Thursday, November 23, 2023

Agar "Lembah Manah"

Pada hari Selasa 9 November 2023 ada kelompok meminta saya memimpin rekoleksi satu jam. Kelompok itu terdiri dari ibu-ibu yang tersekutukan dalam Ikatan Istri Dokter Indonesia (IIDI) Yogyakarta. Memang ada anggota seorang istri dokter yang tinggal di Purworeja. Rekoleksi singkat itu mengambil tema “Menjadi Katolik yang Lembah Manah”. 

Kata “Lembah Manah”

Ketika saya tanyakan ke para peserta apa itu “lembah manah”, secara spontan muncul berbagai kata untuk menjawab. Ada empat kata yang dominan : andhap asor, rendah hati, tidak egois, dan tidak sombong. Ungkapan dengan kata lembah manah berkaitan dengan sikap jiwani yang dipandang mulia. Ungkapan ini merupakan kata dari bahasa Jawa. Kata lembah menunjuk pada lokasi yang rendah di hadapan darat dekatnya yang tinggi. Sebagai contoh di Jogja ada “lembah Code”, yaitu lokasi dekat Sungai Code yang berada di kerendahan bawah area jalan raya. Sedang kata manah adalah hati tetapi dalam nuansa batinnya. Dengan demikian lembah manah adalah sikap batin tidak meninggikan diri dalam hidup bersama atau sebagai penghayatan hidup di hadapan orang lain.

Lembah Manah dalam Beriman

Karena menyangkut ungkapan merendah dalam bersikap, saya teringat pada kata-kata Tuhan Yesus Kristus :

1 Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: 2 "Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. 5 Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; 6 mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; 7 mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi. 8 Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. 9 Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. 10 Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. 11 Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. 12 Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan. (Mat 23:1-2.5-12)

Bagi saya sikap lembah manah mendapatkan penjelasan dalam iman Kristiani sebagaimana dinyatakan oleh Kristus. Tuhan bersabda “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Mat 23:11-12) Bagi saya Tuhan Yesus memaklumi kalau ada keinginan di hati seseorang untuk menjadi besar atau tokoh. Barangkali hal ini juga tergambarkan dalam kerinduan orang Jawa tradisional untuk “dadi wong” (menjadi orang). Menjadi orang dalam gambaran orang Jawa tradisional bukan hanya sebagai salah satu ciptaan Tuhan yang punya daya cipta, rasa, dan karya. Menjadi orang pertama-tama berarti mampu memiliki kedudukan sosial dan akan lengkap kalau sudah berkeluarga. Tetapi yang paling pokok adalah punya kedudukan yang akan membuat orang mudah meraih hormat dalam kebersamaan. Dalam hal ini orang Jawa tradisional memiliki semboyan “Jer basuki mawa beya” (Untuk mencapai kebahagiaan yang diharapkan orang harus berani berkorban). Hal ini barangkali sejalan dengan ungkapan “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Dengan demikian perendahan diri mau merasakan tidak enak melayani orang lain, itu menjadi kiat untuk mengejar sukses ke depan.

Dalam hal ini gambaran lembah manah sebagai pengikut Kristus bukanlah kiat sikap untuk mengejar ambisi pribadi. Kalau ada muara menjadi orang yang diperhitungkan dalam kebersamaan sebagai tokoh dan dihormati, itu adalah buah sikap tulus perendahan diri. Ketokohan bukanlah kedudukan yang dikejar. Bukankah keseharian pengikut Kristus beraroma jalan salib? “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23). Seorang Kristiani dipanggil untuk mengikuti Kristus yang “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. " (Mrk 10:45) Untuk mampu menghayati sikap lembah manah sebagai keutamaan iman, orang harus berjuang menghayati siapapun sebagai sesama semartabat. Kepada para murid Tuhan Yesus berkata “kamu semua adalah saudara” (Mat 23:8). Inilah penghayatan sejati hukum kasih, karena “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Yoh 15:13)

Yang Harus Diwaspadai

Dari kutipan Injil Matius di atas, saya menemukan beberapa hal yang mudah menghalang ada dan berkembangnya sikap lembah manah. Ini berkaitan dengan latarbelakang ketika Tuhan Yesus membuat kesimpulan “barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat 23:12). Pada hemat saya ini berkaitan dengan sikap munafik model kaum Farisi dan ahli Taurat. Tuhan Yesus memang meminta para murid untuk mengikuti ajarannya, tetapi bukan perilakuknya. Mereka “mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.” (Mat 23:3-4) Dari situ mengalir perilaku kongkret yang menghalangi lembah manah yang secara kongkret merupakan jiwa bersaudara :

  1. Suka memakai simbol status (Mat 23:5-6). Barangkali orang memiliki kedudukan atau jabatan di dalam kelompok dan atau masyarakat. Barangkali ada tanda-tanda tertentu yang berupa lambang atau pakaian untuk menunjukkannya. Atau barangkali orang tak punya kedudukan apa-apa. Tetapi untuk menunjukkan kehebatan atau biar dikira hebat, orang bisa mengenakan tanda-tanda khusus. Lambang atau tanda-tanda khusus dikenakan atau ditunjukkan untuk membuat orang lain tahu akan siapa dia. Barangkali dengan istilah masa kini, orang jadi suka tebar pesona. Jiwa seperti ini tentu menjadi kesombongan sejati yang menghalangi orang untuk ber-“lembah manah”.
  2. Mengejar kehormatan (Mat 23:7). Ini adalah sikap feodalistis yang membuat orang gila kedudukan dan gila hormat. Dengan sikap seperti ini orang mengejar ketinggian dan tidak menghargai kerendahan.
  3.  Menikmati sebutan keelitan (Mat 23:8-10). Di dalam kutipan Injil di atas di zaman Yesus ada sebutan-sebutan yang menempatkan orang dihormati sebagai golongan elite. Di situ ada sebutan Rabi, bapa, dan pemimpin. Orang akan menikmati penghormatan kalau dianggap sebagai tokoh oleh banyak orang dengan sebutan khusus. Itu ini akan membuat orang abai pada Tuhan sebagai sumber dan tujuan hidup yang menyekutukan orang menjadi satu keluarga.

Kentungan, 24 November 2023 

Rm. Bambang

No comments:

Post a Comment

Santo Bruno, Pengaku Iman

diambil dari https://www.imankatolik.or.id/kalender/6Okt.html Bruno lahir di kota Koln, Jerman pada tahun 1030. Semenjak kecil ia bercita-ci...