Ada seorang bapa tua, mungkin berusia 70an tahun lebih, mengeluh ketika ikut kumpul umat di Lingkungannya. "Kanca-kanca sapantaran kula pun telas. Sing onten enem-enem" (Teman-teman sebaya saya sudah menghadap Tuhan. Kini yang ada adalah muda-muda). Ketika merenungkan keadaan bapak itu saya teringat ketika tahun pertama tinggal di rumah tua Domus Pacis. Dengan tinggal di rumah tua saya meninggalkan lingkungan kerja yang saya hayati selama 27 tahun. Saya biasa hidup bersama teman-teman kerja yang sudah menjadi tim bertahun-tahun. Semua itu hilang dalam hidup saya. Dari sini saya menemukan keadaan bahwa ketika masuk golongan lansia orang akan mudah berganti teman. Berganti teman karena pensiun kerja dan karena hidup kehabisan teman sebaya dalam pergaulan.
Dari situ saya merasa bahwa tantangan untuk lansia adalah bagaimana berhadapan dengan orang-orang yang lebih muda dan memiliki latar belakang pembentukan zaman yang berbeda. Saya yang lansia memiliki pandangan bentukan zaman dulu sehingga bisa gagap berhadapan dengan orang-orang yang relatif masih muda. Saya teringat beberapa ibu usia 30an dan 40an membicarakan saya. Mereka termasuk yang biasa menerima renungan saya setiap hari lewat WA. Ternyata mereka kerap merasa kesulitan memahami kata-kata saya. Padahal saya biasa menulis tanpa singkatan. Sebenarnya saya juga kerap mengalami kesulitan memahami kata dan atau istilah yang mereka tulis dalam WA. Apalagi kalau mereka menulis dengan singkatan-singkatan. Saya makin kerap tidak memahami. Dalam keadaan seperti ini saya tetap tidak menutup berjumpa dengan mereka. Saya akan tetapi menjalin hubungan dan bahkan omong-omong dengan yang muda. Kalau di rumah tua Domus, saya akan tetap menjalin hubungan dengan Rm. Hartanta yang berumur 43 tahun sementara saya 73 tahun. Kalau ada kata-kata yang tak saya ketahui saya akan langsung bertanya artinya, misalnya : "akamsi" yang ternyata singkatan anak kampung sini, "kepo" yang maksudnya selalu ingin ikut camput tangan. Sekalipun ada omongan yang bagi saya tak jelas, saya bisa diam saja. Saya akan berusaha seperti Bunda Maria yang biasa memasukkan segalanya dalam hati dan merenungkannya. Ternyata paham atau tak paham tidak jadi soal. Perjumpaan sediri sudah menghadirkan kebahagiaan.
No comments:
Post a Comment