Monday, January 9, 2023

Kristologi Difabilitas: Kristus yang Sempurna Tampil dalam Yesus yang Difabel (3)

 Oleh : Antonius Koko Kristanto

Frater Antonius Koko Kristanto adalah calon imam Keuskupan Agung Semarang, Kini Frater Koko masih menyelesaikan studinya dan tinggal di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan. Tulisannya tentang Kristologi dalam kaitan dengan dunia kaum difabel disajikan dalam Blog Domus secara bertahap.

4. Dasar Magisterium

Gereja dipanggil untuk menjadi sakramen, yakni tanda persatuan kasih mesra Allah dan manusia serta antarsesama manusia (bdk. LG 1). Panggilan dan perutusan tersebut dilaksanakan dengan usaha untuk mengejawantahkan kehadiran Kristus, Sang Gembala baik yang memelihara dan mempersatukan domba-domba dengan kasih kegembalaan-Nya. Salah satu wujud nyata kasih kegembalaan Kristus tersebut adalah keberpihakannya kepada mereka yang miskin, sakit dan difabel sebagaimana dinyatakan dalam penampilan Yesus di depan publik. Yesus bersabda, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Luk 4:18-19)

Sikap Gereja Katolik terhadap sesama yakni sama seperti sikap Kristus terhadap sesama yang mempunyai sikap mengasihi. Sikap kasih inilah yang dituntut dari setiap anggota Gereja, sehingga masing-masing diminta jadi saksi yang hidup. Tanpa kesaksian yang baik, maka semua kebenaran hanya sebatas teori belaka. Setiap anggota Gereja dipanggil untuk berbelas kasih. Namun sikap kasih ini tidak berarti mengorbankan kebenaran. Jadi selain mengasihi sesama, Gereja tetap mewartakan kebenaran yang sama, seperti yang diwartakan oleh Kristus. Mewartakan merupakan salah satu bentuk dari kasih. Maka, setiap anggota umat Kristiani yang adalah tubuh Gereja (termasuk penyandang difabilitas), diundang untuk melakukan relasi timbal balik dalam tindakan kasih. 

Umat beriman Kristiani ialah mereka yang dengan pembaptisan menjadi anggota-anggota Tubuh Kristus, dijadikan Umat Allah dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Oleh karena itu sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing dipanggil untuk melaksanakan perutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia. Diantara semua orang beriman Kristiani, berkat kelahiran kembali mereka dalam Kristus, ada kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan; dengan itu mereka semua sesuai dengan kondisi khas dan tugas masing-masing, bekerja sama membangun Tubuh Kristus. Malahan perbedaan-perbedaan yang menurut kehendak Tuhan terdapat di antara anggota-anggota Tubuh-Nya, melayani kesatuan dan perutusannya (KGK, 2014: 60). Dalam hal ini, setiap umat ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, menunaikan tugas mereka dalam perutusan segenap Umat Allah dalam Gereja dan di dunia.


5. Difabel Dalam Kacamata Teologi Katolik

Manusia merupakan makhluk yang terbatas. Setiap makhluk (termasuk manusia) merupakan makhluk yang bergantung kepada makhluk lain. Setiap makhluk terbatas dalam segala hal. Akan tetapi, orang difabel yang memiliki ketergantungan kepada orang lain, dilihat sebagai wujud ketidaksempurnaan. Masih ada pandangan bahwa orang dengan difabilitas jauh lebih rendah dalam hal kesempurnaan dibandingkan sesuatu yang dimiliki oleh orang yang able. Konstruksi sosial semacam ini sudah berlangsung lama, hal ini diperkuat dalam sejarah agama-agama terhadap orang cacat yang seringkali diskriminatif. Misalnya, Colin mengatakan bahwa Yudaisme (yang menyerap banyak gagasan Yunani, terutama pada masa Alexander Agung) menganggap orang cacat adalah sesuatu di luar wilayah kesucian Tuhan.

Jaringan relasionalitas mengandaikan tidak ada komponen yang terisolasi atau terpisah. Berdasarkan pemahaman ini, realitas difabilitas menjadi realitas komunal. Menurut Patterson, setiap orang di dalam komunitas tidak sepenuhnya able dan pada akhirnya setiap orang memiliki disabilitas masing-masing. Difabel sendiri merupakan kata dari bahasa inggris yaitu different ability. Seseorang difabel dapat diartikan sebagai orang yang memiliki kemampuan berbeda. Kata ini didefinisikan sebagai seorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas berbeda dibandingkan dengan orang kebanyakan, namun belum tentu diartikan sebagai orang disabled atau cacat. Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita bahwa Allah memberikan kepada manusia talenta yang berbeda-beda, ada yang diberi lima, dua dan satu talenta, sesuai dengan kesanggupan mereka (Mat 25:15). Maka, bagi Tuhan, yang terpenting bukannya miskin atau kaya, sakit atau sehat, namun adalah hakekat manusia yang diciptakan sesuai dengan gambaran Allah, dan bagaimana mereka menggunakan talenta/kemampuan mereka sesuai dengan rencana-Nya. Yesus dalam peristiwa salib menunjukkan bahwa ia memilih untuk memiliki kemampuan yang berbeda. Ia memilih untuk kemampuan yang berbeda untuk melepaskan dari situasi ketidakadilan, tapi memilih memiliki kemampuan yang lain untuk memperbaiki ketidakadilan. Yesus memilih untuk berpikir, berucap dan bertindak demi kasih sebagai kemampuannya. Bahkan sejak lahir Yesus memilih menjadi pribadi yang welas asih dan mengalah. Ketika Yesus ada dalam situasi masyarakat Yahudi yang sedang dijajah, Yesus memilih untuk memaafkan. Ketika Yesus diancam oleh kejahatan dan kekerasan dalam diri Herodes (Matius 2:16), Ia memilih untuk mengalah. Resiko dari kemampuan Yesus dalam tindakan kasih adalah Ia harus mengungsi ke Mesir bersama Yusuf dan Maria agar dapat selamat dari pembunuhan. Dalam masa penampilannya di muka publik, dia mengalami banyak konflik dengan kaum Saduki, Farisi, imam-imam kepala, bahkan rakyatnya sendiri (Lukas 4:22.24). Meskipun Yesus bisa mengalahkan dengan mukjizat, tapi Yesus memilih untuk mengasihi orang-orang yang memusuhinya. Mukjizat Yesus gunakan bukan untuk melawan, namun untuk lebih bisa mengasihi. Yesus memilih kemampuan untuk bersabar ketika Ia dikorbankan oleh muridNya sendiri, Yudas Iskariot, dengan ciumannya (Matius 26:48-49; Markus 14:44-45). Kisah-kisah ini merupakan bukti nyata bahwa Yesus memilih kemampuan yang berbeda, bukan memilih memiliki semua kemampuan.

Yesus menguraikan visi masyarakat yang baru dengan meninggalkan kekerasan (Matius 5:39-42), tidak balas dendam dan mengasihi musuh (Matius 5:43-48). Kemampuan Yesus dalam mengasihi senantiasa Ia upayakan agar para murid-Nya juga memiliki sikap yang sama. Bahkan ia memberi metafora yang menunjukkan bahwa lebih penting kasih daripada fisik. Dalam injil Markus 9:43 tertulis. “Jika tanganmu menyebabkan kamu berbuat dosa, potonglah tanganmu itu. Lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan buntung daripada dengan dua tangan, tetapi masuk ke dalam neraka, ke dalam api yang tidak terpadamkan.” Selain itu, pada saat Yesus mengutus para murid, Ia memberi amanat untuk tidak membawa bekal apa-apa dalam perjalanan. Jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, kasut atau alas kaki atau dua helai baju” (bdk. Lukas 9:3; Matius 10:10). Dalam konteks Palestina zaman itu, tongkat bukan hanya berarti penyangga badan tetapi juga alat bela diri terhadap musuh dan binatang buas. Berjalan tanpa kasut memustahilkan orang menghindari bahaya secara cepat. Karena itu tanpa tongkat dan kasut, seseorang tidak akan dapat membela diri serentak berada dalam kondisi penuh resiko. Kehidupan dan pengajaran Yesus yang sungguh difabel ini dapat dimaknai bahwa Ia ingin sehati seperasaan bagi mereka yang memiliki difabilitas baik fisik maupun psikis. Sehati seperasaan inilah yang biasa oleh masyarakat sebagai tindakan solidaritas. Setiap manusia perlu senantiasa mengasah sikap dan tindakan solidaritas. Melalui sikap inilah manusia sungguh menjadi manusia yang utuh. Terlebih bagi umat Katolik hendaknya mempunyai sikap ini, karena ajaran utama dari Yesus adalah kasih. 

Patterson menyinggung pentingnya personhood. Personhood dapat diartikan sebagai status menjadi seseorang yang mampu merasakan kesukaan dan kedukaan. Personhood juga sering digunakan dalam bahasa sehari-hari sebagai “sehati seperasaan”.  Patterson mengungkapkan bahwa model kepribadian personhood bersifat sosial sehingga narasi sosial perlu dilanjutkan dan dipelihara melalui perjumpaan dengan Sang Ilahi. Lebih lanjut, Patterson mengembangkan diskursus mengenai kepribadian personhood melalui perspektif eskatologi. Setiap eksistensi dari seluruh ciptaan dirangkul di dalam tujuan penebusan Kristus. Inkarnasi Kristus dimaknai sebagai khazanah hermeneutis bagi kepribadian yang otentik. Setiap persoalan mengenai makna menjadi manusia harus berangkat dari peristiwa ini. Inkarnasi Kristus menyatakan, kepribadian personhood bersifat ilahi dan manusiawi dan hal ini dijembatani dalam peristiwa kebangkitan-Nya. Kebangkitan Yesus Kristus memberi ruang bagi entitas alami dari kepribadian personhood yang bersifat sosial dan ilahi. Setiap manusia hendaknya mewujudnyatakannya melalui partisipasi manusia di dalam kepribadian Allah Trinitas yang relasional. Roh Kudus memanggil dan menciptakan setiap orang di dalam relasi, bukan individu pada dirinya sendiri. Maka setiap manusia perlu untuk membangun relasi yang bersifat solidaritas aksi nyata. Dasar agar mampu memiliki solidaritas adalah personhood atau sehati seperasaan.

 

6. Kesimpulan

 

Kristus yang selalu ‘menjadi’ merupakan gambaran Allah yang tidak bisa diberi label tertentu. Metafora tentang Allah harus terbuka dengan keberagaman pengalaman dan interpretasi orang-orang. Oleh sebab itu, orang-orang yang mengalami difabilitas sebagai akibat dari labelisasi kekuasaan yang ada, tidak perlu lagi disebut sebagai disabled. Label disabilitas itu kini melebur dalam keragaman identititas-identitas tubuh yang selalu menjadi. Setiap manusia yang menubuh adalah pribadi yang selalu menjadi. Orang selalu ‘menjadi’ karena selalu bergantung pada yang lain, dan mempunyai pengaruh satu sama lain. Hal ini selalu mempengaruhi skema korporeal (material) manusia. Selama manusia masih menubuh ia akan selalu menjadi. Setiap manusia dapat mengenakan beragam identitas. Begitu juga dengan Allah, Ia adalah Allah yang menubuh. Allah yang berinkarnasi. Allah yang juga berinterkarnasi dan bergantung dengan yang lain. Kristus yang hadir dalam kehidupan penyandang difabilitas, maka, Kristus Yesus dapat dilihat dan dimaknai oleh penyandang difabilitas. Setelah sampai pada poin ini, perlu disadari bahwa, meskipun Yesus memiliki difabilitas tetapi ia tidak kehilangan martabat, talenta dan bisa bertumbuh dengan maksimal.

 

6.1 Hasil Wawancara

 

Berdasarkan hasil wawancara dengan penyandang difabilitas, terkadang mereka diperlakukan sebagai orang yang berbeda. Kebanyakan orang merasa difabel itu lebih baik diam dan tidak perlu terlibat. Kebanyakan orang tidak tepat dalam berkomunikasi dengan orang-orang difabel. Cara yang tidak tepat membawa pada persepsi bahwa orang difabel itu membawa celaka atau membahayakan. Misal: mau membantu mengangkat kursi, ada yang menegur, “tidak usah mengangkat, karena berbahaya”. Kalau dilihat dari sudut pandang yang lain, teguran ini mempunyai tujuan baik. Namun, teguran ini masih kurang tepat dalam penyampaian. Dari wawancara, penyandang difabilitas tidak ingin mendapat perlakuan seperti contoh di atas. Penyandang difabilitas juga ingin terlibat untuk membantu. Seseorang tidaklah perlu melarang penyandang difabilitas untuk terlibat. Ketika penyandang difabilitas ingin membantu, maka perlu diberi kesempatan. Para penyandang tentu mengetahui kapasitas kekuatan mereka. Para penyandang difabilitas tentu akan meminta bantuan apabila itu di luar kapasitas mereka. Selain itu bisa juga dengan memberi tawaran bukan teguran yang bersifat perintah. Misal: ada penyandang difabilitas yang sedang berdiri dalam transportasi umum, perlu diberi tawaran terlebih dahulu untuk mempersilahkan duduk. Apabila tidak mau, hargai keputusan penyandang difabilitas, namun tetap memberikan perhatian, “kalau lelah butuh tempat duduk silahkan katakan kapan saja, saya siap membantu”.

 

Para penyandang difabilitas mampu melihat sebagai ciptaan yang secitra dengan Allah. Romo Bambang mengatakan bahwa citra Allah itu hadir dalam martabat. Selaras dengan Romo Bambang, Diakon Christian mengungkapkan bahwa sebetulnya setiap orang memiliki martabat ilahi. Setiap manusia memiliki derajat ilahi. Martabat inilah yang membuat kita sebagai anak Allah. Romo Bambang menceritakan bahwa Yesus sungguh mengasihinya. Sedangkan Diakon Christian, mengungkapkan bahwa kasih Tuhan sungguh hadir melalui keluarga yang memberikan support. Ia mengungkapkan bahwa ia sadar Allah mencintainya dan menumbuhkannya karena ada support system yang sungguh baik dari lingkungannya. Meski mempunyai kekurangan, namun kekurangan itu digunakan oleh Tuhan untuk karya keselamatan. Fisik yang difabel, membuat ia lebih mudah dikenali. Ia sungguh bersyukur karena dalam kelemahan dan terkadang melakukan kesalahan tetap mendapat kasih setia dari Tuhan. Kasih Tuhan itu nampak dari orang-orang di sekitarnya yang mau untuk mengampuni kesalahan. Pemakluman yang diterima bagi penyandang difabilitas dalam “waktu yang tepat” bagi mereka sungguh menyentuh.

 

Romo Bambang dan Diakon Christian yang mempunyai kesadaran akan kasih Allah sungguh besar membuatnya semangat dalam pelayanan. Ia merasakan keutuhan martabat sebagai ciptaan Allah ketika ia mau untuk membantu sesama. Melalui tindakan kasih yang ia upayakan, ia yakin bahwa ia secitra dengan Allah karena Allah adalah kasih. Tindakan kasih ini pula yang membuatnya sungguh sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna. Penyandang difabilitas memaknai keterlibatannya untuk karya ilahi yaitu menolong dan menghantarkan Kristus Yesus yang membuat mereka sungguh bersyukur. Dasarnya adalah Kitab Suci yang mengatakan “hendaklah sempurna seperti bapaMu di surga sempurna adanya”. Romo Bambang dan Diakon Christian memaknai kesempurnaan yang Bapa tawarkan adalah dengan tindakan kasih. Semua orang menjadi sempurna bukan dari fisiknya namun melalui tindakannya yang menjadi perpanjangan kasih Allah pada umatNya.

 

6.2 Rekomendasi

 

Penyandang difabilitas di Indonesia masih mengalami perlakuan yang kurang tepat. Orang-orang difabel seringkali dianggap sebagai orang yang kehilangan kemampuan atau cacat (disabilitas). Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 orang-orang difabel masih disebut sebagai disabilitas. Dalam UU No. 19 tertulis penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Pemerintah melalui undang-undang ingin memberikan hak atas penyediaan sarana aksesibilitas yang menunjang kemandiriannya, kesamaan kesempatan dalam pendidikan, kesamaan kesempatan dalam ketenagakerjaan, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Meskipun dalam berbagai pasal yang berhubungan dengan orang-orang difabel ingin memberikan keadilan bagi penyandang difabilitas, namun dalam praktiknya masih ada diskriminasi.

Rekomendasi pertama, penulis menyorati orang menggunakan kata disabilitas dari pada difabilitas. Dua kata ini tidak bisa disamakan dan justru memiliki perbedaan yang sungguh nyata. Kata disabel berasal dari kata dis dan able, yang dapat diartikan sebagai ketidakmampuan. Sedangkan difabel berasal dari kata different ability yang dapat diartikan sebagai memiliki kemampuan yang berbeda. Dari kata itu, maka penulis memberikan usulan atau rekomendasi untuk tidak menyebut orang cacat menggunakan kata disabel, melainkan menggunakan kata difabel. Setiap orang hendaknya menyeragamkan penyebutan orang yang cacat dengan difabel. Penggunaan kata disabel bagi penyandang cacat, dikarenakan dalam surat-surat resmi pemerintah masih menggunakan kata tersebut. Pemerintah perlu memberikan aturan resmi tentang penggunaan kata difabel untuk menyebut orang yang memiliki kecacatan fisik dan mental. Apabila ada aturan resmi tentang penggunaan kata difabel, akan menjadi sebuah gerak bersama (nasional). Pemerintah yang mau menyerukan kata difabilitas. dengan pelegalan, mau tidak mau orang akan menggungkan kata difabilitas. Penulis mengusulkan tersebut sebagai bentuk keselarasan dengan UU. No 19 tahun 2011 yang ingin menghargai martabat setiap orang yang mengalami kecacatan. Penggunaan kata difabel memiliki nilai positif bagi yang cacat. Usulan ini memang terlihat sederhana, tetapi ini sungguh berdampak bagi cara pandang setiap orang cacat. Bagi penyandang cacat kata itu juga lebih tepat karena akan lebih menghargai orang-orang cacat. Dengan kata lain, orang cacat lebih terangkat dan tidak merasa sebagai orang yang tidak mampu. Orang yang cacat memiliki kemampuan. Misalnya saja, Nick Vujicik yang tidak punya kaki dan tangan namun memiliki kemampuan berbicara. Nicholas James "Nick" Vujicic adalah penginjil dari Australia dan motivator yang terlahir dengan Sindrom tetra-amelia. Ketika berumur 17 tahun, Vujicic mulai menjadi pembicara di dalam kelompok doa dan membuat sebuah organisasi nirlaba yang bernama “Life Without Limbs”. Satu contoh kecil ini menunjukkan bahwa orang yang cacat bukanlah orang yang tidak mampu bertumbuh (disabel), tetapi memiliki kemampuan berbeda (different ability). 

            Penyandang difabel terkadang diperlakukan bukan sebagai keutuhan sebagai manusia melainkan sekadar individu yang berdiri sendiri, terpisah, bahkan asing terhadap yang lain. Akibatnya, pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang difabilitas dilakukan dengan terlebih dahulu membuat kategori jenis difabilitas dan bagaimana pemenuhan itu dapat dilakukan seperti aksesibilitas fisik dan non-fisik. Ada kesan bahwa penyandang difabilitas merupakan masyarakat terpisah yang harus menunggu program pemerintah untuk memudahkan beraktivitas dengan leluasa. Atau dapat dikatakan bahwa cara pandang seperti ini merupakan hasil dari ketergantungan berlebihan pada diskursus Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengandalkan peran negara. Semua orang perlu menyadari bahwa penyandang difabilitas bukan masyarakat terpisah. Pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang difabilitas hendaknya sebagai tanggung jawab dan bentuk solidaritas setiap masyarakat. Absennya kekuatan sipil itulah yang menyebabkan kaum difabel diperlakukan sekadar sebagai objek program negara di satu sisi. Bukan rahasia bahwa media massa masih minim perhatian pada isu difabilitas. Hal ini semakin diperparah oleh peran media massa (televisi ataupun konten youtube, tiktok dan media masa yang menampilkan video hiburan) yang menjadikan difabilitas sekadar objek hiburan dan objek untuk dieksploitasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Berhadapan dengan orang cacat, setiap orang diundang untuk seperti Yesus yang mempunyai solidaritas dan tidak membeda-bedakan. Cara Yesus untuk tidak membeda-bedakan adalah dengan kebijaksanaanNya tentang keselamatan. Orang-orang yang terkadang dipandang hina oleh dunia, tapi dalam cara pandang Allah mereka bisa lebih baik dan lebih layak menerima rahmat keselamatan.


Masyarakat secara umum perlu menyadari bahwa semua memiliki ketidakmampuan (difabel) dalam bidang tertentu. Kesadaran ini diperlukan agar setiap masyarakat lebih mudah menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Kedifabelan setiap manusia mendorong untuk saling bersolidaritas satu sama lain. Solidaritas inilah yang sungguh membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kesadaran untuk berkontribusi ini tentu adanya kesadaran untuk bersolidaritas bagi sesama. Sebagaimana yang ditulis oleh Jon Sobrino, dasar dari solidaritas dalam kehidupan Gereja adalah kasih. Solidaritas perlu ditegakkan sebagai sebuah proses memberi dan menerima yang mana Gereja dimungkinkan terhubung pada ‘yang lain’, melampaui batas-batasnya. Dengan kata lain, difabilitas bukanlah masalah jika dan hanya jika ada tindakan saling memahami dengan aksi memberikan diri. Yesus merupakan teladan sebagaimana Ia pernah mengajarkan bahwa hadiah paling besar yang Allah berikan kepada manusia ialah diri-Nya sendiri. Solidaritas bukanlah hanya tindakan untuk berbagi kelebihan, namun tindakan nyata setiap orang untuk membantu sesama dengan keterbatasan juga merupakan solidaritas. Solidaritaslah yang akan memperlihatkan bahwa ia merupakan ciptaan Allah yang bermartabat dan secitra denganNya. Secara khusus bagi umat Katolik perlu menyadari bahwa jati diri dan perutusan Gereja sebagai persekutuan paguyuban murid-murid Kristus. Sebagai murid Kristus, hendaknya menyadari bahwa ia membutuhkan bimbingan Roh Kudus, serta berupaya menghadirkan Kerajaan Allah. Upaya ini penting agar umatNya semakin menjadi murid yang signifikan dan relevan bagi masyarakat.

No comments:

Post a Comment

Santo Bruno, Pengaku Iman

diambil dari https://www.imankatolik.or.id/kalender/6Okt.html Bruno lahir di kota Koln, Jerman pada tahun 1030. Semenjak kecil ia bercita-ci...