diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 10 April 2014 Diperbaharui: 23 Oktober 2020 Hits: 42208
- Perayaan15 Agustus
- LahirHidup pada abad ke-3
- Kota asalRoma
- Wafat
- Martir - Dirajam sampai mati karena tidak mau menyerahkan Sakramen Ekaristi pada orang kafir
- Kanonisasi
- Pre-Congregation
Paus Damasus menulis :
Selain tulisan dari Paus Damasus, tidak ada catatan tentang kehidupan pahlawan belia ini. Dia mungkin seorang diakon; karena Paus Damasus membandingkan dia dengan Stefanus. Tradisi yang berkembang beberapa abad setelah kemartirannya kemudian menyebutkan bahwa Santo Tarsicius adalah seorang putera altar, yang menerima mahkota kemartirannya saat sedang menghantarkan Sakramen Ekaristi bagi para tahanan kristiani yang akan dihukum mati. Suatu hal yang pasti adalah; kemartirannya terjadi pada masa penganiayaan umat Kristiani di pertengahan abad ketiga, pada masa pemerintahan kaisar Valerianus. Santo Tarsisius dimakamkan di Katakombe Santo Kalisitus di Roma. Sebuah prasasti yang indah dikemudian hari dibangun oleh Paus Damasus dimakamnya.
Berikut kisah Santo Tarsisius menurut tradisi yang berkembang beberapa abad setelah kemartirannya.
Tarsisius adalah seorang pelayan altar (akolit) yang hidup di abad ketiga, pada zaman pemerintahan Kaisar Valerianus. Ia tinggal di Roma, Italia. Ketika berumur sepuluh tahun, ia bersama ibunya biasa mengikuti Misa pagi. Masa itu masa penganiayaan bagi umat Kristiani; karena itu Misa pagi dilakukan di tempat yang tersembunyi. Setelah memastikan sekelilingnya aman, Tarsisius mengetuk sebuah dinding batu. Itu adalah pintu masuk menuju sebuah makam bawah tanah yang dijadikan kapel. Tempat ini sering disebut katakombe. Mereka berjalan merangkak masuk, dan di sana ditemukan begitu banyak umat Kristiani yang sedang berdoa.
Tak lama kemudian, muncul seorang imam. Mereka bersama-sama merayakan Perjamuan Tuhan. Tarsisius merasa amat bahagia bila menerima Tubuh Kristus. Setiap kali mendengar imam berkata: “Makanlah dan minumlah, inilah Tubuh-Ku, inilah Darah-Ku”, Tarsisius merasa damai.
Namun hari itu, setelah Misa selesai, pastor yang memimpin misa (Tradisi lain menyebutkan : Paus yang memimpin misa) melihat sekeliling. Ia berseru, “Kita sama seperti saudara-saudara kita yang rela mati demi iman akan Tuhan yang bangkit. Saat ini mereka sedang dalam penjara. Besok, mereka akan dilemparkan ke tengah singa lapar. Mereka hanya berharap agar sebelum mati di mulut singa-singa lapar itu, mereka menerima santapan kekal, Tubuh Tuhan yang Mahakudus. Siapakah yang rela ke penjara mengantar roti kudus ini?”
Mendengar pertanyaan itu, umat saling memandang ketakutan. “Pastor, Anda tak boleh pergi. Pastor pasti ditangkap,” kata salah seorang umat. Dari umat yang hadir ada seorang serdadu Roma yang baru saja bertobat. Mantan serdadu ini menawarkan diri untuk melakukan tugas itu. Namun, umat juga keberatan karena mantan serdadu ini pun sedang dicari-cari.
Tarsisius merasa mampu melaksanakan tugas mulia itu. Tanpa bersuara, ia menengadah ke arah ibunya. Ibunya mengerti maksud Tarsisius dan menganggukkan kepala. Tarsisius berdiri dan berkata, “Pastor, biarkan aku ke sana membawa Tubuh Kristus untuk saudara-saudara kita.” Pastor menggeleng, “Engkau masih terlalu kecil. Kalau serdadu Romawi menangkapmu, apa yang akan kau perbuat?”
Tarsisius berusaha meyakinkan pastor. “Percayalah, Pastor. Saya akan berhati-hati dan menjaga Ekaristi Mahakudus ini supaya tiba dengan selamat.” Melihat keberanian Tarsisius, imam lalu membungkus Sakramen Mahakudus dan memberikannya kepada Tarsisius.
Perjalanan melewati daerah serdadu Romawi aman. Namun, justru saat melewati sebuah lapangan tempat teman-teman Tarsisius sedang bermain, halangan muncul. Teman-temannya mengajaknya bermain. Tarsisius menolak. Teman-temannya heran. Mereka mengerumuni Tarsisius. Ketika mereka melihat Tarsisius memegang sesuatu di tangan, mereka menarik tangan Tarsisius, dan berusaha melihat apa yang ada di dalamnya. Tarsisius tidak melepaskan tangannya. Bahkan, ia semakin kuat mempertahankan apa yang sedang dipegangnya. Akhirnya, Tarsisius jatuh.
Satu di antara anak-anak itu kesal, karena tidak berhasil melepaskan tangan Tarsisius. Katanya, “Ayo kita buktikan siapa yang paling kuat!” Ia mengambil batu dan melemparkannya ke arah Tarsisius. Tarsisius bergeming namun tangannya tetap tak terbuka. Kini, ia semakin kuat memeluk Sakramen Mahakudus di dadanya. Anak-anak itu semakin marah dan brutal. Mereka merajam Tarsisius dengan batu berkali-kali.
Beberapa menit kemudian, Tarsisius sudah tak sadarkan diri. Tiba-tiba terdengar suara, “Berhenti! Mengapa kalian menganiaya dia?” Anak-anak itu lari terbirit-birit. Ternyata, suara itu berasal dari serdadu Romawi yang bertobat, yang sebelumnya telah menawarkan diri untuk membawa Sakramen Mahakudus. Mantan serdadu ini mengikuti Tarsisius dari jauh. Ia lari ke arah Tarsisius, memeluknya dengan perasaan sedih. Ia menggendong Tarsisius yang sudah tak sadarkan diri. “Tarsisius, Tarsisius,” panggilnya dengan suara halus. Tarsisius membuka matanya yang memar dan berkata pelan, “Tubuh Kristus masih di tanganku.” Setelah mengatakan itu, Tarsisius menutup matanya.
Tarsisius meninggal dalam perjalanan pulang menuju katakombe. Jasadnya dimakamkan di katakombe santo Kalisitus, Roma.
No comments:
Post a Comment