diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 21 September 2015 Diperbaharui: 28 Oktober 2019 Hits: 14313
- Perayaan11 September
- Lahir6 Januari 1802
- Kota asalLe Puech (sekarang di sekitar kota Montgesty), Lot, Perancis
- Wilayah karyaChina
- Wafat
- Martir - Disiksa dan diikat pada kayu salib di sebuah bukit bernama "Bukit Merah", kemudian dicekik sampai mati pada tanggal 11 September 1840 di Ou-Tchang-Fou, China
- Venerasi-
- Beatifikasi10 November 1889 oleh Paus Leo XIII
- Kanonisasi
- 2 Juni 1996 oleh Paus Santo Yohanes Paulus II
Awal kehidupan dan Panggilan menjadi Imam
Santo Yohanes Gabriel Perboyre dilahirkan di Le Puech (sekarang di sekitar kota Montgesty), Lot, Perancis, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara buah hati pasangan Pierre Perboyre dan Marie Rigal. Delapan bersaudara ini, kelak tiga orang diantaranya menjadi imam dari Konggregasi Vincentian, dua orang masuk biara suster Puteri Kasih, satu orang suster Karmelit, dan dua orang lainnya menikah dan menjalani panggilan hidup sebagai awam Katolik.
Awal panggilan Yohanes Gabriel sebagai seorang imam dan misionaris terjadi secara tidak sengaja. Semula sebagai seorang kakak, ia hanya mengantar adiknya, Louis, ke seminari Montauban pada bulan Desember 1818. Kebetulan rektor seminari yang adalah pamannya sendiri, Yakobus Perboyre CM, meminta agar Yohanes Gabriel tidak pulang, dan menjaga adiknya yang masih kecil di seminari. Begitulah, hidup dalam seminari membuat Yohanes Gabriel akhirnya menemukan “panggilannya” sendiri. Ia tetap tinggal di seminari sampai akhirnya ditahbiskan menjadi imam. Kelak, adiknya, Louis Perboyre juga menjadi imam dan mendahuluinya berangkat ke tanah misi di China namun ia meninggal dalam perjalanan di sekitar laut Jawa.
Sebagai anak pertama, Yohanes Gabriel Perboyre diharapkan ayahnya untuk menggantikannya bekerja di ladang. Dari seminari, ia menulis surat kepada ayahnya demikian :
Imam yang "sakit-sakitan"
Yohanes Gabriel Perboyre ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 23 September 1825 di kapel Suster Puteri Kasih oleh Mgr. Dubourg, uskup diosis Montauban Perancis. Sebagai seorang imam, Yohanes Gabriel terbilang memiliki kesehatan yang kurang bagus dan sering sakit-sakitan. Tetapi, semangatnya untuk berkarya di tanah misi China luar biasa berkobar-kobar.
Tak lama kemudian, Yohanes Gabriel dikirim ke seminari Saint-Flour untuk mengajar teologi dan dogma. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai rektor seminari rendah di Saint-Flour. Kesuksesannya membuat atasannya memberikan tanggung-jawab baru sebagai wakil pemimpin novisiat Vincentian di Paris pada tahun 1832, lalu menjadi direktur novisiat. Ia memegang jabatan ini sampai keberangkatannya sebagai missionaris ke China pada tahun 1835.
Adiknya, Louis Perboyre CM, sudah berangkat terlebih dahulu ke tanah misi China namun tak pernah sampai menjejakkan kakinya di daratan China. Louis meninggal dalam perjalanan di sekitar laut Jawa. Yohanes Gabriel sangat sedih menerima kabar kematian adiknya. Kelak, ketika dia sendiri akhirnya jadi berangkat, ia selalu mengingat adiknya dan menyebutnya sebagai "bintang" di surga yang menerangi perjalanannya pada waktu malam di tengah laut.
Singgah di Surabaya
Perjalanan misioner Yohanes Gabriel dari Perancis ke China menghabiskan waktu kurang lebih enam bulan. Ia menumpang kapal "Royal Georges" yang singgah di Batavia (Jakarta), kemudian berlabuh di Surabaya selama satu bulan, sebelum melanjutkan perjalanan ke Macao, pintu gerbang ke China daratan. Cerita Romo Yohanes Gabriel Perboyre CM tentang Batavia dan Surabaya dapat disimak dalam suratnya kepada pamannya, Yakobus Perboyre CM :
Dari kisah pater Yohanes Gabriel Perboyre, diketahui bahwa tahun 1835 sudah terdapat Gereja Katolik di Surabaya atau Jawa Timur yang terletak di depan lapangan yang disebut "Comedie plein" (lapangan komedi). Gereja tersebut kini sudah tidak ada lagi. Konon terbakar dan dibangun sebagai gantinya Gereja yang kini disebut Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria di Jalan Kepanjen.
Misionaris di China
Romo Yohanes Gabriel Perboyre CM tinggal di Macao sampai akhir Februari 1836. Sesudah itu, ia melakukan perjalanan laut maupun darat yang sangat panjang. Romo Yohanes Gabriel menyusuri perjalanan lewat laut sejauh 900 kilometer, sampai ke Fu-kien. Dan dari sana berjalan lagi lewat jalan darat lebih dari 1300 kilometer, lewat Juangxi, sampai ke Hubei dan akhirnya di Honan. Semangat misionaris Vincentian ini memang luar biasa. Perjalanan yang demikian lama dan jauh, dengan pengalaman dan perjumpaan yang melelahkan, kesulitan, peluh keringat, semuanya terasa tidak berarti apa-apa.
Lima bulan pertama berkarya di pedalaman China dijalaninya dengan melakukan banyak kunjungan ke komunitas-komunitas Kristiani di sana. Umat Kristiani belum begitu banyak, tetapi menurut laporan jumlahnya kira-kira hanya 1500-an umat, yang tersebar di mana-mana. Untuk mengunjungi umat sejumlah itu, Romo Yohanes Gabriel Perboyre harus melakukan perjalanan lebih dari 1200 kilometer, jarak yang hampir sama jauhnya dengan keliling Perancis, asal negaranya. Setelah misi di Honan, ia dipindah-tugaskan ke Hubei, sebuah daerah pegunungan yang cukup berat medannya. Dalam satu dua suratnya, Romo Yohanes Gabriel Perboyre bercerita bahwa banyak gerejanya sangat kotor, beratap jerami dengan kursi-kursi yang jelek dan kotor.
Menjadi Martir
Penganiayaan dan penangkapan yang dilakukan oleh raja lokal memaksa umat Kristiani bersembunyi. Pada masa itu Yohanes Gabriel terpaksa melayani umat dengan cara menyamar dan sembunyi-sembunyi. Namun ia dikhianati oleh seorang muridnya yang memberitahukan keberadaannya dengan upah 30 ons perak. Pagi itu, sang murid berjalan bagaikan Yudas Iskariot, mengantar para serdadu menangkap Yohanes Gabriel Perboyre.
Sang misionaris kemudian ditahan dan mengalami penyiksaan yang mengerikan. Ia ditelanjangi, dirantai, diseret, disesah, ditusuk dengan besi panas, dicambuki dan akhirnya disalib dengan tubuh terkulai karena lehernya dijerat dengan tali. Martir Kristus ini wafat tercekik di kayu salib pada tanggal 11 September 1840.
Yohanes Gabriel Perboyre CM sebenarnya belum berbuat banyak sebagai misionaris. Kurang lebih lima tahun ia berkarya di China. Konon dua tahun dipergunakannya untuk belajar bahasa China. Dua tahun untuk melakukan perjalanan panjang dan melelahkan. Dan, di tahun terakhir, ia menjalani penyiksaan dan penganiyaan yang mengerikan sampai wafatnya. Pada Tahun 1889, ia dibeatifikasi oleh Paus Leo XIII dan di kanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1996.
No comments:
Post a Comment