Di dalam permenungan, saya kerap mengalami tampilan imajiner. Pada suatu ketika saya merenungkan kata-kata Yesus “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias.” (Mat 23:8-10) Bagi saya itu adalah amanat agar sebagai sesama murid Tuhan kita hidup sebagai sesama saudara dan sama martabat (ayat 23). Saya membayangkan itu jadi pembicaraan saya di depan umat. Dan saya menekankan bahwa firman Tuhan tak hanya untuk didengar dan diketahui. Kita tak boleh memandang orang dari status seperti guru, bapak, ibu, dan pemimpin. Semua sesama saudara sebagai anak Tuhan. Ini bukan untuk diomongkan tetapi harus jadi tindakan agar masuk sorga (bandingkan Matius 7:21b). Tiba-tiba terbayang ada yang bertanya “Tetapi kalau dijalankan, apakah itu tidak membuat orang jadi kurang ajar. Kita bisa bertindak tidak sopan. Masakan terhadap seorang rama saya hanya akan menyebut namanya. Masakan dengan seorang lurah kita tidak menyebut ‘Pak Lurah’. Masakan dengan orangtua kita tak menyapa bapak atau ibu.” Maka terjadilah debatan seru tentang melakukan kehendak Tuhan dalam tata pergaulan sehari-hari. Sayapun teringat ketika ada anak muda memanggilku “Mo” (Singkatan dari kata romo), anak itu kena teguran dari orang tua-tua. Dalam omong-omong imajiner ini saya sungguh disodori soal bagaimana orang saling bertegur sapa untuk menghayati jiwa bersaudara sama martabat.
Pada suatu sore rumah tua kami mendapat kunjungan uskup. Monsinyur masuk ke kamar kami masing-masing bergantian. Saya mendampingi beliau dengan berkursi roda. Ketika kami masuk kamar salah satu rama yang uzur, rama itu tersenyum tampak bahagia gembira dikunjungi. “Panjenengan sinten?” (Anda siapa) kata rama itu dengan bahasa Jawa halus kepada saya. Beliau memang amat sopan kepada siapapun. Beliau juga bukan lansia yang rewel. Namun kelupaannya membuatnya tak ingat dengan orang-orang yang sudah dikenalnya. “Ini Rama Bambang” Uskup memberi tahu dan beliau menanggapi “Ooooo ...” dengan senyum bersahabat. “Yèn panjenengan?” (Kalau Anda?) tanyanya pada Uskup dan saya yang menjawab “Ini Uskup” yang disambung oleh Sang Uskup “Saya Rubi”. Dan beliaupun hanya “Ooooo ...” Tiba-tiba saya teringat soal imajiner bagaimana orang saling bertegur sapa sebagai sesama saudara. Saya tertawa dalam hati karena muncul pertanyaan imajiner “Mungkinkah harus jadi lansia pelupa tapi manis dan tidak rewel?”
No comments:
Post a Comment