Begitu masuk bulan Januari 2023 perasaan saya sering diwarnai ingatan tanggal 22 Januari. Pada tahun 1981 di tanggal itu saya menerima Sakramen Tahbisan Imamat dari Rm. Kardinal Justinus Darmojuwana. Besok 22 Januari 2023 saya memasuki hari tahbisan ke 42. Peringatan hari tahbisan di Domus Pacis St. Petrus akan dibersamakan dengan Rm. Suntara dan Rm. Harto serta Rm. Ria. Rm. Suntara dan Rm. Harta ditahbiskan pada 25 Januari. Kalau tahbisan Rm. Suntara terjadi pada tahun 1982, Rm. Harto terjadi pada tahun 1984. Sementara itu Rm. Ria menerima tahbisan imamat pada 5 Februari 1973. Perayaan peringatan di Domus akan terjadi pada Sabtu sore 4 Februari 2023.
Karena konteks
peristiwa itu, saya dalam doa renung sering merefleksikan kehidupan imamat yang
saya jalani. Pada pagi dini hari Selasa 17 Januari 2023 saya teringat bacaan
pertama dalam Misa Harian pada Senin hari sebelumnya. Itu adalah surat kepada
orang Ibrani 5:1-10. Dalam kutipan itu dibicarakan tentang imam. Ada imam yang
mewarnai kehidupan tradisi peribadatan orang Israel, yaitu kaum suku Levi. Di
antara mereka ada yang terpilih menjadi imam besar. Mereka menjadi imam karena
faktor keturunan. Dalam hal ini Tuhan Yesus Kristus, yang sebenarnya masuk dalam
suku Yuda, diyakini menjadi Imam Besar karena derita-Nya. Dia menjadi Imam
Besar karena panggilan ilahi menurut ketentuan Melkisedek. Jadi imamat Kristus
bukan karena bukan faktor keturunan tetapi seperti Melkisedek yang misterius
tanpa ayah ibu dan tanpa silsilah. Dalam hal ini saya terkesan pernyataan ayat
8-9 :
Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar
menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah mencapai
kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang
taat kepada-Nya.
1. Dasarnya Ketaatan
Tuhan Yesus mengalami sengsara hingga wafat sebagai tanda ketaatan terhadap Bapa. Kesemuanya menghadirkan kesempurnaan yang berupa keselamatan abadi. Ini semua menjadi pokok bagi semua orang yang taat kepada Tuhan Yesus Kristus. Bagi saya ketaatan memang menjadi pegangan utama untuk menghayati kehidupan. Saya sering membayangkan peristiwa pentahbisan imamat. Salah satu hal yang paling mengesan adalah bagian pertanyaan Uskup berkaitan dengan janji imamat. Untuk seorang imam projo Uskup bertanya apakah calon tertahbis bersedia kepada Uskupnya dan pengganti-penggantinya. Kepada biarawan pertanyaan dikaitkan dengan ketaatan kepada pembesar dan pengganti-penggantinya. Untuk diri saya pada tanggal 22 Januari 1981 Bapak Kardinal Justinus Darmojuwana bertanya “Apakah romo bersedia taat pada saya dan pengganti-pengganti saya?” dan saya menjawab “Ya, saya bersedia”.
Katanya, menurut seorang tokoh abad 3, dalam hidup membiara pada zaman dulu yang menjadi kaul hanyalah ketaatan. Selibat dan kemiskinan adalah buah ketaatan bagi kaum yang membiara. Bagi saya ketaatan sungguh menghadirkan keceriaan dalam relung hati. Memang, tidak jarang saya bergulat misalnya dengan ketidakcocokan bahkan ketidaksetujuan terhadap kebijakan dan keputusan tertentu dari pimpinan. Tetapi dengan membuat bahkan memaksa diri tidak menuruti kemauan sendiri, ternyata saya bisa terbebaskan dari cakrawala sempit selera diri. Ketidakenakan bahkan derita batin dan raga, kalau itu keharusan taat pada dokter berkaitan dengan penyakit, membuat saya boleh mendapatkan jalan tol ikut Tuhan Yesus Kristus. Bukankah Tuhan berkata “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23)? Saya juga kerap merasa boleh ikut mencicipi sikap batin Bunda Maria “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Hal ini, sekalipun kerap diwarnai berbagai kelemahan dan dosa, saya boleh merasakan buah kegembiraan karena melakukan seperti yang dikatakan oleh pemazmur “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!” (Mzm 34:9)
2. Pengalaman Ketaatan
Saya yakin bahwa beriman itu ikut Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Sebagai imam saya hidup dalam kerangka kehidupan Gerejawi. Saya juga menghayati diri sebagai ciptaan Tuhan yang tak hanya jiwani tetapi juga ragawi. Secara jiwani saya juga punya hati yang harus menjadi arena olah diri. Saya mengalami ketiga hal itu sebagai pembentuk kongkret ketaatan iman.
a. Taat pada penghadir Uskup
Sebagai imam projo ketaatan saya tertuju kepada Uskup. Tetapi secara kongkret saya tidak menjumpai Uskup dalam keseharian. Kini sebagai imam tua, yang tinggal di rumah tua Domus Pacis St. Petrus, yang saya hadapi adalah seorang imam yang berusia 30 tahun lebih muda dari saya. Tetapi beliau adalah sosok yang menerima SK Uskup untuk menjadi Direktur Domus. Itu berarti beliau berada di Domus sebagai penghadir Uskup. Inilah yang membuat saya mentaati apapun ketentuan dan keputusan serta berbagai kebijakan Romo Direktur. Sikap taat itu sungguh menjadi dinamika spiritual karena tidak jarang harus saya sertai dengan penyangkalan terhadap yang saya maui.
Ketaatan saya
terhadap Rm. Hartanta sebagai imam, yang mendapat SK menjadi Direktur Domus,
juga saya tujukan kepada imam-imam lain di wilayah tanggungjawabnya sesuai
dengan SK yang mereka terima dari Uskup. Sebagai misal kalau saya akan memimpin
Misa atas permintaan keluarga atau kelompok tertentu, saya akan mentaati
kebijakan yang diterapkan oleh romo paroki di situ. Secara lebih luas, saya
juga akan mengikuti kebijakan Romo Vikep (Vikaris Episkopalis) di wilayah
penugasannya.
b. Taat pada dokter
Sebenarnya sudah
sejak umur 21 tahun saya sudah menderita hipertensi. Tetapi penyakit saya
bertambah-tambah pada usia 40an, 50an, dan 60an. Kini, selain hipertensi, saya
mengidap asam urat, kolesterol, trigiserid, dan diabetes. Obat-obatan menjadi
menu harian yang menyertai makan 3 kali sehari. Dokter dari RS Sakit Panti
Rapih menjadi tempat gantungan untuk menjaga tubuhku dalam mengelola penyakit
yang ada. Ketika tahu bahwa dulu saya tak bisa lepas dari bakmi, nasi goreng,
dan gudeg, dokter melarangnya. Ketika berada dalam konsultasi dengan ahli gizi,
saya harus banyak makan sayuran dan buah. Padahal saya sungguh tidak suka yang
namanya sayuran dan buah-buahan. Tetapi, demi kesegaran tubuh walau ada
penyakit-penyakitnya, saya berjuang mentaati “perintah” rumah sakit. Untunglah
dokter masih tersenyum kalau sekali dua kali saya mewarnai mulut saya dengan
bakmi atau nasi goreng atau gudeg barangkali sebanyak seperseratus porsi tempo
dulu.
c. Taat pada kedalaman batin
Saya punya
kebiasaan merasa-rasakan dalam hati apapun tangkapan saya terhadap peristiwa
yang saya lihat ataupun yang saya dengar. Bahkan tulisan yang saya baca juga
bisa masuk arena perbincangan batin. Itu menjadi dialog dengan relung hati. Itu
menjadi kebiasaan doa batin. Saya omong atau juga mendengarkan omongan yang
muncul dalam hati. Dalam kesempatan leluasa itu dapat menjadi glenikan
atau bahkan diskusi dan debat dengan yang biasa saya sebut Gusti. Dalam
kesibukan apapun, kalau ada hal yang mengesan baik menyenangkan ataupun tak
menyenangkan, saya biasa seperti mengirim SMS dalam kalimat singkat ke Gusti.
Entah bagaimana ternyata apapun yang terjadi dalam dinamika batin telah
melandasi sikap dan tindakan saya. Saya tak menyepelakan. Saya selalu menggubrisnya.
Bahkan saya mentaati amanat yang muncul dalam relung batin.
3. Kesimpulan
Sebenarnya tulisan di atas terjadi secara bertahap. Semua adalah buah dari permenungan dalam keheningan yang terjadi dalam beberapa kali biasanya di pagi dini hari. Buah-buah setiap keheningan itulah yang tertata dalam tulisan di atas. Kemudian dalam kesimpulan ini saya mencoba untuk menuliskan hasil permenungan saya atas hal-hal tertulis di atas.
Kalau melihat diri, keinginan dan ambisi bahkan nafsu kuasa saya cukup besar. Katanya, pada dasarnya orang Jawa merasa sungguh menjadi orang kalau memiliki status yang menghadirkan kekuasaan dan harta. Padahal saya juga berdarah Jawa. Apalagi saya juga mengalami posisi dengan wewenang bidang tertentu bercakupan luas tingkat Keuskupan bahkan pernah juga tingkat Regio Jawa. Sekalipun hanya sebentar mengalami karya paroki, dengan berkarya selama 27 tahun di dalam karya misioner dan karya kepausan saya mengalami dikenal oleh banyak umat dari banyak paroki bahkan lintas Keuskupan. Apalagi cakrawala perspektif saya tak hanya ilmu keagamaan. Maka, terhadap pimpinan saya juga tak jarang merasa punya kelebihan. Saya juga kerap merasakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan dan ketentuan romo pimpinan. Tetapi dalam realita saya bisa dengan tenang dan gembira mentaati apapun tatanan yang disampaikan oleh romo pimpinan. Apapun yang sudah menjadi ketentuan selalu saya taati sekalipun harus dengan menyangkal diri karena punya pikiran berbeda.
Saya juga pernah heran akan ketaatan saya pada dokter yang menangani saya. Bertahun-tahun saya mengalami hipertentsi. Mengupayakan tekanan darah di bawah 100 amat sulit sekali. Biasanya antara 100-105. Tekanan atas selalu paling tidak 150. Asam urat, kolesterol, dan trigiserida juga tidak teratasi. Saya sudah menjalani berbagai nasehat kalau makan harus menyingkiri lauk ini atau itu. Datang rutin ke dokter juga saya jalani. Tetapi sejak tahun 1990an penyakit-penyakit itu makin membuat krisis kesegaran tubuh. Mengingat kondisi badan seperti itu saya sungguh merasa gembira ketika pada 1 Juli 2010 pindah di rumah romo tua Domus Pacis Puren, Pringwulung. Saya dibebaskan dari tanggungjawab dinas. Tetapi di Domus saya mengalami diabetes sebagai tambahan penyakit. Itu terjadi pada Januari 2012. Di sinilah saya berhadapan dengan ketentuan dari seorang dokter. Kalau itu saya jalani, ini berarti saya mengubah pola makan dalam diri saya. Saya harus tidak menjadikan bakmi, nasi goreng, dan gudeg sebagai menu utama. Saya harus mengutamakan sayuran dan buah yang sebenarnya tidak saya sukai. Maka, agar sungguh efektif, saya nekad menjadikan sayuran sebagai makanan pokok menggantikan nasi. Lauk biasa. Selain itu setiap bangun tidur saya langsung makan buah. Pada hari permulaan saya mengalami badan lemas. Beberapa hari saya sungguh merasakan derita badan seperti krisis energi. Selama 6 hari rasanya seperti tak tertanggungkan sehingga sering tergoda untuk makan seperti biasa. Tetapi ternyata pada hari ke 7 suasana lain. Saya sudah tidak terganggu menyantap seperti 6 hari pertama. Sejak itulah kebiasaan makan saya pada umumnya seperti 6 hari pertama. Semua penyakit yang saya idap seperti terkelola dengan baik.
Terus terang, setiap mengalami ketidakenakan baik dalam pikiran, perasaan, dan kehendak, saya bisa merasakan itu sebagai realita menjalani diri sebagai pengikut Tuhan Yesus Kristus. Saya bisa merasa diri menjalani kata-kata Tuhan Yesus “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Tetapi ini adalah buah proses saya membiasakan diri berbuat seperti yang dilakukan oleh Bunda Maria. Setiap kali berhadap dengan peristiwa tertentu “Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (Luk 2:19) Kalau ada hal-hal yang tak mengenakkan berhadapan dengan kebijakan pimpinan dalam hidup komunitas atau paroki dan dokter karena penyakit, saya biasa merasa-rasakan dalam hati dan memikir-mikirkan serta omong dengan Gusti dalam hati. Dengan demikian ketaatan pada kedalaman batin amat mendasari kokohnya ketaatan pada pimpinan dan dokter. Menyadari itu semua saya meyakini bahwa ketaatan pada kedalaman batin adalah anugrah ilahi yang memberikan arena pengembangan belajar taat dan mengembangkan ketaatan sebagaimana Tuhan Yesus yang “sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibr 5:8).
Kentungan, 19 Januari 2023
No comments:
Post a Comment