Bagaimanapun juga bagi seorang lansia kesendirian adalah kondisi yang mau tidak mau menuntut kesiagaan menghadapinya. Yang tidak siaga berada dalam kesendirian akan mudah mengalami derita batin. Ini adalah kesendirian fisik paling tidak minim relasi dengan orang lain.
Sendiri walau kumpul dengan orang lain
Saya menemukan orang-orang lansia yang masih ikut kumpulan-kumpulan baik di tengah masyarakat luas seperti RT/RW dan dalam Gereja seperti Lingkungan. Selain itu ada juga yang tergabung dalam kelompok dan atau organisasi tertentu bahkan ada yang khusus kelompok atau organisasi lansia. Barangkali dalam kelompok sesama lansia orang bisa enak dan nyaman. Bahkan bersama sesama lansia orang bisa lupa usia lanjutnya. Omongan-omongan bisa sambung baik materi maupun ungkapan-ungkapannya. Tetapi dalam kumpulan yang melibatkan berbagai generasi seorang lansia bisa berhadapan dengan hal-hal yang barangkali terasa asing. Saya pernah mendengar omongan beberapa warga yang sering berjumpa dan bahkan saling berkirim WA dengan saya. “Setiap hari saya menerima renungan dari Romo Bambang” kata salah satu yang ternyata disambut oleh teman-temannya yang menyatakan bahwa mereka juga menerima renungan sama dan beberapa juga bilang kalau sering omong-omong dengan saya lewat WA. Tiba-tiba salah satu berkata “Tetapi aku sering tidak menangkap maksud kata-katanya. Aku juga kerap harus memikir cukup lama maksud dari kata-kata dan kalimat beliau”. Ternyata dari omong-omong itu saya menangkap bahwa yang lain juga mengalami kesulitan memahami kata-kataku dalam WA.
Ketika saya sendirian teringat omongan itu, saya menyadari bahwa sebetulnya saya juga kerap tak memahami omongan mereka dalam WA. Pada waktu itu mereka yang omong-omong adalah kaum berusia 30an dan 40an. Mereka tidak tahu kalau ada berada di belakang mereka. Waktu itu umur saya menjelang 70 tahun. Dengan peristiwa itu saya memahami kalau ada beberapa kaum sepuh yang mengomel bilang “Tadi apa to yang diomongkan”. Mereka juga sering merasa risih dengan berbagai gestur perilaku yang bagi para sepuh itu dirasakan tak layak. Hal ini juga terjadi di Domus Pacis baik ketika masih di Puren dan kini di Kentungan. Yang lansia sering tampak tidak mengerti yang diomongkan dan dilakukan oleh yang muda, yang kedudukannya sebagai pengurus. Dalam keadaan seperti itu seorang lansia bisa merasa seperti di lingkungan asing. Hal ini juga bisa dirasakan di rumah yang secara fisik bersama anak cucu. Ketika anak dan cucu saling berbicara, topik yang diomongkan bisa menjadi seperti dunia lain bagi seorang kakek atau nenek yang tinggal bersama. Apalagi dalam kesibukannya anak cucu dapat banyak pergi keluar rumah, sehingga sang lansia bisa sendiri menjadi semacam penjaga rumah.
Bukan fokus sosial
Mungkin keberadaan saya di rumah para romo sepuh Domus Pacis Santo Petrus adalah seperti di panti wreda. Saya membayangkan para lansia di panti-panti wreda mengalami keadaan kesendirian seperti saya. Sekalipun masih sering bisa omong-omong dengan teman serumah, berada dalam kesendirian fisik bahkan sendiri dalam kamar adalah hal biasa. Ini hal yang mengisi paling banyak waktu dalam keseharian. Saya pernah berkata kepada Rm. Hartanta, Direktur Domus Pacis, “Jan-jane wong niku nek pun lansia gelem mboten gelem badhe ngalami kesendirian. Pripun-pripuna mboten dados fokus dalam hidup bersama sinaosa di hadapan sanak sedulur” (Sebetulnya mau tidak mau dengan menjadi lansia orang akan mengalami kesendirian. Bagaimanapun juga seorang lansia tidak menjadi fokus perhatian dalam hidup bersama sekalipun di hadapan sanak saudara). Memang, ada juga keluarga yang amat perhatian dan memberikan waktu khusus bagi anggota rumah yang sudah lansia. Tentapi untuk jaman kini pada hemat saya itu sudah menjadi hal istimewa. Pada umumnya makin tua, makin lansia, makin pikun, itu sudah diserahkan pada petugas khusus yang memang hidup dari pelayanan kaum seperti itu. Tanpa petugas khusus dia bisa tak terperkatikan secara khusus.
No comments:
Post a Comment