Pembiasaan Doa Batin
Di dalam Gereja Katolik kita bisa menemukan
macam-macam doa. Saya pernah menulis demikian :
Dari Kateksimus
Gereja Katolik 2700-2719 saya menemukan bentuk-bentuk doa menurut Gereja
Katolik. Ada tiga macam bentuk :
1. Doa lisan. Ini adalah doa rakyat dalam arti yang sudah berjalan
di antara umat. Bentuknya adalah terjadinya hati hadir di depan kata-kata yang
diucapkan. Dalam hal ini yang terpenting adalah hati yang hadir di hadapan
Allah. “Doa lisan merupakan unsur hakiki dalam kehidupan Kristen” (2701). Doa
lisan membantu kita berdoa dengan seluruh hati agar memberikan kekuatan pada
segala yang kita sampaikan.
2. Doa renung. Ini juga kerap disebut meditasi. Dengan merenung
kita berupaya menemukan makna dari sarana-sarana kehidupan beriman. “Biasanya kita
mencari bantuan pada sebuah buku. Tradisi Kristen memberi satu pilihan yang
sangat luas: Kitab Suci, terutama Injil, ikon, teks-teks liturgis untuk hari
bersangkutan, tulisan-tulisan dari bapa-bapa rohani, …..” (2705).
Selain itu juga disebut “kepustakaan rohani, buku besar yakni
ciptaan dan sejarah, terutama halaman yang dibuka pada "hari ini".” (idem). Ternyata segala ciptaan dan sejarah pengalaman, baik pribadi
maupun kebersamaan termasuk Gereja dan bangsa, termasuk peristiwa kini
dinyatakan sebagai kepustakaan rohani. Satu hal yang harus dicatat adalah
adanya aneka ragam metode meditasi. Tetapi yang pokok dari sebuah metode adalah
sarana yang menuntun untuk bersama Roh Kudus menuju Kristus sebagai
satu-satunya pengantara doa.
3. Doa batin. Dalam doa batin kita juga masih bisa merenung tetapi
pandangan sudah terarah pada Allah. Ini adalah relasi pribadi yang membuat
suasana perjumpaan dalam suasana sederhana. Dalam doa batin ada hubungan
seperti glenikan (omong-omong intim dengan Tuhan) dalam nuansa kasih.
Ada keterbukaan blak-blakan apapun yang dirasakan, dipikirkan dan dikehendaki.
Tetapi juga ada perasaan diterima dengan kasih. “Doa batin ialah persekutuan
kasih.” (2719)
Pada hemat saya doa lisan lebih menekankan kata
dan kalimat. Ini paling tampak dalam doa-doa tradisi baik yang harian seperti
Bapa kami dan Salam Maria, yang devosional seperti novena dan jalan salib, dan
liturgi sakramen. Doa-doa lisan memang berperan membantu hati menghadap Tuhan.
Dalam pertemuan-pertemuan umat doa-doa lisan bisa amat mewarnai. Dalam hal doa
renung, dalam pengalaman saya ini lebih banyak sebagai kegiatan individual.
Memang, dalam pertemuan pemimpin doa bisa mengajak “Marilah kita renungkan”.
Tetapi bagaimanapun juga lain halnya kalau dilakukan secara pribadi. Dalam
kegiatan pribadi doa renung bisa dijalani secara leluasa dengan durasi sesuai
dengan ketentuan pelaku sendiri. Dalam doa renung materi bisa bermacam-macam
termasuk bahan dari doa lisan dan peristiwa-peristiwa hidup. Di dalam doa
renung kita memfungsikan daya cipta, rasa, dan karsa untuk menimbang-nimbang
materi yang kita pilih.
Berkaitan dengan doa batin, bagi saya di sini
orang akan mendapatkan landasan hidup beriman yang sungguh kokoh dan
menceriakan serta menghadirkan produktivitas uangkapan dan wujud hiup ikut
Tuhan sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Dalam doa
batin kedua macam doa lain, doa lisan dan doa renung, akan menyatu terpadu
dalam hubungan pribadi dengan Tuhan. Satu hal yang sering muncul dalam
pembicaraan di antara mereka yang memiliki minat berat dalam meditasi dan doa
adalah ungkapan bahwa doa batin itu tidak mudah. Doa batin membuat orang
mengalami suasana sederhana dalam perjumpaan dengan Allah. Tetapi untuk menjadi
sederhana itulah yang secara kongkret dianggap menjadi perjuang. Saya menduga
kesulitan menjalani doa bernuansa sederhana bisa menimbulkan kesan kurang berbobot
karena tiadanya proses tahapan procedural dengan berbagai pertanggungjawaban
ilmu hidup rohani. Orang bisa merasa mantap menjalani hal-hal yang dilandasi
kerangka kosep teoritis ilmu keagamaan. Atau secara kutural, omongan dengan
Tuhan seperti glenikan dengan sahabat karib atau kekasih dipandang tidak
sopan. Sebagai manusia seseorang amat tak sebanding di hadapan Allah yang serba
“Maha” dalam segalanya. Orang harus amat menaruh hormat bahkan takut terhadap
Tuhan Allah.
Pengalaman Doa Batin
Berhubungan dengan doa batin dulu mungkin saya
terpengaruh oleh seorang guru agama desa Ketika saya ikut pelajaran agama. Pada
waktu itu saya masih calon baptis dan duduk di SMP kelas III pada tahun 1966.
Barangkali saya cukup bersemangat ikut pelajaran agama di beberapa tempat
termasuk di paroki yang diajar langsung oleh Romo Paroki. Guru agama des aitu
berkata bahwa agar dekat Tuhan kami anak-anak harus membicarakan apapun dengan
Tuhan. Misalnya ketika sedang menyapu lalu dalam hati berkata “Gusti, kula
nyapu” (Tuhan, saya sedang menyapu). Entah bagaimana omongan batin dengan
Tuhan itu berkembang menjadi kebiasaan. Memang itu terjadi sambal lalu di
tengah kegiatan begitu ingat Tuhan.
Model sambung pribadi dalam doa batin sesudah menjadi imam saya sadari karena Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8). Hal ini membuat saya mengembangkan diri berjumpa dengan Allah secara pribadi seperti berjumpa dengan orang-orang yang dekat dengan saya dan mempunyai hubungan kasih saling peduli. Apalagi Tuhan Yesus mengatakan bahwa kasih sejati adalah kasih yang tak tertandingi besarnya yang digambarkan sebagai hubungan dengan sahabat (Yoh 15:13). Jujur saja dalam hal ini saya teringat sosok perempuan yang dulu sebelum masuk Seminari pacar saya. Tetapi saya juga sahabat yang amat dekat dan yang selalu muncul pertama kali adalah almarhum Untung Sudarmono. Dengan sosok-sosok seperti itu saya bisa kerasan omong-omong atau hanya duduk berdua. Saya membiasakan diri berhubungan dengan Allah dalam suasana hati seperti mereka. Jujur saja, karena saya selalu omong dengan orang-orang dekat dengan Bahasa Jawa harian, dengan Tuhan pun Bahasa saya juga Jawa harian.
Hubungan saya dengan Tuhan sebagai doa batin bisa
terjadi secara khusus dan bisa pula sambil menjalani kegiatan harian duniawi.
Hubungan khusus terutama terjadi pada sekitar jam 03.00-04.00. Di situ isi yang
terjadi dalam doa lisan dan doa renung dapat masuk. Tetapi itu menjadi
omong-omong batin. Suasana seperti sedang melamun dan seperti omong sendiri
tetapi tak jarang setiap kalai dalam hati menjadi seperti berkata kepada Gusti.
Satu hal yang kadang terjadi adalah terjadi seperti kejutan entah kecil entah
khusus. Saya seperti mendapatkan hal-hal yang memberi wawasan baru atau rencana
Tindakan tertentu berhadapan kegiatan rutin harian. Itulah doa batin yang saya
alami Ketika menjalani secara khusus. Sedang yang terjadi sambal menjalani
kegiatan harian terjadi seperti mengirimkan info lewat WA ke Tuhan. Misalnya
pada waktu makan atau nonton TV atau membaca koran atau omong-omong lewat
telepon, kalau ada yang mengusik hati dan ingat Tuhan saya langsung bilang
dalam hati seperti “Gusti wong iki jan njelehi” (Tuhan orang ini sungguh
memuakkan).
Landasnya Adalah Gambaran Tentang Allah
Bahwa Allah itu kasih bahkan Mahakasih, itu banyak
diketahui oleh pada umumnya kaum beragama. Tetapi bagaimana “kasih Ilahi” itu
digambarkan, inilah yang perlu menjadi pertimbang. Kata “kasih” bisa saja
dimengerti sebagai “memberi”. Allah yang Mahapengasih dapat digambarkan sebagai
yang maha punya segalanya sehingga menjadi sumber yang bisa memenuhi permintaan
umat. Kasih juga bisa menjadi sikap peduli. Ini juga dapat menjadi uluran hati
seperti orangtua tak tega pada anaknya. Tetapi kesejatian kasih Allah bagi umat
Kristani tampak dalam diri sabda dan karya Tuhan Yesus. Kasih telah menjadi
peristiwa bagi para murid Kristus untuk dijalani seperti Dia mengasihi para
murid-Nya (Yoh 15:12). Dalam Kristus, karena kasih itu umat tidak diperlakukan
seperti hamba-hamba. Dalam Kristus umat menjadi sahabat-sahabat Ilahi (Yoh 15:15).
Gambaran hakikat kasih dalam diri Allah itu dalam
praktek doa bisa menjadi asing karena banyak umat beragama menggambarkan-Nya
sebagai pemegang kekuasaan mutlak terhadap segala yang ada. Barangkali, kalau
hubungan dengan Tuhan bagaikan hubungan dengan sahabat atau teman dekat, itu
dapat menimbulkan sikap kurang ajar menghalalkan ketidaksopansantunan. Bagi
saya hubungan kasih dengan Allah, kalau memakai ungkapan Bahasa Jawa,
memerlukan sikap ajrih asih (menjunjung atau menghargai tinggi-tinggi
karena mencintai). Kalau hubungan seperti ini terjadi, suasananya akan menjadi
sederhana dan menghadirkan rasa bahagia mendalam. Tetapi justru yang sederhana
inilah yang membutuhkan pelatihan tidak sebentar untuk menjadi kebiasaan relasi
batin dengan Tuhan.
Untuk mendampingi kaum dewasa berdoa batin, dulu saya
menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Memilih model orang dekat.
Dalam keheningan saya meminta para peserta damping untuk mengingat siapa saja
orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dekat sehingga dapat omong-omong
cukup akrab. Kemudian mereka saya minta memilih salah satu. Mereka saya minta
untuk membayangkan kembali bagaimana suasana kalau ketemu dan omong-omong
dengannya.
2.
Masuk kedalaman batin.
Tetap berada dalam keheningan tetapi pejam mata. Para peserta damping saya ajak
membuka panca indra satu persatu. Mendengarkan suara-suara dari yang jelas
karena volumenya sampai yang lirih hamper tak terdengar. Aroma yang masuk
hidung juga disadari. Demikian pula udara yang mengelus pori-pori kulit. Selain
itu mereka juga saya ajak menyadari apa saja yang terbayang dalam benaknya.
Kemudian para peserta saya minta menyadari apakah yang muncul dalam pikiran,
dalam perasaan, dan juga mungkin ada keinginan tertentu.
3. Bicara dengan Tuhan. Akhirnya saya meminta mereka mengomongkan itu pada Tuhan dalam hati seperti kalau omong dengan dekatnya. Untuk menyebut Tuhan mereka dapat menggunakan kata yang biasa dipakai dalam doa, misalnya “Bapa” atau “Yesus”atau “Tuhan” atau “Sahabatku” atau lainnya. Saya menekankan untuk mencoba omong dengan Tuhan seperti dengan orang dekatnya. Bisa pula terdiam dan mungkin muncul kata-kata dari dalam lubuk hati. Kalau terjadi omong-omong teruskan. Kalau terdiam lalukan seperti ketemu orang dekat dan hanya duduk-duduk.
Tentu saja yang saya lalukan hanya setitik pengalaman dari berjuta pengalaman amat banyak orang yang mengalami kebiasaan doa batin. Yang paling pokok saya meminta para peserta damping saya untuk berusaha membiasakan omongan dengan Tuhan dalam hati seperti dengan orang dekat. Kalau dilakukan menjadi kerutinan, sekitar 3-6 bulan mudah-mudahan orang sudah gampang terbuka pada tuntunan Roh ilahi.
No comments:
Post a Comment