“Dan apabila
kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan
doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan
raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka
sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu,
tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka
Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (6:5-6)
a. Bukan eksposisi
Ternyata doa juga dapat menjadi kemunafikan. Kalau sikap
munafik adalah nafsu penonjolan diri, kemunafikan doa menjadi tindakan
menunjukkan diri kepada khalayak bahwa seseorang adalah pendoa bahkan pendoa
hebat. Untuk saat ini mungkin kemunafikan doa tidak terjadi “dengan berdiri
dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya”. Tetapi orang
dapat saja berlama-lama berada di gedung Gereja atau kapel dengan niatan agar
dilihat sedang berdoa. Sehingga di situ hanya sekedar duduk-duduk atau sebagai
orang yang sudah berlanjut usia bosan dengan keadaan rumah. Bisa saja di situ
orang hanya ber-HP-ria asyik sana-sini jumpa dengan banyak orang di dunia maya.
Barangkali dengan HP dia tetap berada dalam kesibukan doa, yaitu dengan
menuliskannya. Dan kemudian ditayangkan lewat dunia media sosial. Bahkan
mungkin orang menyampaikan keberhasilannya lewat doa-doa tertentu.
Sebenarnya doa di dalam tempat ibadat dan menuliskannya
sebagai sharing dalam media sosial bukan hal yang tidak terpuji. Di sini yang
perlu dicermati dalam hati adalah dorongan batin dari yang dilakukan. Kalau itu
sungguh untuk ungkapan relasi dengan Tuhan tentu saja menjadi keutamaan. Tetapi
kalau untuk mengekspos diri agar dilihat atau diketahui orang sebagai “Nih, aku
berdoa”, itulah yang dilarang oleh Tuhan Yesus. Kewajiban keagamaan bukan untuk
mencari untung duniawi sekalipun itu berupa sanjungan atau pengakuan yang dapat
menaikkan gengsi dalam hidup bersama.
b. Jalan tol doa lanjut usia
Dalam
kesendirian
Orang sering begitu saja menyamakan doa dengan ibadat.
Ibadat itu menyangkut kebersamaan dalam mengungkapkan hubungan denganTuhan.
Karena menjadi tindakan bersama, dalam ibadat biasa ada panduan atau doa-doa
tradisi agar semua dapat terlibat. Lain halnya dengan doa. Doa adalah hubungan
personal orang dengan Tuhan. Ini adalah relasi yang sungguh pribadi antara “aku
insani” dengan “Aku ilahi”. Hubungan pribadi dengan Allah akan mendasari segala
kebaikan dalam hidup termasuk dalam hidup keagamaan. Peribadatan akan sungguh
bermakna kalau dilandasi oleh masing-masing peserta yang memiliki kebiasaan
kontak personal dengan Allah. Bahkan doa tradisi, yang diucapkan dalam doa
pribadi, akan sungguh bermakna karena adanya kebiasaan kontak personal dengan
Allah.
Karena doa pada dasarnya merupakan hubungan personal dengan
Allah, layaklah bila Tuhan Yesus berkata “jika engkau berdoa, masuklah ke dalam
kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat
tersembunyi.” Hubungan pribadi dengan Allah mengkondisikan orang berhubungan
dengan Allah seperti dengan orang tua atau sosok yang mencinta dan jadi
topangan jiwani. Ini adalah tindakan yang dihayati dalam kesendirian. Yesus
menggambarkan doa sejati ada di tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh
orang lain. Bagi kaum lanjut usia untuk masuk dalam kesendirian adalah hal yang
amat leluasa dapat dialami. Pada umumnya orang yang masuk lanjut usia sudah
tidak banyak aktif dalam kebersamaan. Hidupnya sudah banyak berada dalam
kesendirian. Bila tinggal di rumah tua, dia akan berjumpa dengan orang serumah
hanya dalam jam-jam tertentu dalam acara bersama seperti makan atau ibadat.
Bila hidup serumah dengan anak cucu, orang lanjut usia banyak ditinggal sendiri
karena mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Apalagi kalau berada di rumah
sementara anak cucu tidak tinggal bersama, dia akan berjumpa dengan orang lain
bila masih dapat ikut aktif dalam pertemuan-pertemuan. Kaum lanjut usia yang beriman
akan menghayati kondisi kesendirian itu justru menjadi anugerah istimewa
sehingga bisa mendapatkan jalan leluasa memesrakan hidup berhubungan dengan
Allah.
Sendiri
berhening diri
Doa sebagai perjumpaan dengan Allah di tempat tersembunyi
mengarahkan orang dalam kesendiriannya masuk dalam hubungan dengan relung hati.
Di dalam relung hati orang tidak berjumpa dengan dirinya tetapi dengan Allah
sendiri karena setiap orang adalah “bait dari Allah yang hidup” (2Kor 6:16).
Sekalipun hati hanyalah bagian dari unsur jasmaniah tetapi tubuh manusia adalah
“bait Roh Kudus” (1Kor 6:19).
Satu hal yang bisa menjadi soal adalah kenyataan kesendirian
kaum lanjut usia membuat orang mengalami suasana sepi yang bisa membuat
kesepian. Dari sini kaum lanjut usia memang harus mengolah suasana sepi sendiri
menjadi kesempatan leluasa untuk berhening diri. Ketika ada liburan Hari Raya
Nyepi Selasa 12 Maret 2013 saya teringat ketika mengalami Hari Raya itu di Bali
pada tahun 2006. Dengan ingatan itu saya membuat catatan berkaitan dengan
kenyataan kaum lanjut usia. “Bukankah kaum tua pada
umumnya banyak mengalami kesendirian? Bukankah
kaum tua banyak mengalami suasana sepi karena sendiri? Kalau begitu, bukankah Hari Raya Nyepi dapat
menyadarkan kaum tua akan ANUGERAH SUASANA SEPI yang dimiliki secara berlebihan?” Yang saya sebut anugerah suasana
sepi adalah kesempatan berhening diri. Santa Theresa dari Calcuta mengatakan
bahwa keheningan adalah as atau poros kekudusan karena lewat keheningan orang akan
selalu tersambung secara personal dengan Allah. Secara umum pola dinamika olah
rohani Santa Theresa adalah “Dengan hening aku berdoa; Dengan doa aku beriman;
Dengan iman aku mengasih; Dengan kasih kualami kedamaian”. Kedamaian adalah
suasana orang yang selalu mengalami keheningan dalam dirinya. Di dalam catatan
itu saya mengetengahkan olah rohani mencapai keheningan dengan merujuk pada
religiusitas Jawa.
Berkaitan dengan kemampuan hening diri, hal ini mudah terjadi
kalau orang dapat mengalami suasana sepi sendiri. Dalam suasana seperti ini
orang akan meNeng (diam). Kalau suasana diam ini dijalani,
orang dapat mengalami suasana weNing (hening, jernih)
sehingga dapat menyadari banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya dengan
jernih atau jelas. Kejernihan diri akan membuat orang duNung (paham)
apa yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan dan kalau perlu perubahan diri.
Proses ini membuat orang meNang (mampu bersusah payah melakukan
yang bermakna untuk dirinya). Suasana sepi kalau diterima dan dijalani secara
alami akan membawa orang berbudi pekerti luhur karena proses Neng,
Ning, Nung, Nang. Dalam hidup keagamaan, ini semua membawa orang berproses
menjadi orang kerabat ilahi.
Lamunan iman
Sebetulnya keheningan berkaitan dengan suasana hati. Hati
hening dapat dialami dalam keadaan apapun termasuk dalam kesibukan maupun dalam
pertemuan-pertemuan. Dan karena hati hening orang tetap dapat membangun sambung
batin dengan Tuhan lewat omongan-omongan singkat dalam hati seperti dalam
ber-SMS-an. Tetapi dalam kesendirian, yang pada umumnya menjadi anugerah
berlimpah bagi kaum lanjut usia, orang dapat makin memperdalam kemesraan dengan
Tuhan. Dengan memanfaatkan proses rohani dalam religiusitas Jawa, hal itu dapat
berada dalam kisaran sebagai berikut:
·
NENG.
Karena banyak berada dalam kesendirian kaum lanjut usia sungguh mendapatkan
keleluasaan untuk meneng (diam). Di dalam diam kita bisa mengulang-ulang kata-kata
yang membuat hati kita terbukan pada Tuhan. Selayaknya kita memiliki kata-kata
keagamaan yang bisa kita ucapkan seperti mantra. Kata-kata itu misalnya “Tuhan
... Tuhan ...” atau “Ya Tuhan, aku datang melakukan kehendak-Mu” atau kata-kata
lain yang kita ketemukan dalam khasanah hidup beragama.
·
NING. Dari
proses diam, kita dapat menyadari apa yang kita pikir, apa yang kita rasakan,
dan apa yang kita kehendaki. Itu semua menjadi jelas dalam kesadaran diri. Di
sinilah kita mengalami yang disebut wening (jernih bagaikan air kolam tak
tercemar). Inilah keheningan. Dalam keadaan hening inilah segalanya menjadi
seperti bayangan yang tampak jelas dalam benak. Dan dalam keheningan ini kita
omongkan apapun yang terpikir atau terasa atau terkehendaki dengan Tuhan dalam
hati. Dalam hati hening kita dapat asyik ngobrol dengan Dia.
·
NUNG. Dalam
omongan asyik dengan Tuhan dalam hati, sadar atau tidak sadar kita mengalami
bimbingan Roh. Dalam bimbingan Roh kita akan dunung (memahami) apa
dan mengapa kita punya pikiran atau perasaan atau kehendak atau campuran (entah
keduanya entah ketiganya) seperti itu. Di dalam bimbingan Roh kita dapat
menimbang-nimbang banyak hal.
·
NANG.
Karena memahami semua bayangan yang muncul dari pikiran, perasaan, dan
kehendak, orang dapat menang. Kata menang memang ada
konotasi dengan peristiwa mengalahkan. Sebagai murid Tuhan Yesus kita memang
harus berjuang mengalahkan diri. Tuhan berkata “Setiap orang yang mau mengikut
Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut
Aku.” (Luk 9:23) Kita mampu menyangkal pikiran, perasaan, dan kehendak yang
hanya membuat kita tak dapat menerima keadaan nyata lanjut usia. Dengan
bimbingan Roh kita mampu dan menerima dengan ceria salib atau keadaan tidak
enak harian karena kondisi lanjut usia. Ini semua terjadi karena kita orang
yang ada dalam kuasa ilahi dan menang berhadapan dengan yang membuat kita
berpaling dari Allah. Dengan demikian kita akan mengalami keceriaan batin
(dalam religiusitas Jawa ada istilah pamudaran
yang bermakna pencerahan) karena mempercayakan diri pada Injil, yaitu warta
sukacita yang diamanatkan Kristus. Kita dapat menjalani warta utama Tuhan Yesus
“Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk
1:15)
Doa
dalam sendiri berhening diri memang seperti peristiwa melamun. Tetapi ini
adalah lamunan iman. Ini bukan lamunan yang membuat orang masuk dalam rimba
aneka pikiran, perasaan, dan kehendak yang bisa menyesatkan. Ini adalah lamunan
yang membawa kita untuk menghayati diri sebagai “bait Roh Kudus” (1Kor 6:19)
c. Penghalang utama
Karena doa pribadi, yang sejatinya masuk dalam kesendirian
mengalami kemesraan hubungan batin dengan Tuhan, penghalang utama adalah kalau
orang tak mampu menghayati kesendirian. Untuk murid Kristus pada umumnya
kesendirian iman dapat terjadi dalam kesempatan misalnya rekoleksi dan retret.
Kalau orang tak tahan untuk masuk dalam diam sendiri, orang amat terhalang
untuk sungguh berdoa. Ketidakmampuan diam sendiri ini dalam diri kaum lanjut
usia akan membuat hidup kacau bukan main. Kaum lanjut usia yang sulit mengalami
kesendirian akan mudah sangat diwarnai oleh keinginan banyak bepergian atau
ikut banyak kumpulan. Dia dapat berdalih no
man is an island (manusia itu bukan sebuah pulau yang terpisah dengan
pulau-pulau lain). Atau yang lebih populer orang dapat berkata “manusia itu
makhluk sosial”. Tetapi dalih atau alasan seperti itu, kalau melupakan bahwa
manusia itu pribadi, justru hanya jadi hambatan dalam hidup bersama. Kaum
lanjut usia seperti ini dalam kumpulan mudah tampil mengganggu orang-orang
lain. Anak cucu yang tinggal serumah pun akan berusaha menyingkir. Dalam
dirinya orang lanjut usia demikian jauh dari sambung batin dengan Allah. Dan
kalau “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8), dia adalah orang lanjut usia yang kosong
menghayatan kasih dan penuh dengan nafsu-nafsu egoistis.