Putusan Rm. Pius Riana Prapdi, Pr.
Sebelum masuk Domus Pacis Puren saya adalah imam yang bertugas di Komisi Karya Misioner Keuskupan Agung Semarang (KKM KAS) dan Karya Kepausan Indonesia Keuskupan Agung Semarang (KKI KAS). Keduanya memanfaatkan Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM) sebagai sarana karya perutusan. Ketiganya bergerak di bidang misioner Gereja. Karena saya terlibat di KKM KAS sejak 1983 (di KKI KAS sejak 1998 yang dalam tahun ini juga sudah mulai merintis MMM PAM), saya merasa berkarya dalam bidang misioner selama 27 tahun hingga masuk Domus Pacis Puren. Karya paroki hanya saya alami di Paroki Santa Maria Assumpta Klaten (1981-1982) dan Paroki Santa Theresia Salam setahun kemudian. Di Paroki Salam inilah saya mulai terlibat dalam KKM KAS.
Sebetulnya ketika akan meninggalkan MMM PAM, di dalam pendekatan untuk pemindahan atau mutasi, Rm. Riana Prapdi mengatakan bahwa saya akan tinggal di Paroki Wedi tetapi tidak sebagai pastor untuk Paroki Wedi. Rm. Riana kini menjadi Uskup Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat. Pada waktu itu beliau menjabat Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang sesudah ditinggalkan Mgr. Ignatius Suharyo yang pindah menjadi Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta. Dari pembicaraan saya mendapatkan tugas “Pengembangan misioner kemasyarakatan”. Dengan karya ini saya diharapkan bisa mengembangkan bentuk iman kekatolikan yang bisa dihayati secara sederhana dalam hidup harian. SK pemindahan akan ditetapkan pada 1 Juni 2010, tetapi kepindahan dilakukan sesudah Rm. Nur Widi (direktur baru MMM PAM) masuk.
Beberapa hari sesudah omong-omong memberi informasi untuk kepindahan saya, Rm. Riana datang lagi. “Kula mireng criyosipun panjenengan kepingin lenggah ing Domus Pacis Puren” (Saya dengar Anda ingin tinggal di Domus Pacis Puren). Saya memang sering bilang ke beberapa rama termasuk para Vikep dan juga ada yang anggota Kuria KAS “Aku seneng lho nek manggon Puren” (Aku senang kalau tinggal di Domus Pacis Puren). Ketika Rm. Riana tanya mengapa senang di Puren, saya bercerita pengalaman tinggal dan berkantor di Paroki Santo Ignatius Magelang. Rasanya tidak enak karena kerap tak dapat terlibat dalam acara-acara Paroki. Kalau pas di rumah, kebetulan tak ada acara paroki. Membantu Misa Paroki juga tak dapat dijadualkan dengan mudah. Maklumlah, kegiatan Karya Misioner sungguh banyak dan padat yang membuat saya kerap pergi ke paroki-paroki lain di KAS. Bahkan pergi ke Keuskupan lain juga tak jarang terjadi. Dari omong-omong ini, ternyata dalam SK pemindahan saya tertulis tinggal di Domus Pacis Puren.
Sibuk Sendiri
SK Pemindahan untuk tinggal di Domus Pacis Puren memang per 1 Juni 2024. Bahwa kepindahan saya tidak langsung, itu dikarenakan saya harus menanti kehadiran Rm. Nur Widi. Tetapi saya menetapkan untuk mulai tinggal di rumah tua pada 1 Juli 2010. Meskipun demikian selama sebulan saya tetap bekerja seperti biasa. Bahkan pada tanggal 30 Juni 2010 malam saya ikut menyelesaikan pelayanan pendampingan untuk para pengurus Lingkungan di Paroki Minomartani, Yogyakarta. Maka, pada tanggal ini saya tidur malam pada hapir jam 24.00. Tetapi pada jam 04.00 saya sudah mandi dan siap untuk pindah. Kunci-kunci rumah saya kumpulkan. Barang termasuk pakaian bisa saya masukkan satu tas yang bisa saya gantungkan di pundak. Kunci-kunci saya serahkan kepada Mas Yuli, karyawan Museum. Kemudian dengan motor bebek roda tiga meluncurlah saya sendiri menuju Domus Pacis Puren. Dalam perjalan saya berhenti dua kali. Yang pertama untuk makan sarapan bubur gudeg di Jalan Kaliurang, dan yang kedua di minimarket untuk beli sabun dan pasta gigi. Saya memang hanya membawa satu tas, karena semua barang saya sudah dipindahkan ke jatah kamar saya di Puren beberapa hari lalu. Sebelum masuk Domus saya mampir di Pastoran Pringwulung untuk unjuk muka ke Rm. Suka, Minister Domus yang menjadi Pastor Paroki Pringwulung.
Sebenarnya dengan masuk Domus Pacis Puren pada saat itu saya sungguh mengalami alam kehidupan baru. Biasanya di Museum Misi kalau keluar dari kamar saya jumpai kantor dan ruang makan. Kini, begitu keluar kamar saya dihadapkan pada lingkaran kebun dengan kolam kecil dalam gedung Domus. Kalau sebelumnya dari jam 08.00-15.00 (Sabtu sampai jam 12.00) ada bersama teman-teman kantor, kini lingkunganku terutama adalah kamar. Apalagi untuk makan dan snak pun ada di kamar masing-masing. Memang, pada hari-hari pertama saya masih bisa melihat Rm. Agoeng, Rm. Yadi, Rm. Harto, dan Rm. Harjaya. Tetapi Rm. Agoeng akan banyak dengan teman-teman kerjanya di kantor Komsos KAS. Sementara itu Rm. Yadi akan banyak tak berada di Domus karena membantu pelayanan Misa di Purbowardayan dan Salam. Sedang kedua lainnya, Rm. Harjaya dan Rm. Harto, memiliki kondisi yang membuat tak mudah keluar bercengkerama. Saya berkata kepada diri saya sendiri “Aku kudu krasa nikmat neng kamar iki. Sadurungé iku aku ora arep lunga-lunga kejaba sing kudu taktandangi sebagai rama” (Saya harus bisa nikmat di kamar ini. Sebelum itu terjadi, saya tak akan pergi-pergi kecuali karena kewajiban sebagai rama).
Saya memang banyak ngendon dalam kamar. Pergi keluar hanya karena diminta untuk Misa. Barangkali ada terdengar bahwa saya sudah meninggalkan kerja yang berpusat di Museum Misi Muntilan. Saya kini tinggal di rumah rama tua Domus Pacis Puren. Memang, untuk memimpin Misa saya masih bisa. Bahkan saya bisa berangkat sendiri dengan motor bebek roda tiga. Sementara itu saya masih bisa berjalan walau memakai krug atau tongkat penyangga badan. Pemakaian krug sudah terjadi di dua tahun terakhir ketika masih menjalani dinas. Tetapi mayoritas hari-hari saya terjadi di dalam kamar no. 10 di Domus Pacis Puren. Di dalam kamar saya biasa baca-baca buku dan kadang menulis dalam liptop. Tetapi saya menjadi akrab dengan tayangan-tayangan dalam televisi. Saya menjadi hafal dengan acara-acara TV pada jam-jam tertentu di chanel-chanel tertentu. Saya merasa bersyukur karena di dalam kamar saya ada TV bawaan dari kamar saya di Museum. Pada suatu ketika Rm. Suka, Minister Domus Pacis Puren, menjenguk saya di kamar. “Njenengan kok saget krasan wonten kamar?” (Bagaimana Anda bisa kerasan di dalam kamar?) katanya karena tahu saya hanya keluar ketika ada permintaan Misa. Itupun jarang terjadi. Selain itu secara praktis saya ditelan kamar. Bukankah kamar mandi dan WC menyatu dengan kamar? Bukankah makan minum diantar di kamar masing-masing rama? Bahkan kalau menerima tamu, itu juga dilakukan di dalam kamar. Kamar untuk masing-masing rama memang besar, yaitu 6X6 M2. Sedang untuk kamar mandi WC punya luas 3X3 M2. Di dalam kamar ada kursi-kursi dan meja kecil untuk menerima tamu.
Mendengar kata-kata Rm. Suka “Njenengan kok saget krasan wonten kamar?” (Bagaimana Anda bisa kerasan di dalam kamar?), saya hanya tersenyum. Sebenarnya di dalam hati saya muncul kata-kata “Krasan apa? Jan-jane ya mung takkrasan-krasanké” (Kerasan apa? Sebetulnya saya hanya berjuang untuk bisa kerasan). Dalam hal ini saya maklum kalau ada penghuni bilang “Nèng Domus ki ya nèng kunjaran” (Hidup di Domus itu seperti berada di dalam penjara). Ada juga rama lansia bukan penghuni Domus berkata “Manggon Domus kuwi dadi tersingkir seka umat” (Dengan tinggal di Domus seorang rama tersingkir dari umat). Meskipun demikian untuk pribadi saya ada keyakinan di Domus saya akan mengalami kebebasan. Saya tidak akan berdekatan dengan jadual-jadual pelayanan imamat seperti kalau berada di Paroki. Saya bisa pergi kemanapun tanpa mengganggu mekanisme kehidupan rumah. Apalagi Rm. Suka memberi kunci rumah sehingga kalau pergi dan pulang tidak harus minta pelayanan karyawan Domus. Saya bisa pergi dan pulang kapanpun dan jam berapapun. Saya sudah punya sahabat, sepeda motor bebek roda tiga. Tetapi saya bertekad untuk kerasan lebih dahulu berada di kamar Domus. Dengan itu saya akan mendapatkan landasan kebahagiaan sejati. Kalau pergi ke sana sini bukan merupakan pelarian karena brocken home.
No comments:
Post a Comment