Sunday, July 11, 2021

Gotong Royong? (Pengalaman Lampau di Puren)


Di dalam Gaudium et Spes, dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja di tengah Dunia, “Gereja ialah persekutuan orang-orang yang disatukan dalam Kristus dibimbing oleh Roh Kudus dalam ziarah mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang.” Gereja melandaskan diri pada Persekutuan Ilahi, yaitu Allah Tritunggal Mahakudus. Persekutuan Gereja adalah ungkapan iman akan Persekutuan Allah Tritunggal Mahakudus. Hidup bersekutu menjadi perjuangan Gereja dalam dan bersama serta untuk masyarakat luas.

 

Di dalam kehidupan kongkret hakikat iman Gerejawi itu tampak dalam salah satu corak kegiatan yang bercorak partisipatif. Berbagai macam kegiatan dijalankan bersama-sama melibatkan banyak orang sesuai dengan bakat dan talenta sesuai karunia masing-masing. Gereja pun digambarkan bagaikan tubuh dengan Kristus sebagai kepala. Semua anggota atau unsur dalam tubuh tidak ada yang tidak bermakna. Semua ambil bagian sesuai dengan posisi dan fungsi masing-masing. Kehidupan saling membantu satu sama lain di dalam kehidupan masyarakat Jawa mendapatkan istilah gotong-royong.

 

Komunitas para rama lansia mau tidak mau juga harus menampakkan kehidupan persekutuan yang partisipatif. Memang, kondisi difabel yang membuat kebanyakan menjadi sosok berkebutuhan khusus, untuk ambil bagian secara fisik demi kebutuhan bersama seakan-akan telah mendapatkan dispensasi. Barangkali saling menyorongkan lauk yang dibutuhkan teman semeja makan, hal ini sudah bisa menampakkan kepersekutuan iman.

 

Ada hal yang menarik dalam kebersamaan. Pada saat makan seringkali terjadi salah satu rama melorot posisi duduknya di kursi roda. Dia akan memberi kode, karena untuk berbicara sulit bersuara, kepada karyawan. Seorang karyawan akan membantu dengan mengangkat tubuh dan menegakkannya pada sandaran kursi roda. Yang menarik adalah ketika tubuh diangkat selalu muncul suara “Eeekkkhh …..” dari salah satu rama lain. Maka, setiap ada peristiwa tubuh diangkat, selalu ada rama yang ngeden (kata Jawa yang berarti “mengejan” atau bersuara menahan napas seperti akan buang air besar) dengan “Eeekkkhh …..”nya. Ketika suatu saat saya berkata “Ternyata kita sungguh kompak. Di kala ada yang menahan napas dijunjung untuk duduk tegak, ada teman lain membantu untuk ngeden”, semua tertawa walau tak ada suara, karena pada umumnya sudah bersuara lirih.

No comments:

Post a Comment

Peringatan Arwah Tiga Rama

Hajatan yang diselenggarakan di Domus Pacis memang sudah dimulai dan kemudian menjadi kebiasaan. Itu terjadi sejak masih berada di Puren Pri...