masih ingat bahwa dirinya seorang imam. Tetapi berjumpa dengan imam-imam lain dia sudah melupakan bahwa mereka adalah teman seimamat. Dan yang menarik adalah cara omongnya. Bahasa Jawa ngoko (kasar) selalu mewarnai omongan dengan siapapun termasuk para rama.

Yang sering membuat orang tertawa adalah kalau Uskup datang berkunjung. Kebetulan sang Uskup memiliki kehalusan dalam tata bicara dan perilaku. Beliau biasa menyapa “Rama, pripun kabaré?” (Apa kabar rama?). Terhadap sapaan ini dia juga berkata “Kowé sapa? Kowé ya rama? (Siapa kamu? Apakah kamu juga seorang rama?). Tentu saja cerita tentang jabatan dan prestasi juga diberikan kepada Uskup. Sang Uskup juga selalu mendengarkan dengan takzim.

Satu hal yang barangkali menjadi keheranan para penghuni termasuk karyawan adalah sikap rama itu kepada saya. Uskup juga melihat hal ini. Dia selalu berbicara dengan bahasa halus penuh kesopanan kepada saya. Dia amat hormat terhadap saya. Ketika Uskup bertanya kepada saya “Nèk kalih njenengan kok kuthuk niku pripun, ta?” (Mengapa dia demikian kalah terhadap anda?), saya hanya tertawa. Ada satu hal yang perlu dicatat. Kebanyakan rama, termasuk Uskup, biasa berbahasa Jawa krama atau halus dengannya. Tetapi saya selalu menggunakan bahasa ngoko.

Pada suatu saat ada seorang imam yang masih aktif bertamu. Ternyata tamu ini mendengar bahwa aku amat berwibawa di hadapan rama tadi. Dia bertanya apa resepku sehingga dia amat hormat kepada saya. Akhirnya saya membuka rahasia dengan mengatakan “Dhèk bola-bali dhèké takon apa aku ya rama, suatu ketika aku mendelik karo bergaya nesu mangsuli ‘dudu!’” (Ketika dia berkali-kali bertanya apa saya juga seorang imam, dengan memandang tajam bergaya marah kepadanya, kujawab ‘bukan!’). Ning kena apa kok malah hormat banget karo kowé?”(Tetapi mengapa terhadapmu justru amat hormat?) tanyanya yang langsung saya jawab “Tak wangsuli: AKU USKUP!” (Kujawab: AKU USKUP!).

No comments:

Post a Comment

Santo Bruno, Pengaku Iman

diambil dari https://www.imankatolik.or.id/kalender/6Okt.html Bruno lahir di kota Koln, Jerman pada tahun 1030. Semenjak kecil ia bercita-ci...