Tuesday, November 21, 2023

Sebuah Sharing Penghayatan Anamnese

Ada Peristiwa 

Pada bulan November 2023 saya mengalami dua peristiwa yang amat mengesankan hati. Dua peristiwa itu adalah sebagai berikut :

  •  Karena Seorang “Cucu” : Ini terkait dengan peristiwa hari Selasa 14 November 2023. Saya menerima 5 orang siswa SMA Kolese de Britto untuk diwawancarai. Tema wawancara memang tentang Imam Praja. Tetapi yang membuat hati saya bergelombang ketika saya menanyai satu per satu asal mereka. Empat di antaranya berasal dari luar Jogja bahkan ada yang luar Jawa. Hanya salah satu yang asli Jogja. “Saya dari Warak, romo”. Mendengar kata “Warak” dalam benak saya muncul bayangan tentang sebuah kampung yang sedikit banyak memiliki jejak di hati saya. “Kamu tahu Pak Don?” saya bertanya yang langsung mendapat jawaban “Itu kakek saya”. Kalau Pak Dono kakeknya, berarti amak ini cicit almarhum Pak Padmo. Pembicaraan masuk ke keasyikan tentang adiknya Pak Don yang oleh anak itu disebut “Mbah Toko”. “Mbah” adalah kependekan sebutan embah yang berarti kakek atau nenek. Sedang Toko adalah almarhum Romo Diakon Tarcicius Hartoko yang wafat karena kecelakaan menjelang tahbisan imamat. Almarhum adalah teman saya sejak SMA kelas satu dan sama kelas hingga masuk Seminari Menengah Mertoyudan dan Seminari Tinggi Kentungan. Dia juga punya kakak di Ambarrukmo sekampung dengan saya. Dulu saya kerap main dan menginap di Warak dan diterima seperti keluarga sendiri oleh keluarga almarhum Pak Padmo.
  • Karena Seorang “Anak Dalang” : Pada Rabu 15 November 2023 ada rombongan tamu untuk Domus Pacis St. Petrus, Kentungan. Mereka adalah ibu-ibu dengan beberapa bapak dari Paroki Administratif Borobudur. Kehadiran mereka membawa kenangan dua hal dalam diri saya. Saya selalu mendapatkan bayangan tentang permainan wayang di era tahun 1960an. Menurut saya itu adalah peristiwa monumental karena baru Pak Djajakandarlah yang memulai permainan wayang kulit dengan permainan tata lampu. Saya belum pernah mempunyai relasi dengan beliau. Tetapi beberapa anaknya ternyata termasuk deretan tokoh umat Katolik Borobudur. Ketika menjalani karya selama 27 tahun dalam Karya Misioner dan Karya Kepausan Keuskupan Agung Semarang, saya kerap menjalin kerjasama dengan terutama kedua putranya yang ahli karawitan. Maka kehadiran Borobudur juga menghidupkan ingatan saya selama 27 tahun berbasis di Kevikepan Kedu. Ketika bertemu dengan putra almarhum Pak Djajakandar saya bertanya “Sakniki tesih nyanyi-nyanyi mawi gangsa?” (Apakah sekarang masih melantunkan lagu-lagu Gereja dengan gamelan?). Ternyata beliau menjawab “Niki malah mentas tumbas gangsa pelog saking perunggu. Wonten ingkang dados donatur” (Baru saja kami membeli gamelan bernada pelog berbahan perunggu. Ada yang menjadi donatur).

Kenangan Bermakna Kini

Dari dua pengalaman itu ada hal-hal yang sungguh menghadirkan getaran khusus dalam diri saya. Pengalaman pertama menghadirkan keeratan saya dengan almarhum Diakon Hartoko. Saya tidak hanya bersahabat karena menjadi sesama alumni SMA de Britto bahkan sekelas terus. Tetapi saya dan Hartoko sama-sama melangkahkan hidup ingin menjadi imam. Sebagai sesama bercita-cita menjadi imam membuat saya seperti terangkat sebagai bagian keluarga Hartoko. Almarhum Pak Padmo memperlakukan saya seperti anak. Mbak Dri dan Mas Dono, kedua kakak Hartoko menerima saya seperti adik. Ketika saya sudah berkarya dalam bidang misioner, saya dan tim kerja bisa menginap di rumah Mas Don. Pak Sularto, sepupu Hartoko yang dulu juga merintis untuk jadi imam hingga frater di Kentungan, hingga kini kerap mengunjungi saya di Domus Pacis Santo Petrus. Bahkan kakak-kakak Hartoko yang di Lampung dan adiknya yang di Bekasi juga menjalin relasi dengan saya. Yang di Bekasi tampaknya juga selalu membuka Blog Domus yang selalu saya publis. Kehidupan sungguh amat menggetar dalam diri saya dengan ingat akan masa lampau saya bersama almarhum Diakon Hartoko.

Pelayanan imamat saya hingga kini, sekalipun sudah jarang, masih diminta oleh umat terutama dalam Misa ujub seperti peringatan arwah dan ulang tahun perkawinan. Rasa-rasanya ada cap yang nempel dalam pelayanan saya, yaitu saya melantunkan macapat (kidung tradisional Jawa) untuk ayat Injil yang menjadi fokus homili saya. Tampaknya umat juga mencari saya kalau dalam Misa menggunakan gamelan sebagai iringan. Semua ini juga seperti getaran jiwa ketika ada kunjungan umat Borobudur yang bagi saya terutama terkait dengan pengalaman ber-gamelan. Tembang tradisional Jawa dan gamelan hingga kini sungguh menjadi sarana yang menggairahkan dalam mewartakan Sabda Tuhan.

Kesadaran Religius

Bagaimanapun juga hubungan saya dengan keluarga Pak Padmo, ayah Hartoko, sudah selesai. Kini saya sudah di Domus Pacis Santo Petrus, rumah para romo praja sepuh di Keuskupan Agung Semarang. Bagaimanapun juga hubungan saya dengan umat Borobudur terutama dengan kelompok kor dan pemain gamelan sudah menjadi masa lalu. Sekarang saya sudah tidak ke sana-sini melatih kor dan berlatih bersama gamelan seperti era tahun 1990an. Meskipun demikian, tindakan pelayanan umat tetap berlangsung hingga kini. Barangkali kedekatan saya dengan orang-orang yang kemudian peduli pada kehidupan saya masa kini adalah pengembangan jiwa dekat dengan Hartoko dan keluarganya yang dulu amat peduli pada saya. Barangkali kebiasaan saya melantunkan macapat (model kidung tradisional Jawa) dalam mengutip Injil dalam homili adalah keberlangsungan dan pengembangan getar gamelan sebagaimana dulu bersama Borobudur. Sebagaimana telah terpapar di atas, itu adalah kenangan yang ada kaitan dengan hidup kini yang bermakna.

Saya, yang kini praktis banyak dalam kesendirian, masih tetap ikut ambil bagian dalam karya pastoral melayani umat. Memang, saya banyak menyapa umat tidak secara langsung tatap muka. Dalam kesendirian 90% lebih berada dalam kamar, saya menyapa umat lewat media sosial seperti FB, E-mail, WA, Blog, dan tik tok. Dengan media seperti ini barangkali ada juga yang beragama lain ikut menangkap. Nuasa musik Jawa tradisional memang sudah tidak dekat dengan keseharian hidup saya. Tetapi kalau saya diminta memimpin Misa ujub keluarga, sekalipun frekuensinya kecil, getar kidung Jawa amat mewarnai apalagi kalau iringin musik gamelan.


Ketika hal-hal di atas masuk dalam renungan, saya menemukan bahwa yang sudah hilang, kedekatan dengan keluarga Hartoko dan umat Borobudur, ternyata kini tetap hidup bahkan berkembang dalam bentuk lain. Saya jadi teringat pada kata-kata ANAMNESE dalam Misa ketika masuk Doa Syukur Agung. Di situ ada pernyataan Kristus sudah wafat, sudah bangkit, dan akan datang kembali. Pengalaman dengan keluarga Hatrtoko dan Borobudur sudah selesai dalam diri saya. Tetapi getar imamat dan pelayanan pastoral tetap ada hingga kini dalam bentuk dan sarana lain. Saya selalu boleh menemukan dan mengalami bentuk dan sarana baru, mungkin inilah nuansa kebangkitan iman, dalam perjalanan imamat. Kalau kini saya berada di rumah tua, sebagai imam saya hanya akan mengalami sekali lagi mutasi atau permindahan, yaitu di Makam Para Romo kompleks Seminari Tinggi Kentungan. Bukankah itu adalah saat mengalami jumpa tatap muka dengan Kristus. Ketika saya membuka internet, dari dalam google saya menemukan  https://liturgiekaristi.wordpress.com/2011/04/07. Saya mendapatkan penjelasan singkat tentang anamnese. “PENGENANGAN dalam Doa Syukur Agung bukanlah sekedar usaha mengingat-ingat secara subektif dan rasional, melainkan PENGHADIRAN SELURUH RANGKAIAN KARYA KESELAMATAN ALLAH SECARA OBYEKTIF DAN NYATA.”. Di sini masih dirujukkan dalam pengertian non agama. “Dalam paham POPULER-PROFAN, pengenangan selalu berdimensi masa lampau dan masa kini. Bandingkan dengan anamnese riwayat penyakit dan segala indikasinya yang selalu di-‘gali’ oleh perawat/dokter setiap kali pemeriksaan kesehatan.”

Kentungan, 20 November 2023

No comments:

Post a Comment

Santo Bruno, Pengaku Iman

diambil dari https://www.imankatolik.or.id/kalender/6Okt.html Bruno lahir di kota Koln, Jerman pada tahun 1030. Semenjak kecil ia bercita-ci...