Tuesday, February 21, 2023

Prapaskah : Selalu Mulai Rabu

Mulainya Rabu


Masa Prapaskah adalah hari-hari khusus keagamaan menuju Hari Raya Paskah. Umat Katolik melakukan persiapan perayaan Paskah selama 40 hari. Yang menjadi soal adalah kalau orang menghitung dengan teliti hari-hari di Masa Prapaskah dari Rabu Abu hingga Sabtu Suci:

Minggu

Prapaskah 1

Prapaskah 2

Prapaskah 3

Prapaskah 4

Prapaskah 5

Ming. Palma

Senin

Senin

Senin

Senin

Senin

Senin

Senin

Selasa

Selasa

Selasa

Selasa

Selasa

Selasa

Selasa

RABU ABU

Rabu

Rabu

Rabu

Rabu

Rabu

Rabu

Kamis

Kamis

Kamis

Kamis

Kamis

Kamis

KAMIS PUTIH

Jumat

Jumat

Jumat

Jumat

Jumat

Jumat

JUMAT AGUNG

Sabtu

Sabtu

Sabtu

Sabtu

Sabtu

Sabtu

SABTU SUCI

Kalau mingguan Masa Prapaskah ada enam (Prapaskah I-V ditambah Pekan Suci dari Minggu Palma hingga Sabtu Suci), ada jumlah hari sebanyak 42. Ditambah 4 hari dari Rabu Abu sampai dengan Sabtu sesudah Rabu Abu, kesemuanya ada 46 hari. Yang harus diketahui adalah bahwa Masa Prapaskah menjadi masa “Retret Agung”. Padahal di dalam Retret Agung pelaku retret akan libur pada hari Minggu. Sebenarnya persiapan menuju perayaan Paskah terjadi selama 6 minggu (5 kali Minggu Prapaskah ditambah seminggu Pekan Suci). Kalau dikurangi libur 6 kali, 42 hari dari 6 minggu akan berjumlah 36 hari. Maka butuh tambahan 4 hari dari hari Rabu hingga Sabtu. Itulah latarbelakang mengapa Masa Prapaskah selalu mulai dengan hari Rabu.

Pengembangan Pribadi

“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.” (Mat 6:1)

Secara umum di Indonesia orang sudah masuk golongan lanjut usia atau lansia kalau sudah menginjak umur kepala 6. Orang berusia 60 tahun ke atas sudah mendapatkan keistimewaan ketika akan naik kereta api atau kapal terbang. Dia tidak harus membayar penuh harga tiket karena ada potongan khusus. Di dalam Masa Prapaskah agama Katolik, yang dulu biasa disebut Masa Puasa, kaum lanjut usia juga sudah dibebaskan dari wajib berpuasa. Hal ini biasanya dinyatakan dalam surat gembala yang disampaikan oleh uskup sebelum masuk Masa Prapaskah.

Tindakan personal

Orang-orang Katolik yang sudah masuk golongan lanjut usia memang bebas dari kewajiban berpuasa sebagaimana diatur oleh keuskupan. Tetapi sabda Tuhan Yesus Kristus yang dibacakan dalam pembukaan Masa Prapaskah, yaitu dalam liturgi Rabu Abu, tidak berbicara tentang kewajiban berpuasa. Yesus berbicara tentang kewajiban beragama. Dan kewajiban ini adalah kegiatan pribadi perseorangan yang menjadi tindakan personal. Ini adalah tindakan yang harus sungguh diusahakan sebagai hal pribadi sehingga tak terlihat oleh orang lain.

Penanggalan Liturgi 2019 memberikan catatan untuk Masa Prapaskah: Pada Masa Prapaskah Gereja mempersiapkan pembaptisan dan membina tobat. (KL 109) Masa Prapaskah menjadi masa “Retret Agung”. Bagi kaum lanjut usia barangkali tujuan utama dalam menjalani Masa Prapaskah adalah untuk membina tobat. Hal ini tentu untuk menanggapi warta pertama dan utama Tuhan Yesus Kristus “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 4:17) Dengan bertobat umat membuka diri dan berkiblat pada kuasa dan kehadiran serta penyertaan Allah. Tuhan Yesus yang menjadi kenyataan hadir-Nya Kerajaan Sorga, yaitu kuasa dan penyertaan ilahi, memberikan teladan dengan “berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam” (Mat 4: 2). Hitungan 40 berkaitan dengan angka kudus. Pertobatan secara praktis adalah olah hati untuk terbuka pada bimbingan Roh Kudus. Dengan bimbingan Roh Kudus kita akan sungguh beriman, yaitu semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat.  Dengan menjalani Masa Prapaskah kita menyiapkan diri untuk merayakan Paskah yang menjadi landasan dasar hidup beriman. Dengan Paskah dinyatakanlah karya penyelamatan Allah lewat peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.

Penghalang utama

Budaya senioritas

Dari pengalaman, tampaknya ada budaya yang menempatkan kaum tua dan lanjut usia dalam jajaran sosial yang harus mendapatkan penghormatan dari generasi yang lebih muda apalagi kanak-kanak. Ada pula gambaran yang menempatkan golongan lanjut usia sebagai sosok-sosok yang “sudah banyak makan asam dan garam” atau “sudah mengenyam pahit dan manisnya kehidupan”. Lanjut usia adalah golongan orang-orang yang merasa penuh dengan aneka pengalaman. Karena pengalaman dipandang sebagai guru yang jauh lebih canggih daripada hasil studi akademis strata apapun, kaum lanjut usia juga dipandang sebagai tempat berguru kehidupan. Apalagi di tengah masyarakat yang amat mengagungkan ikatan darah entah dengan istilah trah atau marga atau she atau apapun yang lain, kaum lanjut usia masuk dalam jajaran yang harus amat diluhurkan. Semua itu adalah realitas kultural yang tidak dapat dihapus begitu saja dalam perkembangan masyarakat. Yang perlu dicatat adalah bahwa gambaran senioritas tidak hanya dikaitkan dengan umur. Kedudukan tinggi dalam masyarakat juga mendapatkan penghormatan kesenioran sehingga ada istilah “yang dituakan”. 

Dalam hal ini gambaran senioritas kalau tidak diwaspadai dapat menghalangi kaum lanjut usia menjalani wajib agama sebagai tindakan personal yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus Kristus. Orang lanjut usia dapat merasa tersinggung dan bahkan sakit hati apabila yang dilakukan tidak diperhatikan atau dihargai oleh orang-orang lain terutama oleh generasi yang lebih muda. Apalagi kalau yang sudah lanjut usia didorong oleh “nafsu jadi teladan” sehingga perbuatan baiknya menjadi bahan sharing yang tidak pada tempatnya. Dia dalam berceritera pengalaman dengan membanding-bandingkan yang terjadi pada orang lain dan bisa menempatkan dirinya memiliki kelebihan di antara orang-orang lain.

Post power syndrome

Ini terutama terkait dengan kaum lanjut usia yang di masa aktif produktif menikmati kedudukan sosial sebagai pemimpin atau jajaran kepengurusan institusi atau tokoh. Dia dulu menjadi sosok terhormat dan banyak orang menyambutnya dengan privilese tertentu. Barangkali dia juga kerap didatangi orang untuk tampil dengan segala kewibawaan yang hadir karena status jabatan atau status kecendekiawanan. Yang menjadi soal adalah kalau dia kini sudah pensiun atau berhenti tanpa status sosial. Bagi yang pernah mengagumkan karena ilmunya, setelah masuk golongan lanjut usia apa yang diketahui sudah berkategori out of date.

Di era dimana orang dituntut untuk mandiri dalam mencukupi kebutuhan, orang akan sibuk dengan urusan masing-masing. Di era global dimana orang akan tekait dengan jaringan-jaringan kerja dan kegiatan, orang akan amat terjerat dengan kelompok-kelompoknya. Di era kepesatan kemajuan tekhnologi komunikasi, orang akan lebih banyak menjadi anggota netizen sehingga lebih mesra dengan internet atau dunia maya. Dari satu sisi semua ini membuahkan hubungan kesemartabatan. Struktur institusi tidak bercorak vertikal tetapi horisontal. Di zaman seperti ini ilmu pengetahuan dan tekhologi juga mengalami pesatnya kemajuan. Dalam keseharian segalanya cepat basi dan yang baru bermunculan. Bagi kaum lanjut usia semua ini mudah membuatnya terpojok sebagai yang tertinggal dan mudah tidak menjadi fokus perhatian. Orang yang sudah lanjut usia, sekalipun hidup serumah dengan anak cucu, dapat lebih berada dalam kesendirian. Yang menjadi soal adalah kalau jiwanya dipenuhi oleh pemikiran irasional. Dia yang sudah out of date tanpa status sosial masih dipenuhi perasaan berwibawa karena pernah terhormat sebagai sosok berstatus dan atau sosok intelektual. Orang seperti ini akan mengidap penyakit jiwa post power syndrome yang “merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan individu melepaskan apa yang pernah dia dapatkan dari kekuasaannya terdahulu.” (https://www.liputan6.com)

No comments:

Post a Comment

Santo Bruno, Pengaku Iman

diambil dari https://www.imankatolik.or.id/kalender/6Okt.html Bruno lahir di kota Koln, Jerman pada tahun 1030. Semenjak kecil ia bercita-ci...