Wednesday, July 21, 2021

Menjaga Rasa Iri? (Pengalaman Lampau di Puren)

 


Salah satu tenaga yang pernah ada di rumah tua para rama lansia dan difabel tampaknya kerap mengalami hal yang bagi orang lain aneh. Dia jarang sekali tidur di ranjang yang disediakan untuk karyawan. Berada di luar rumah hingga larut malam merupakan kebiasaan yang dilakukan. Dia biasa tidur di kursi panjang dari bambu yang ada di depan salah satu kamar rama. Dia jarang terlibat omong-omong dengan teman-teman kerja. Dengan rama-ramapun dia akan mendengar apa yang diminta langsung mengerjakan. Dia tampak amat menyayangi para rama. Sebenarnyalah dia memang amat pendiam. Meskipun demikian dia dapat omong macam-macam dengan saya. Barangkali dia merasa satu chanel. Pada waktu malam saya melihatnya melihat ke atas di kebun belakang rumah. Saya memancing dengan berkata “Kéné ki akèh sing tunggu, ya?” (Lingkungan sini banyak yang menjaga, ya?). Diapun menjawab “Inggih, rama. Wujudipun lawa” (Benar, rama. Ujudnya berupa kelelawar). Kemudian dia berceritera tentang roh-roh halus yang berujud kelelawar yang pada waktu malam banyak beterbangan di kebun rumah tua para rama. Saya yang merasa punya pengetahuan tentang alam kerohanian Jawa tradisional menanggapinya dengan omong tentang roh-roh halus. Padahal saya hanya ngawur. Tetapi hal itu membuat saya dapat mudah berkomunikasi dengannya. Dia juga berani mengungkapkan ide dan usulan untuk kepentingan para rama dan kebaikan rumah.

Pada suatu hari dia berada di salah satu kamar rama penghuni menunggu rama yang segalanya harus dilayani. Rama itu hanya terbaring dan napasnya dibantu dengan oxigen tabung besar. Makan harus dicairkan dan jadi asupan lewat hidung dengan alat sonde. Setiap kali dahaknya harus disedot. Saya masuk menemaninya dengan duduk di kursi roda. Dalam suasana sepi, tiba-tiba karyawan itu berkata “Nggih niki aturan Gréja sing mboten kula setujoni” (Inilah aturan Gereja yang tak saya setujui). “Aturan apa?” tanya saya.  Rama mboten angsal gadhah sémah. Sareng sepuh mboten gadhah brayat sing ngupakara. Pripun ta niku, rama?” (Rama tak boleh beristri. Ketika tua tak ada keluarga yang menjaga. Bagaimana itu, rama?). Menghadapi pertanyaan ini saya hanya terkejut dan terbungkam. Dia bertanya lagi “Pripun ta, rama?” (Bagaimana, rama?). Jujur saja, menghadapi pertanyaan dari sosok yang sederhana dan amat peduli penuh kasih pada rama lansia dan amat berkebutuhan khusus, saya mentertawakan diri dan membayangkan wajah goblog saya sendiri. Dan dengan menahan hati geli, mulut saya berbunyi “Kuwi wis garisé rama Katolik” (Itu adalah garis kehidupan rama Katolik). Sebenarnya saya mau jawab “Meninggalkan satu dapat ganti seratus”, tapi jangan-jangan dia akan iri.

No comments:

Post a Comment

Jadi Katekumen Masuk Sorga Minggu 5

    "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Ker...