Sunday, February 18, 2024

Prapaskah : Wajib Berdoa



“Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (6:5-6)

 

a.     Bukan eksposisi

Ternyata doa juga dapat menjadi kemunafikan. Kalau sikap munafik adalah nafsu penonjolan diri, kemunafikan doa menjadi tindakan menunjukkan diri kepada khalayak bahwa seseorang adalah pendoa bahkan pendoa hebat. Untuk saat ini mungkin kemunafikan doa tidak terjadi “dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya”. Tetapi orang dapat saja berlama-lama berada di gedung Gereja atau kapel dengan niatan agar dilihat sedang berdoa. Sehingga di situ hanya sekedar duduk-duduk atau sebagai orang yang sudah berlanjut usia bosan dengan keadaan rumah. Bisa saja di situ orang hanya ber-HP-ria asyik sana-sini jumpa dengan banyak orang di dunia maya. Barangkali dengan HP dia tetap berada dalam kesibukan doa, yaitu dengan menuliskannya. Dan kemudian ditayangkan lewat dunia media sosial. Bahkan mungkin orang menyampaikan keberhasilannya lewat doa-doa tertentu.

Sebenarnya doa di dalam tempat ibadat dan menuliskannya sebagai sharing dalam media sosial bukan hal yang tidak terpuji. Di sini yang perlu dicermati dalam hati adalah dorongan batin dari yang dilakukan. Kalau itu sungguh untuk ungkapan relasi dengan Tuhan tentu saja menjadi keutamaan. Tetapi kalau untuk mengekspos diri agar dilihat atau diketahui orang sebagai “Nih, aku berdoa”, itulah yang dilarang oleh Tuhan Yesus. Kewajiban keagamaan bukan untuk mencari untung duniawi sekalipun itu berupa sanjungan atau pengakuan yang dapat menaikkan gengsi dalam hidup bersama.

 

b.     Jalan tol doa lanjut usia

Dalam kesendirian

Orang sering begitu saja menyamakan doa dengan ibadat. Ibadat itu menyangkut kebersamaan dalam mengungkapkan hubungan denganTuhan. Karena menjadi tindakan bersama, dalam ibadat biasa ada panduan atau doa-doa tradisi agar semua dapat terlibat. Lain halnya dengan doa. Doa adalah hubungan personal orang dengan Tuhan. Ini adalah relasi yang sungguh pribadi antara “aku insani” dengan “Aku ilahi”. Hubungan pribadi dengan Allah akan mendasari segala kebaikan dalam hidup termasuk dalam hidup keagamaan. Peribadatan akan sungguh bermakna kalau dilandasi oleh masing-masing peserta yang memiliki kebiasaan kontak personal dengan Allah. Bahkan doa tradisi, yang diucapkan dalam doa pribadi, akan sungguh bermakna karena adanya kebiasaan kontak personal dengan Allah.

Karena doa pada dasarnya merupakan hubungan personal dengan Allah, layaklah bila Tuhan Yesus berkata “jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” Hubungan pribadi dengan Allah mengkondisikan orang berhubungan dengan Allah seperti dengan orang tua atau sosok yang mencinta dan jadi topangan jiwani. Ini adalah tindakan yang dihayati dalam kesendirian. Yesus menggambarkan doa sejati ada di tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang lain. Bagi kaum lanjut usia untuk masuk dalam kesendirian adalah hal yang amat leluasa dapat dialami. Pada umumnya orang yang masuk lanjut usia sudah tidak banyak aktif dalam kebersamaan. Hidupnya sudah banyak berada dalam kesendirian. Bila tinggal di rumah tua, dia akan berjumpa dengan orang serumah hanya dalam jam-jam tertentu dalam acara bersama seperti makan atau ibadat. Bila hidup serumah dengan anak cucu, orang lanjut usia banyak ditinggal sendiri karena mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Apalagi kalau berada di rumah sementara anak cucu tidak tinggal bersama, dia akan berjumpa dengan orang lain bila masih dapat ikut aktif dalam pertemuan-pertemuan. Kaum lanjut usia yang beriman akan menghayati kondisi kesendirian itu justru menjadi anugerah istimewa sehingga bisa mendapatkan jalan leluasa memesrakan hidup berhubungan dengan Allah.

Sendiri berhening diri

Doa sebagai perjumpaan dengan Allah di tempat tersembunyi mengarahkan orang dalam kesendiriannya masuk dalam hubungan dengan relung hati. Di dalam relung hati orang tidak berjumpa dengan dirinya tetapi dengan Allah sendiri karena setiap orang adalah “bait dari Allah yang hidup” (2Kor 6:16). Sekalipun hati hanyalah bagian dari unsur jasmaniah tetapi tubuh manusia adalah “bait Roh Kudus” (1Kor 6:19).

Satu hal yang bisa menjadi soal adalah kenyataan kesendirian kaum lanjut usia membuat orang mengalami suasana sepi yang bisa membuat kesepian. Dari sini kaum lanjut usia memang harus mengolah suasana sepi sendiri menjadi kesempatan leluasa untuk berhening diri. Ketika ada liburan Hari Raya Nyepi Selasa 12 Maret 2013 saya teringat ketika mengalami Hari Raya itu di Bali pada tahun 2006. Dengan ingatan itu saya membuat catatan berkaitan dengan kenyataan kaum lanjut usia. “Bukankah kaum tua pada umumnya banyak mengalami kesendirian? Bukankah kaum tua banyak mengalami suasana sepi karena sendiri? Kalau begitu, bukankah Hari Raya Nyepi dapat menyadarkan kaum tua akan ANUGERAH SUASANA SEPI yang dimiliki secara berlebihan?” Yang saya sebut anugerah suasana sepi adalah kesempatan berhening diri. Santa Theresa dari Calcuta mengatakan bahwa keheningan adalah as atau poros kekudusan karena lewat keheningan orang akan selalu tersambung secara personal dengan Allah. Secara umum pola dinamika olah rohani Santa Theresa adalah “Dengan hening aku berdoa; Dengan doa aku beriman; Dengan iman aku mengasih; Dengan kasih kualami kedamaian”. Kedamaian adalah suasana orang yang selalu mengalami keheningan dalam dirinya. Di dalam catatan itu saya mengetengahkan olah rohani mencapai keheningan dengan merujuk pada religiusitas Jawa.

 

Berkaitan dengan kemampuan hening diri, hal ini mudah terjadi kalau orang dapat mengalami suasana sepi sendiri. Dalam suasana seperti ini orang akan meNeng (diam). Kalau suasana diam ini dijalani, orang dapat mengalami suasana weNing (hening, jernih) sehingga dapat menyadari banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya dengan jernih atau jelas. Kejernihan diri akan membuat orang duNung (paham) apa yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan dan kalau perlu perubahan diri. Proses ini membuat orang meNang (mampu bersusah payah melakukan yang bermakna untuk dirinya). Suasana sepi kalau diterima dan dijalani secara alami akan membawa orang berbudi pekerti luhur karena proses Neng, Ning, Nung, Nang. Dalam hidup keagamaan, ini semua membawa orang berproses menjadi orang kerabat ilahi.

Lamunan iman

Sebetulnya keheningan berkaitan dengan suasana hati. Hati hening dapat dialami dalam keadaan apapun termasuk dalam kesibukan maupun dalam pertemuan-pertemuan. Dan karena hati hening orang tetap dapat membangun sambung batin dengan Tuhan lewat omongan-omongan singkat dalam hati seperti dalam ber-SMS-an. Tetapi dalam kesendirian, yang pada umumnya menjadi anugerah berlimpah bagi kaum lanjut usia, orang dapat makin memperdalam kemesraan dengan Tuhan. Dengan memanfaatkan proses rohani dalam religiusitas Jawa, hal itu dapat berada dalam kisaran sebagai berikut:

·       NENG. Karena banyak berada dalam kesendirian kaum lanjut usia sungguh mendapatkan keleluasaan untuk meneng (diam). Di dalam diam kita bisa mengulang-ulang kata-kata yang membuat hati kita terbukan pada Tuhan. Selayaknya kita memiliki kata-kata keagamaan yang bisa kita ucapkan seperti mantra. Kata-kata itu misalnya “Tuhan ... Tuhan ...” atau “Ya Tuhan, aku datang melakukan kehendak-Mu” atau kata-kata lain yang kita ketemukan dalam khasanah hidup beragama.

·       NING. Dari proses diam, kita dapat menyadari apa yang kita pikir, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita kehendaki. Itu semua menjadi jelas dalam kesadaran diri. Di sinilah kita mengalami yang disebut wening (jernih bagaikan air kolam tak tercemar). Inilah keheningan. Dalam keadaan hening inilah segalanya menjadi seperti bayangan yang tampak jelas dalam benak. Dan dalam keheningan ini kita omongkan apapun yang terpikir atau terasa atau terkehendaki dengan Tuhan dalam hati. Dalam hati hening kita dapat asyik ngobrol dengan Dia.

·       NUNG. Dalam omongan asyik dengan Tuhan dalam hati, sadar atau tidak sadar kita mengalami bimbingan Roh. Dalam bimbingan Roh kita akan dunung (memahami) apa dan mengapa kita punya pikiran atau perasaan atau kehendak atau campuran (entah keduanya entah ketiganya) seperti itu. Di dalam bimbingan Roh kita dapat menimbang-nimbang banyak hal.

·       NANG. Karena memahami semua bayangan yang muncul dari pikiran, perasaan, dan kehendak, orang dapat menang. Kata menang memang ada konotasi dengan peristiwa mengalahkan. Sebagai murid Tuhan Yesus kita memang harus berjuang mengalahkan diri. Tuhan berkata “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23) Kita mampu menyangkal pikiran, perasaan, dan kehendak yang hanya membuat kita tak dapat menerima keadaan nyata lanjut usia. Dengan bimbingan Roh kita mampu dan menerima dengan ceria salib atau keadaan tidak enak harian karena kondisi lanjut usia. Ini semua terjadi karena kita orang yang ada dalam kuasa ilahi dan menang berhadapan dengan yang membuat kita berpaling dari Allah. Dengan demikian kita akan mengalami keceriaan batin (dalam religiusitas Jawa ada istilah pamudaran yang bermakna pencerahan) karena mempercayakan diri pada Injil, yaitu warta sukacita yang diamanatkan Kristus. Kita dapat menjalani warta utama Tuhan Yesus “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15)

Doa dalam sendiri berhening diri memang seperti peristiwa melamun. Tetapi ini adalah lamunan iman. Ini bukan lamunan yang membuat orang masuk dalam rimba aneka pikiran, perasaan, dan kehendak yang bisa menyesatkan. Ini adalah lamunan yang membawa kita untuk menghayati diri sebagai “bait Roh Kudus” (1Kor 6:19)

 

c.      Penghalang utama

Karena doa pribadi, yang sejatinya masuk dalam kesendirian mengalami kemesraan hubungan batin dengan Tuhan, penghalang utama adalah kalau orang tak mampu menghayati kesendirian. Untuk murid Kristus pada umumnya kesendirian iman dapat terjadi dalam kesempatan misalnya rekoleksi dan retret. Kalau orang tak tahan untuk masuk dalam diam sendiri, orang amat terhalang untuk sungguh berdoa. Ketidakmampuan diam sendiri ini dalam diri kaum lanjut usia akan membuat hidup kacau bukan main. Kaum lanjut usia yang sulit mengalami kesendirian akan mudah sangat diwarnai oleh keinginan banyak bepergian atau ikut banyak kumpulan. Dia dapat berdalih no man is an island (manusia itu bukan sebuah pulau yang terpisah dengan pulau-pulau lain). Atau yang lebih populer orang dapat berkata “manusia itu makhluk sosial”. Tetapi dalih atau alasan seperti itu, kalau melupakan bahwa manusia itu pribadi, justru hanya jadi hambatan dalam hidup bersama. Kaum lanjut usia seperti ini dalam kumpulan mudah tampil mengganggu orang-orang lain. Anak cucu yang tinggal serumah pun akan berusaha menyingkir. Dalam dirinya orang lanjut usia demikian jauh dari sambung batin dengan Allah. Dan kalau “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8), dia adalah orang lanjut usia yang kosong penghayatan kasih dan penuh dengan nafsu-nafsu egoistis.

No comments:

Post a Comment

Peringatan Arwah Tiga Rama

Hajatan yang diselenggarakan di Domus Pacis memang sudah dimulai dan kemudian menjadi kebiasaan. Itu terjadi sejak masih berada di Puren Pri...