Monday, March 13, 2023

Sharing : Bukan Kehebatan Tetapi Kelengkapan Perutusan


Ketika memimpin Misa tidak jarang saya melantunan Injil dengan kidungan
macapat. Tidak jarang juga ada yang meminta saya memimpin Misa karena ada iringan gamelan. Tetapi sebagai romo Domus Pacis Santo Petrus mulai ada warga kelompok-kelompok Katolik bilang saya punya usaha menjual kain batik.

Pengalaman

Kini saya berusia 72 tahun. Saya masuk Seminari Menengah Mertoyudan pada Januari 1970 seusai menyelesaikan SMA. Sebagai imam saya ditahbiskan pada 22 Januari 1981. Kemudian masuk rumah tua Domus Pacis pada 1 Juni 2010. Ketika berhening diri sebelum jam 04.00 hari Minggu 12 Maret 2023 saya menemukan dua hal yang menyentuh hati.

Tampil seni

Saya termasuk yang bersemangat ikut kor Misa. Lagu-lagu mudah berdengung di hati sehingga saya sering menuliskan nyanyian-nyanyian. Walaupun hanya “ngawuran” nyanyian-nyanyian itu bisa menyertai karya-karya pastoral baik ketika masih calon imam sebagai mahahiswa Seminari Tinggi Kentungan maupun ketika sebagai imam menjalani tugas dari Keuskupan. Dalam perkembangan saya biasa membuat rumusan pokok-pokok ajaran Kitab Suci dan Gereja dalam lagu-lagu pendek. Rumusan dokumen Gereja juga ada yang saya beri not sehingga masuk hafalan yang saya dampingi. Karena “ngawuran” saya juga tidak tersinggung apalagi marah kalau ada yang ahli nyanyi memberikan komentar miring.

Selain lagu-lagu saya juga menggunakan model pentas dalam karya. Di Seminari Mertoyudan saya termasuk suka menulis naskah drama dan pentas wayang. Bahkan sebelum tahbisan saya pernah dianggap bisa menjadi dalang. Sebenarnya itu semua hanya sebagai kengawuran menirukan dalam pentas wayang orang dan wayang kulit yang keduanya merupakan kegemaran tontonan saya. Model pentas ini amat mewarnai pelatihan-pelatihan dan pengembangan iman anak dan remaja bersama teman-teman anggota tim. Kalau diserahi mengurus Misa Khusus, lagu dan dramatisasi juga bisa masuk dalam garapan bacaan Kitab Suci.

Sekalipun sering membuat lagu-lagu, saya bukanlah komposer. Sekalipun suka model pentas saya bukan artis. Saya hanya memanfaatkan seni untuk karya pastoral. Saya bukan pencipta lagu-lagu. Saya bukan dramator dan dalang. Saya hanya memanfaatkan lagu dan dramatisasi untuk karya. Kalau ada yang tidak puas karena kurang artistik dan mutu seninya, saya memang tidak membuat pentas nyanyi dan drama. Saya mengutamakan diri sebagai petugas pastoral. Hati saya terisi dengan hal-hal pengembangan iman dan hidup Gerejawi. Nyanyian dan dramatisasi adalah perlengkapan memoles bentuk karya. Dalam diri saya yang paling pokok adalah hal pastoral. Nyanyian dan dramatisasi bukan keharusan dan bila tidak ada tidak apa-apa.

Tampil bisnis

Barangkali perbuatanku kerja cari uang dilatarbelakangi oleh jumlah dan frekuensi kegiatan yang tidak bisa tercukupi oleh anggaran yang tersedia dari Paroki dan kemudian Keuskupan. Tetapi mencari uang juga terjadi ketika saya belum tahbisan. Itu terjadi ketika saya akan mengajak para anggota kor kanak-kanak Kalasan pada tahun 1980 mengadakan rekoleksi untuk yang TK hingga kelas III SD dan retret yang kelas IV SD ke atas di Wisma Salam. Saya biasa mencari uang dengan bentuk yang tidak mengganggu pelaksanaan tugas pelayanan pastoral. Mulai dengan tahun 1991 hingga pensiun saya biasa menjadi salah satu agen buku-buku agama terbitan Kanisius. Bahan-bahan materi untuk input pendampingan kerap saya cetakkan dan kemudian disediakan bagi para peserta damping yang ingin membeli. Kemudian Penerbut Pustaka Nusatama juga kerap menerbitkan tulisan-tulisan dari kantor saya termasuk-dokumen-dokumen Keuskupan yang menjadi urusan saya. Ketika sudah tinggal di rumah tua Domus Pacis usaha mencari uang juga tetap terjadi. Kebiasaan menulis renungan dan peristiwa-peristiwa rumah setiap kali dapat terkumpul dan kemudian diterbitkan oleh Penerbit Pohon Cahaya. Penjualan buku-buku menghasilkan keuntungan lumayan dapat untuk membantu pemenuhan kebutuhan rumah. Saya dibantu oleh Bu Rini juga melaksanakan penjualan kain batik yang ternyata juga diminati oleh banyak umat yang berkunjung di Domus Pacis. Tak sedikit kelompok yang memesan seragam batik dari saya.

Dalam upaya yang berbau bisnis itu saya menjaga diri agar tidak menjadi usahawan. Saya mencari uang untuk membantu mencari uang sebagai tambahan kebutuhan karya. Di rumah tua Domus Pacis itu saya lakukan untuk membantu pemenuhan kebutuhan rumah yang tidak tercukupi dengan hanya mengandalkan anggaran dari Keuskupan. Saya memang sering mendapatkan sumbangan dari teman atau kenalan. Tetapi saya juga mengharuskan diri ikut menjaga keceriaan para romo sepuh serumah. Dalam hal ini saya memfokuskan diri pada penyelenggaraan pesta rumah. Itu adalah pesta mengundang tamu untuk ulang tahun imamat para romo penghuni, Misa Malam Paskah, Misa Malam Natal, dan Misa ulang tahun pemberkatan rumah. Semua ini diadakan agar para romo merasakan perayaan bersama umat. Dalam hal pembeayaan kami tak dapat seperti di paroki yang biasa diselenggarakan oleh umat. Maka usaha “bisnis” saya, yang hanya sambil lalu, adalah demi kepentingan rumah.

Sebuah Refleksi

Dengan pengalaman dua hal yang cukup kental dalam diri saya, yaitu tampilan seni dan bisnis, saya menyadari bahwa itu terpadu dalam diri saya. Kedua hal itu seperti terpateri secara alamiah dalam diri saya. Bahkan di rumah tua keduanya bisa tetap terjadi di dalam keterbatasan saya. Dalam hal seni, saya memang sudah jauh dari karya-karya pendampingan. Saya di hadapan umat terutama karena dipanggil untuk memimpin Misa. Tetapi justru di rumah tua saya makin mempelajari macapat atau kidungan tradisional Jawa. Saya kerap membawakan bacaan Injil dengan macapat. Dalam hal kegiatan model bisnis, saya makin intensif dengan bantuan jaringan media elektronik. Justru di rumah tua saya mendapatkan tuntunan dan pelatihan internetan dari Rm. Agoeng, yang pada tahun 1981 ketika saya menjadi imam di Klaten beliau masih kelas II SD. Maka saya dapat melaksanakan transaksi lewat medsos dengan mereka yang berjauhan baik di kota lain bahkan keuskupan lain.

Karena keturunan

Ketika merenungkan dua hal kental dalam diri saya, benak saya terisi bayangan-bayangan tentang keluarga besar baik dari garis ibu maupun dari jalur bapak. Dari garis ibu saya terbayang sanak saudara dari Berbah, Sleman, Yogyakarta. Banyak dari mereka dikenal sebagai orang-orang seni Jawa. Dulu orang Yogyakarta banyak tahu grup Ketoprak Among Mitro. Banyak pemain-pemain ketoprak profesional di RRI Yogyakarta dan Sapta Mandala adalah mantan pemain-pemain amatir di Among Mitra. Bapak Marsudi yang menjadi pemimpin adalah salah satu senior dalam pohon silsilah keluarga saya. Bapak Sukodi juga senior saya yang banyak menciptakan gending-gending Gereja. Bahkan ibu tiri saya, Maria Magdalena Rubinem, adalah pesinden atau penyanyi Jawa tiga zaman. Saya merasa bahwa darah seni dari garis keturunan ibu cukup mewarnai diri saya. Tetapi tidak seperti om dan paman-paman saya, saya tidak memiliki profesionalitas seni. Darah seni ini tentu juga memudahkan saya mempelajari lagu-lagu dalam kehidupan Gereja.

Lain halnya dengan keluarga pihak bapak saya. Kakek saya adalah pengusaha percetakan. Banyak perusahaan-perusahaan mencetakkan bungkus dengan gambar dan merek di tempat kakek saya. Kakek saya, sebagai sosok priyayi Jawa, beristri lebih dari seorang. Tetapi kehidupan berwirausaha amat mewarnai. Ada yang menjadi pengusaha produksi batik, ada yang jual makanan. Bahkan adik-adik sepupu saya juga hidup dari bisnis. Bapak saya adalah orang partai politik yang menjadi birokrat di Kabupaten Sleman. Beliau juga pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tetapi ketika mengundurkan diri, katanya untuk mendampingi saya yang masuk Seminari, beliau hidup dari usaha penyewaan pengeras suara. Ternyata darah bisnis ini juga ikut memerciki diri saya.

Karunia Roh

Dalam renungan itu saya teringat kata-kata Santo Paulus :


Sekarang tentang karunia-karunia Roh. Saya mau, saudara-saudara, supaya kamu mengetahui kebenarannya. Kamu tahu, bahwa pada waktu kamu masih belum mengenal Allah, kamu tanpa berpikir ditarik kepada berhala-berhala yang bisu. Karena itu saya mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorangpun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: "Terkutuklah Yesus!" dan tidak ada seorangpun, yang dapat mengsaya: "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus. Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.” (1Kor 12:1-7)

Saya menyadari bahwa keterbukaan saya menghayati hidup imamat adalah buah saya ikut Tuhan Yesus. Saya dipermandikan ketika duduk di bangku SMA kelas I pada 25 Maret 1967. Saya termasuk aktif dalam kehidupan umat. Dengan kata-kata Santo Paulus itu tekad saya untuk berada dalam lingkungan para murid Kristus adalah karena tuntunan Roh Kudus. Ternyata dalam Roh Kudus ada macam-macam karunia dan pelayanan. Dengan ini saya diingatkan bahwa sedikit kemampuan seni dan bisnis yang ada dalam diri saya adalah bagian dari karunia Roh. Yang saya laksanakan dalam karya pastoral, termasuk kini yang saya buat untuk membantu kebutuhan Domus, adalah bagian dari kesatuan hidup beriman atau ber-Tuhan. Sebagai imam saya mendapatkan bagian pelayanan Roh lewat penempatan oleh Uskup. Dalam pelaksanaan pelayanan saya mendapatkan kelengkapan bagian karunia Roh. Maka di Domus Pacis saya menghayati imamat dengan menjalani yang diminta oleh Direktur berbekal karunia dianugerahkan oleh Roh Kudus. Saya ikut membantu mengurus snak dan makan malam dan pesta perayaan Domus. Sedikit kemampuan seni dan usaha cari uang adalah anugerah kelengkapan.

Rm. D Bambang Sutrisno

No comments:

Post a Comment

Santo Bruno, Pengaku Iman

diambil dari https://www.imankatolik.or.id/kalender/6Okt.html Bruno lahir di kota Koln, Jerman pada tahun 1030. Semenjak kecil ia bercita-ci...