Dalam
santap menyantap hanya ada satu rama yang akan menikmati semuanya. Dia akan
menyantap semua jenis sajian. Kalau ada yang masuk dalam seleranya, dia akan
mengambil lebih. Sebenarnya dia sama dengan rama-rama lain yang sudah
kejangkitan penyakit-penyakit yang biasa bagi kaum lansia. Yang membedakan
adalah sikap tak peduli apakah menu-menu tertentu akan memperparah penyakitnya
atau tidak.
Lain
halnya dengan rama-rama lain. Tampaknya semua mengembangkan kebajikan dalam
menyantap menu makanan. Karena pada umumnya sudah kena penyakit gula darah,
persediaan nasi menjadi cukup sedikit. Masing-masing hanya akan menyantap porsi
nasi amat kecil. Bahkan makanan manis juga jarang masuk mulut. Kemampuan
membiasakan diri untuk makan sesuai dengan kondisi kongkret memang tidak begitu
saja terjadi. Pada umumnya mereka mengalami masa transisi.
Dalam rangka membiasakan santap menu sesuai penyakitnya ada salah satu pengalaman yang bagi saya amat menarik. Ini terjadi pada salah satu rama. Sebenarnya dia termasuk penyantap segala dan selalu tampak menikmati berbagai macam santapan. Tetapi karena periksa gula darah selalu di atas 200, dia tampak ingin mengendalikan. Pada suatu hari ada tamu ikut makan bersama para rama. Ketika saat makan seharusnya sudah selesai, semua harus menunggu rama ini. Pipi rama itu menggelembung dan mulut terkatup. Ada barang yang tertahan di dalam mulutnya. Padahal ketika menyantap makanan-makanan lain, dia tampak lancar mengunyah dan menelan. “Apa yang ada dalam mulutnya?” tamu itu bertanya dan saya jawab “Mangan apa waé termasuk salak mesthi langsung cair. Ning nèk banyu, langsung membeku dadi ès” (Makan apapun termasuk buah salah akan langsung mencair. Tetapi dengan air, langsung beku jadi es). Tamu itu keheranan dan muncul kernyitan-kernyitan di dahinya. Dia akhirnya bilang “Ooo” ketika karyawan berkata “Nembé ajar ngunjuk toya, amargi biasanipun mesthi legi” (Baru belajar minum air tawar, karena biasanya selalu dengan minuman manis).
No comments:
Post a Comment