Ketika pergi keluar dari Domus Pacis Santo Petrus, saya sering jajan. Bagi saya makan luar adalah sebuah selingan. Pada suatu saat saya pergi diantar Bu Rini dengan mobil yang disopiri Mas Ambar. Kami mampir di sebuah warung angkringan bakmi. Tentu saja yang dijual tidak hanya bakmi. Nasi goreng dan capjay juga ada.
Tidak Enak?
Ketika meninggalkan warung dan sudah masuk mobil suara Bu Rini muncul “Blas ora énak” (Sungguh tidak énak). Saya diam saja. Saya memaklumi kepekaan lidah Bu Rini. Dalam perkara kuliner, dia cukup bertpengalaman untuk beberapa tempat jajanan. Apalagi Bu Rini memang juga bisa masak dengan bumbu-bumbu yang bisa memanjakan lidah. Tentu saja semua ini adalah penilaian saya secara individual.
Beberapa hari kemudian Mas Ambar mengantar saya untuk sebuah acara. Ketika melewati sebuah jalan saya melihat ada warung bakmi yang baru sekali itu saya lihat. Tak sampai 100M kemudian saya melihat lagi warung bakmi lain yang sudah pernah saya singgahi beberapa kali. Maka terjadilah omongan tentang bakmi, nasi goreng, dan capjay dengan Mas Ambar dalam perjalanan mobil. Dalam omong-omong itu Mas Ambar menyinggung sajian warung bakmi yang mendapatkan komentar tidak enak dari Bu Rini. Ternyata Mas Ambar juga merasakan hal sama dengan Bu Rini.
Sebenarnya saya cukup heran terhadap komentar Bu Rini dan Mas Ambar. Yang menjadi soal adalah saya merasakan enak. Saya juga lahap menyantap nasi goreng. Pada waktu itu Bu Rini pesan bakmi godog dan Mas Ambar sama dengan saya memesan nasi goreng. Berkaitan dengan perbedaan tanggapan lidah saya dengan milik Bu Rini dan Mas Ambar, saya bertanya “Apakah selera makanku memang rendah?”
Kebersamaan Diet
Jujur saja, saya sebetulnya heran terhadap diri saya. Mengapa terhadap masakan dari warung sama saya merasa enak saja tak seperti Bu Rini dan Mas Ambar yang sungguh tak mengalami rasa enak. Ketika usai salah satu kesempatan makan bareng dengan para rama serumah, saya masih omong-omong dengan Rm. Hartanta dan Rm. Jarot. Pada waktu itu omongan menyangkut soal jajan makan di luar Domus. Tiba-tiba saya berkata “Ketika jajan bersama Bu Rini dan sopirnya, saya menikmati sajian warung yang ternyata terasa tak enak di lidah mereka. Apakah itu dikarenakan dalam keseharian saya mendapatkan menu yang jujur saja sebetulnya tidak enak.” Kemudian saya memberanikan diri omong di hadapan Rm. Hartanta, Direktur Domus yang menentukan segala kebijakan kehidupan rumah, “Jujur, nggih. Jan-jane kinten-kinten tigang wulan saking September 2023 kula mboten semangat nedha. Kula kepeksa nedha namung demi kebersamaan. Nanging kanyata saya suwe kula dados biasa lan enak mawon. Sajian diet sedina kaping tiga mbokmenawi marakaken kula saget menikmati makanan sing jarene wong liya mboten enak” (Jujur, ya. Sebetulnya sekitar 3 bulan sejak September 2023 saya tak punya semangat makan. Kalau saya ikut makan, itu hanya demi kebersamaan. Tetapi lama-lama ternyata saya menjadi biasa dan enak saja. Sajian menu diet sehari 3 kali itulah yang barangkali membuat saya bisa menikmati makanan yang kata orang lain tidak enak). Maklumlah, karena semua rama sepuh Domus sudah mengidap penyakit-penyakit, semua harus menjaga diri terutama dalam pola makan. Dalam hal ini Rm. Hartanta memutuskan adanya sajian menu diet untuk semua rama. Saya, yang sebetulnya tak harus seketat rama-rama lain, juga harus ikut menyantap sajian menu diet.
Daya Komunitas
Ketika merenungkan peristiwa itu, saya ingat keyakinan tentang paguyuban atau komunitas. Saya pernah membuat kidungan ketika memberikan uraian tentang komunitas.
Paguyuban
kang sejati (Kesejatian
komunitas)
Papané
Allah reraton (Tempat Allah
meraja)
Sangalas
telu papat winahyu
(Dinyatakan pada tahun 1934)
Adhedhasar
Injil (Berdasarkan Injil)
Dadi
paseduluran (Menjadi
persaudaraan)
Mrih awam mekar jejernya (Demi mekarnya peran awam).
Kidung itu merupakan gubahan tentang definisi Jemaat Lingkungan yang terdapat pada Kebijakan-kebijakan Dasar Keuskupan Agung Semarang tentang Pastoral Lingkungan yang biasa disingkat KDPL. Saya memperluas pengertian paguyuban atau komunitas dari Lingkungan ke kehidupan keluarga dan rumah para imam, suster, dan bruder. Komunitas atau kelompok Kristiani adalah bagian kongkret Gereja. Di situ Allah sungguh dirasakan meraja karena hubungan satu sama lain antar anggota yang tidak terutama dilandaskan pada tata institusional atau organisasi. Hubungan pribadi saling menerima apa adanya satu sama lain amat mewarnai. Kebersamaan dalam komunitas tidak selalu membuat anggota enak menerima satu sama lain. Biasa saja ada anggota yang sungguh merasa tidak cocok terhadap anggota lain. Tetapi ketaatan iman membuatnya tetap menjalani yang tak dikehendaki. Hal ini mengingatkan saya pada doa Tuhan Yesus di Getsemani “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat 26:39) Dan justru keberanian menjalani yang tak dikehendaki demi kebaikan umum menghadirkan dunia baru yang dalam Tuhan Yesus tampak dalam peristiwa kebangkitan. Untuk saya sendiri, daya komunitas telah membuat saya tidak kikrik (mudah rewel) dalam keseharian termasuk dalam hal makan.
Rm. Bambang
28 April 2024
No comments:
Post a Comment