Wednesday, July 3, 2024

Jadi Lansia di Rumah Tua : Sharing 2

                                                        =========================

Saya berada di rumah tua sejak 1 Juli 2010. Pertama ada di Domus Pacis Puren Pringwulung. Pada 1 Juni 2021 semua penghuni Puren dipindahkan di Domus Pacis Santo Petrus, Kentungan. Saya memang bisa menikmati hidup di rumah tua. Dalam seri "Jadi Lansia di Rumah Tua : Sharing" saya bermaksud berbagi pengalaman.
=========================

Kerasan dan Melek Rumah

Kalau tidak keliru itu adalah hari ke 59 saya tinggal di Domus Pacis Puren. Menjelang magrib saya membawa motor roda tiga keluar rumah. Selain berjaket, saya juga mengenakan mantol, Hari memang sedang hujan bahkan hujan deras. Tentu saja helm juga menjadi perlengkapan bermotor. Saya harus pergi ke Wirobrajan untuk memimpin Misa ujub keluarga. Hujan deras sungguh membuat rasa hati seperti tersayat-sayat. Sebenarnya bagian pipi memang mengalami derita. Kalau kaca helm saya turunkan, pandangan jadi menghitam karena cuaca menggelap akibat derasnya hujan. Mata jadi amat berat menangkap yang terlihat di depan motor yang melaju. Kalau kaca helm diangkat, pipi menjadi amat pedih kena benturan deretan air hujan yang amat keras. Pada waktu itu saya memilih perihnya pipi daripada gelapnya pemandangan. Pedihnya pipi kanan kiri sungguh memperparah perihnya sayatan-sayatan di hati. Pada waktu itu rasa-rasanya saya seperti akan berteriak menahan tangisan. Mengapa hati saya begitu gundah? Entah bagaimana dari dalam relung hati muncul kata-kata “Gusti ..... Gusti .....” (Tuhan ..... Tuhan .....) yang datang berkali-kali di sepanjang jalan menuju Wirobrajan. Entah bagaimana, tak terasa saya mengalami perubahan perasaan. Sayatan-sayatan hati menghilang. Memang, pedihnya pipi diterpa derasnya hujan tetap ada. Tetapi kepedihan pipi hanya jadi soal lahiriah badaniah yang tak menyentuh kedalaman hati.

Ternyata dalam perjalanan bermotor itu, sekalipun mata tetap waspada terhadap keadaan lalu lintas yang diperburam hujan, benak saya seperti ada kejernihan membuat gambar keadaan diri saya kini. Saya naik sepeda motor bebek roda tiga. Tidak seperti sebelumnya, saya biasa naik mobil. Saya pergi sendiri. Tidak seperti dulu, saya biasa bersama teman-teman tim kerja. Dua hal ini, tak bermobil dan sendiri tanpa tim kerja, telah membuka tabir kegundahan hati selama menjadi penghuni rumah tua Domus Pacis Puren. Entah bagaimana keceriaan batin, yang sempat redup selama 59 hari, tiba-tiba menyala lagi. Kederasan hutan dan air yang menembus mantol membasahi baju dan celana tak kuasa memadamkan cahaya keceriaan dalam hati. Kegembiraan pelayanan Misa yang membuat suasana ceria umat tidak perlu menjadi cerita khusus. Yang jelas ada buah saya mengalami kekerasanan alami sekalipun banyak berada di kamar Domus Pacis Puren.

Daya Omong-omong

Satu hal yang sering terjadi, kalau berada di rumah Domus dan tidak ada acara keluar, Rm. Agoeng sering menghampiri saya dan mengajak omong-omong. Beliau dan keluarga memang dekat dengan saya. Dulu ketika sebagai imam baru dan berkarya di Paroki Santa Maria Assumpta Klaten, saya menjadi dekat dengan keluarga Rm. Agoeng. Pada waktu itu Rm. Agoeng masih kelas II SD. Ketika saya sakit saluran kecing karena ada batunya, saya membutuhkan minum air bersih yang tak ada karatnya seperti yang ada di Pastoran. Keluarga Rm. Agoeng setiap hari mengirim air itu. Rm. Agoeng dan adiknya setiap hari membawa jerigen kecil berisi air putih untuk saya. Maklumlah, keduanya bersekolah di SD Kanisius yang lokasinya bersebelahan dengan gedung Gereja Klaten. Pada waktu itu, Rm. Agoeng kecil juga kerap bermain-main di kamar saya bahkan sering saya minta untuk menginjak-injak tubuh. Dia juga sering membonceng sepeda motor ikut saya pergi ke Jogja. Karena punya hubungan dekat, layaklah kalau Rm. Agoeng dan saya memiliki keakraban khusus. Bahkan ketika hari pertama saya berada di Domus Pacis Puren, Rm. Agoeng dibantu oleh karyawan kantornya sibuk menata dan memasangkan antena TV yang saya bawa dari Muntilan.

Omong-omong dengan Rm. Agoeng rasa-rasanya membuat saya makin senang dan kerasan tinggal di Domus Pacis Puren. Barangkali kesadaran realitas keberadaan saya masa kini, sesudah tercerahkan oleh peristiwa perjalanan di tengah hujan lebat menuju Wirobrajan, membuat saya memiliki keceriaan batin berada di Domus Pacis Puren. Cerita-cerita Rm. Agoeng tentang kehidupan Domus pelan-pelan menerobos mewarnai hati setelah 59 hari dirundung ketidaknyamanan. Entah bagaimana saya menjadi ikut berprihatin akan keadaan Domus. Tenaga kerja yang ada di Domus adalah 3 orang. Bukan bermaksud akan menegatifir, tetapi pekerjaan mereka tampak kurang terawasi. Maklumlah, tiga orang pengurus Domus memiliki tanggungjawab lain yang membutuhkan fokus perhatian khusus. Rektor Domus adalah rama staf Seminari Tinggi Kentungan yang sehari-hari sibuk menjadi dosen dan mendampingi para Seminaris. Minister Domus, yang seharusnya mengurus kehidupan harian Domus, adalah Pastor Paroki Pringwulung. Beban penggembalaan umat menjadi tanggungjawab yang tidak ringan. Rm. Agoeng adalah anggota Penggurus Domus yang tinggal di Domus Pacis Puren. Beliau adalah Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Semarang (Komsos KAS) yang berkantor di Kompleks Domus Pacis Puren. Selain sehari-hari harus berkantor bersama para anggota staf, Rm. Agoeng kerap pergi dalam rangka pengembangan Komsos paroki-paroki dan bahkan ada juga kerja Komsos antar Keuskupan. Rm. Bambang pernah mengatakan bahwa, sekalipun tinggal di Domus, Rm. Agoeng hanya sekitar 5% tampak ada di Domus. Sebenarnya Rm. Agoeng mempunyai perhatian besar untuk keberadaan para rama sepuh Domus. Beliau memiliki berbagai macam gagasan untuk kebersamaan para rama. Tetapi lontaran gagasan-gagasannya tampaknya kurang mendapatkan sambutan dari pengurus lain. Maka, kehadiran saya di Domus bisa jadi teman omong dari Rm. Agoeng. Pada waktu itu Rm. Joko Sistiyanto juga sering ikut terlibat dalam omong-omong. Dari omong-omong itu satu hal yang terjadi adalah munculnya keprihatinan bersama terhadap kehidupan Domus Pacis Puren. Tentu saja keprihatinan itu berkaitan dengan kondisi para rama sepuh. Sebenarnya pada waktu itu selain kami bertiga masih ada rama-rama lain.  Sesudah dua tahun di Domus Pacis Puren saya pernah menyampaikan catatan tentang rama-rama yang serumah dengan saya sebagai berikut[1] :

  • Rama Yadi. Umurnya sudah melewati 74 tahun. Tetapi semangat pelayanannya hebat sekali. Memang, beliau melayani umat “hanya” untuk Perayaan Ekaristi. Akan tetapi hujan dan panas tidak mengahalangi beliau bersepeda motor menuju Paroki Salam, Godean, dan beberapa tempat lain di Yogya bahkan ada juga yang di Sala.
  • Rama Agoeng. Warga termuda di Domus Pacis. Tetapi dalam hal kematangan kepedulian kepada sesama warga serumah termasuk para karyawan, menurut saya beliaulah yang paling senior. Wawasannya paling luas. Tetapi segala pertimbangan yang disajikan oleh beliau selalu siap dilengkapi dengan tindakan operasional termasuk sharing finansialnya.
  • Rama Harto. Kekuatan fisik memang tidak dapat diharapkan dari beliau. Akan tetapi dalam diri Rama Harto terdapat magnit batin yang kuat luar biasa. Keberadaan beliau di Domus Pacis membuat rumah ini banyak dikunjungi oleh banyak orang Katolik dan yang beragama lain. Kedatangan banyak orang terutama dilandasi oleh harapan mendapatkan anugerah-anugerah ilahi berkat dukungan doa Rama Harto. Beliau selalu mengajak pengunjung di kamarnya untuk berdoa terutama Doa Rosario.
  • Rama Joko. Tertawa Rama Joko biasa membahana di teras-teras dalam Domus Pacis. Rama ini amat sangat peduli dalam keperluan-keperluan fisik-duniawi warga Domus. Beliau pun biasa berada di dapur untuk mengawasi, memberikan saran, bahkan juga melakukan sendiri kegiatan masak. Segala sembronoan berkaitan dengan makanan akan mudah menjadi kenyataan karena kepekaan Rama Joko.
  • Rama Harjaya. Dikisahkan dalam urutan terakhir, karena beliaulah yang menurut saya paling utama. Bukan karena Rama Harjaya dahulu adalah Vikjen bahkan Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang. Dalam beliaulah warga lain Domus Pacis mendapatkan rambu atau pertanda religius apakah sungguh murid Yesus atau tidak. Rama Harjayalah, yang dalam segala kelemahan dan kekurangannya, justru menghadirkan sosok Tuhan Yesus Kristus. Bersama Rama Harjaya paling tidak bagi saya terdapat cermin apakah saya dapat tenang bersama Yesus atau malah terganggu oleh kehadiranNya.

Pak Tukiran Sakit 

Pada waktu itu ada empat orang tenaga kerja di Domus. Seorang ibu mengurus dapur sedang tiga lain terdiri dari satu ibu untuk cuci setrika, satu orang muda, dan satu bapak, yaitu Pak Tukiran. Kalau tiga tenaga lain adalah honorer, Pak Tukiran adalah karyawan tetap Keuskupan Agung Semarang. Dia sudah bekerja untuk rama sepuh sejak masih muda lajang. Pak Tukiran mulai bekerja melayani almarhum Rm. Kiswono di Rumah Unio[2], yang ketika itu berada di Kompleks Pastoran Paroki Jetis. Dia mulai menjadi tenaga kerja pada tahun 1984. Ketika Wisma Petrus di Seminari Tinggi Santo Paulus Ketungan dijadikan rumah rama sepuh, Pak Tukiran dipindahkan ke situ. Kemudian dia dipindahkan lagi ke Domus Pacis Puren, yang merupakan rumah khusus untuk para rama sepuh dan diberkati pada tahun 2021. Kalau Pak Tukiran mendapatkan paparan khusus, karena dialah yang menurut saya adalah tenaga yang paling handal di antara para tenaga lain yang waktu itu ada. Dia amat disiplin dan handal serta penuh komitmen dalam melayani para rama sepuh pada waktu itu.

Pada suatu hari, kalau tidak keliru pada November 2010, Pak Tukiran jatuh sakit hingga harus opname di RS Panti Rapih. Dengan absennya Pak Tukiran di Domus, terjadilah peristiwa menimpa Rm. Harjaya. Di pagi hari Rm. Agoeng menanyakan dimana Rm. Harjaya karena beliau tidak tampak. Rm. Harjaya biasa jalan-jalan mengelilingi teras dalam gedung Domus Pacis Puren. Atas pertanyaan Rm. Agoeng kalau tidak keliru salah satu karyawan mengatakan “Mbokmenawi tindak-tindak medal” (Barangkali jalan-jalan di luar rumah). Mendengar jawaban seperti itu terkejutlah Rm. Agoeng. Beliau langsung keluar mencari Rm. Harjaya. Maklumlah, Rm. Harjaya sudah mengalami dimensia tingkat akut. Komunikasi dengan orang lain sudah sangat kacau. Disorientasi waktu dan tempat sudah disandang. Beliau pernah hilang karena jalan-jalan keluar dan pergi jauh. Ketika ada yang mengenal dan bertanya “Rama badhé tindak pundi?” (Rama akan kemana?), beliau menjawab “Arep neng Domus” (Akan ke Domus Pacis Puren) padahal arahnya bertentangan. Tentu saja orang itu kemudian memboncengkan dengan motornya diantar ke Domus. Peristiwa ini membuat pengawasan untuk Rm. Harjaya dilakukan khusus.

Saya bisa paham kalau Rm. Agoeng menjadi bingung dan gelisah dengan tak tampaknya Rm. Harjaya. Karena dicari di luar rumah tak ada dan ditanyakan ke beberapa orang tak ada yang tahu, tiba-tiba Rm. Agoeng menjenguk dalam kamar Rm. Harjaya lewat jendela. Ternyata Rm. Harjaya ada dalam kamar tetapi tengkurap di lantai. Tentu saja Rm. Agoeng langsung masuk kamar Rm. Harjaya. Ternyata Rm. Harjaya tidak dapat dibangunkan. Beliau pingsan. Lebih terkejut lagi ketika badannya dibalik, wajah beliau berdarah. Diperkirakan Rm. Harjaya terjatuh. Beliau sering memanjat-manjat, termasuk memanjat jendela, di kamarnya. Tentu saja Rm. Harjaya langsung dibawa ke RS Panti Rapih. Tetapi setelah sadar beliau hanya menderita berdarah wajahnya. Rm. Harjaya tidak harus opname.

Hal Baru Demi Rm. Harjaya

Peristiwa Rm. Harjaya di atas menjadi tema khusus omong-omong antara Rm. Agoeng dan saya. Ketika itu saya bertanya ke Rm. Agoeng “Pripun yèn pados pramurukti?” (Bagaimana kalau kita cari pramurukti?). Ketika pembicaraan masuk ke berapa beayanya, saya bilang “Njenengan kagungan arta, ta? Kula nggih gadhah saking stipendium pelayanan-pelayanan Misa” (Anda punya uang, kan? Saya juga punya dari stipendium pelayanan-pelayanan Misa).  Kebetulan Rm. Suka sebagai Minister pernah berkata kepada saya “Disimpen piyambak mawon. Nek mbetah ndhak ndadak madosi kula. Nggih nek kula pas wonten” (Simpan sendiri saja. Kalau kebetulan membutuhkan tidak perlu mencari saya. Bagaimana kalau saya tidak ada pas pergi?). Itu dikatakan ketika saya akan menyerahkan uang stipendium yang menurut pedoma menjadi milik komunitas. “Lé pados pramurukti teng pundi?” (Dimana bisa mendapatkan pramurukti?) tanya Rm. Agoeng yang saya jawab “Teng Panti Rini” (Di RS Panti Rini, Kalasan). Kebetulan saja saya memiliki hubungan dekat dengan Panti Rini termasuk yang mengurus pramurukti.

Saya memang berhasil mendapatkan seorang pramurukti yang khusus mengurus Rm. Harjaya. Saya masih ingat bahwa yang menjemput dengan mobil di Panti Rini adalah Rm. Joko Sistiyanto. Saya langsung mengirim SMS ke Rm. Suka, Minister Domus Pacis Puren. Pada waktu itu kalau tidak keliru beliau sedang berada di Menado. Selain menjadi Pastor Paroki Pringwulung, Rm. Suka juga menjadi Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang. Di Menado beliau mengikuti pertemuan Komisi Liturgi se-Indonesia. Ketika kembali di Pringwulung Rm. Suka menemui saya di Domus dan bertanya “Berapa beaya yang dikeluarkan”, saya menjawab “Rama maringi sepalih mawon” (Rama kasih saja separo). Yang jelas, bagi saya peristiwa itu menjadi hal baru. Rm. Agoeng tampaknya memang mau membuat saya ikut terlibat dalam kehidupan Domus. Walau di Domus hanya mau mencari kebebasan untuk hanya melakukan yang saya kehendaki, kini saya masuk terlibat dalam urusan Domus.

[1] Rm. Agoeng pernah menggerakkan kami para rama Domus untuk menulis sebulan sekali. Tulisan dimuat dalam buletin elektronik Domus Voice yang dikirim terutama dalam grup E-mail Unio Keuskupan Agung Semarang. Memang, buletin itu sebelum 2 tahun menghilang. Catatan tentang rama-rama yang saya buat ditulis dalam Domus Voice 2 pada tahun 2012.

[2] Unio adalah nama Persaudaraan Imam Praja. Unio Keuskupan Agung Semarang pernah memiliki rumah khusus di Kompleks Paroki Albertus Magnus Jetis, Yogyakarta. Dulu Rm. Kiswono pernah menjadi pengurus rumah.

No comments:

Post a Comment

Santo Bruno, Pengaku Iman

diambil dari https://www.imankatolik.or.id/kalender/6Okt.html Bruno lahir di kota Koln, Jerman pada tahun 1030. Semenjak kecil ia bercita-ci...