Saya mulai berada di Domus Pacis Santo Petrus, Kentungan, pada Selasa sore 1 Juni 2021. Ini adalah sebuah bangunan khusus untuk para rama praja tua Keuskupan Agung Semarang. Letaknya berhimpitan dengan Seminari Tinggi Kentungan, tempat kaum muda mempersiapkan diri menjadi pastor-pastor praja. Karena berada sekompleks layaklah kalau ada rama-rama staf Seminari Tinggi yang menjenguk para rama di Domus Pacis meski barang sesaat.
Orientasi Eskatologi?
Pada Rabu malam 2 Juni 2021 Rm. Martasudjita dan Rm. Bismoko datang pada sekitar jam 07.30. Sebagaimana kami di Domus, saya berpikir mereka pasti juga baru saja menyelesaikan santap malam. Rm. Hartanta, direktur Domus, dan saya kebetulan masih berada di meja makan ketika mereka datang. Tetapi Rm. Hartanta segera pergi ke Puren untuk ambil beberapa barang yang masih tertinggal.
Sebenarnya kehadiran Rm. Marta dan Rm. Bismoko hanya sebentar. Rm. Marta ketika pamit berkata “Jam wolu aku duwé janjian” (Aku mempunyai janjian jam 20.00). Dalam bayangan saya Rm. Marta akan menerima seorang mahasiswa seminaris untuk bimbingan rohani. Tetapi kehadiran sejenak meninggalkan soal yang membuat saya merenungkannya. Soal ini berasal dari ucapan Rm. Bismoko yang disampaikan secara spontan dan barangkali tanpa terpikir lebih dahulu. Ketika akan meninggalkan Domus beliau berkata “Para rama di sini bisa membuat para seminaris mendapatkan orientasi eskatologis”.
Sejauh saya mengerti yang disebut eskatologi berkaitan dengan kehadiran kembali Tuhan Yesus Kristus di kahir zaman. Pembicaraan tentang eskatologi menyangkut tentang kematian, surga, neraka, dan api penyucian. Namun demikian pada waktu membuka-buka artikel tentang eskatologi saya terkesan dengan yang dikatakan dalam https://www.adiutami.com/2020/04 :
Pengertian
Eskatologi adalah suatu ilmu tentang pengetahuan yang terakhir, kehidupan
terakhir, tentang ha-hal terakhir dalam hidup kita. Ekatologi berasal dari
bahasa Yunani yang artinya Eskatos yaitu pengetahuan yang terakhir atau
kehidupan setelah kematian.
Apa saja yang ada dalam Eskatologi: Kematian,
surga, neraka, dan api penyucian yang berkaitan dengan kehidupan setelah
kematian.
Eskatologi merupakan salah satu cabang ilmu dari teologi sistematik tentang Kerajaan Allah didalam dunia setelah manusia mengalami kematian.
Dari kutipan itu kita memang menemukan eskatologi yang memiliki kaitan dengan kematian, surga, neraka, dan api penyucian. Ini adalah hal-hal yang dialami manusia sesudah kematian. Namun demikian, saya tertarik dengan kata-kata yang saya tebalkan cetakannya. Saya juga menangkap kehidupan terakhir sebagai hal-hal terakhir dalam hidup kita yang ada dalam kehidupan dunia fana.
Hari-hari Terakhir dalam Kehidupan Lansia
Bagaimanapun juga golongan lansia adalah bagian dari masyarakat luas. Golongan lansia secara umum ada dalam kebersamaan dengan bayi, kanak-kanak, kaum remaja, kaum muda, dan kaum dewasa lainnya. Sekalipun berada di panti atau rumah tua, kaum lansia tetap bersinggung sambung dengan yang belum lansia seperti pengurus dan orang-orang yang bekerja untuk mengelola kehidupannya. Apalagi kalau tinggal di rumah sendiri. Kaum lansia akan bisa hidup bersama anak-cucu atau paling tidak dengan tetangga-tetangga yang belum lansia. Seandainya sudah tidak bisa menjalani sambung hidup bertetangga karena kondisi kejompoan atau kesehatannya, bisa jadi ada orang khusus menjadi pramurukti.
Ada dalam posisi langsung pancaran hidup akhir
Dalam kondisinya sebagai lansia seseorang sadar atau tidak sadar sungguh berperan menyentuh lubuk hati generasi lain untuk berpikir “besok bagaimana ya kalau aku jadi lansia?” Kelansiaan mudah menjadi pemicu sikap hidup bagi kaum anak, remaja, muda, dan dewasa lainnya. Kaum lansia bisa menjadi sumber pengaruh hidup hampa dan hidup bermakna.
Yang menghadirkan kehampaan hidup
Bagi saya kehidupan menjadi hampa kalau tidak memiliki kegembiraan batin. Seorang lansia dapat mudah kehilangan kegembiraan karena ketidakpuasan terhadap realita yang dihadapi. Dia merasa kehilangan banyak hal yang memberikan kenyamanan. Barangkali dulu dia memiliki kewibawaan bahkan kekuasaan karena jabatan atau status senioritasnya. Kini dia berada dibawah kewenangan orang lain dan tak dapat menuntut hal-hal yang dikehendaki tersedia. Lansia seperti ini mudah terjangkit yang disebut post power syndrome. Bisa pula seorang lansia mengalami stress berat karena kemauan menyantap makanan-makanan, yang sudah biasa menjadi santapan nikmatnya sejak muda bahkan kanak-kanak, harus berhenti atau dihentikan. Hal ini terjadi karena penyakit yang disandang. Masakan yang tersedia adalah menu yang tidak didoyani atau paling tidak bukan kesukaannya. Barangkali seorang lansia tidak mengidap penyakit apapun, tetapi bertambahnya umur membuat menurunnya juga daya fisik sehingga tidak mudah bepergian ke sana-sini tanpa bantuan orang lain.
Banyak hal masih dapat diilustrasikan untuk menghadirkan situasi dan kondisi hidup yang membuat seorang lansia hampa sukacita batin. Lansia yang sulit gembira bisa memiliki dua macam kecenderungan. Dia bisa stress bahkan depresi karena mengalami tekanan batin harus berhadapan dengan realita yang diluar kehendaknya. Dia sudah tidak memiliki daya dan kuasa untuk memenuhi sendiri apa yang dimauinya. Sedang kecenderungan lain yang pada hemat saya mudah muncul adalah menjadi pemarah. Dia mudah mengungkapkan kekesalannya karena kemauan-kemaunnya tersumbat. Dia mudah mendapatkan alasan untuk marah. Barangkali dia tidak bisa mengungkapkan kemarahan karena sadar tak punya kuasa untuk memarahi orang. Meskipun demikian wajahnya akan menampakkan mimik yang menghadirkan aroma membuat orang lain merasa ngeri karena dalam lubuk hatinya menyimpan bara ketidaksukaan atau kebencian atau kemarahan tertahan.
Yang menghadirkan keceriaan hidup
Tentu saja lansia yang dapat memiliki keceriaan batin adalah yang memiliki sikap berbalikan dibadingkan dengan yang hampa kegembiraan batin. Lansia yang memiliki kegembiraan batin adalah yang mampu menghayati realita hidup. Kalau dunia itu selalu mengalami pembaruan dan perubahan, lansia yang mampu mempertahankan kegembiraan batin adalah yang mampu menempatkan diri dalam perkembangan situasi hidup dan budayanya. Sekalipun memiliki karakter yang terbentuk dari pengalaman masa lampaunya, dia tidak akan terbelenggu oleh bentuk-bentuk yang dihayatinya di masa lalu. Pada hemat saya lansia seperti ini memiliki keyakinan akan nilai-nilai hidup yang sejatinya kurang lebih bertahan dari dulu, kini, dan yang akan datang. Tetapi ungkapan dan pewujudan nilai-nilai itulah yang berbeda antara bangsa tertentu dengan bangsa lainnya dan antara zaman tertentu dan zaman lainnya.
Di dalam perkembangan kehidupan menjadi lansia, seseorang bisa saja mengalami kesulitan untuk memahami seluk beluk perkembangan kehidupan umum. Ilmu pengetahuan yang mengalami kepesatan perkembangan dapat menjadi hal yang diluar jangkauan otak lansia. Maju dan pesatnya tekhnologi informasi mudah membuat lansia mengalami kegagapan. Lansia yang memiliki semangat belajar dan berlatih bisa berjuang memahami dan sedikit menguasai perkembangan situasi hidup dan pola budaya. Itupun bisa terjadi secara tertatih-tatih dan tidak bisa berkemampuan sepersepuluhnya orang-orang generasi masa kini. Tetapi dia menerima apapun yang ada dan terjadi dalam dirinya. Dia menjadi sosok lansia yang tidak merasa kehilangan martabat karena berada dibawah gemilangnya generasi masa kini. Dia juga tidak menjadi rendah diri dan mampu mengagumi kemampuan mereka. Hidupnya mampu menghadirkan keceriaan dengan pancaran kebahagiaan.
Yang menghadirkan iman akan hidup kekal
Di kalangan kaum beragama alam hidup abadi menjadi bagian integral dalam keyakinan iman. Berkaitan dengan kehidupan kekal orang Katolik akan berhadapan dengan kematian, surga, neraka, dan api penyucian. Kematian diyakini “sebagai pertemuan dengan Yesus dan sebagai langkah masuk ke dalam kehidupan abadi.” (Katekismus Gereja Katolik 1020). Surga adalah tujuan yang amat dirindukan sebagai keadaan bahagia tertinggi dan definitif. “Hidup di dalam surga berarti "ada bersama Kristus”” (idem 1025). Berkaitan dengan neraka Katekismus Gereja Katolik mengatakan sebagai keadaan “pengucilan diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah dan dengan para kudus” (1033). Tentang para kudus Gereja Katolik mengatakan bahwa itu adalah persekutuan dengan sesama yang masih berziarah di dunia, dengan mereka yang sudah berbahagia di surga, dan dengan mereka yang ada di api penyucian. Neraka dialami oleh orang-orang yang abai bermesraan dengan Tuhan dan tertutup terhadap sesama. Dalam hal api penyucian Katekismus berkata “Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga.” (1030).
Karena perhatian saya tertuju pada kehidupan beriman lansia sebagai tahapan terakhir dalam proses kehidupan, saya akan bertolak pada pengertian dasar tentang neraka. Katekismus mengatakan bahwa Tuhan tidak menentukan siapapun masuk neraka (bandingkan idem 1037). Neraka adalah akibat sikap individual pengingkaran terhadap Tuhan sampai akhir hayat. Karena semua akan menjadi jelas dengan kehadiran Kristus yang kedua dalam pengadilan akhir, semua orang akan berhadapan dengan Tuhan Yesus sebagai hakim akhirat. Dalam hal ini Katekismus berkata “Putera tidak datang untuk mengadili, tetapi untuk menyelamatkan dan untuk memberikan kehidupan yang ada pada-Nya. Barangsiapa menolak rahmat dalam kehidupan ini, telah mengadili dirinya sendiri. Setiap orang menerima ganjaran atau menderita kerugian sesuai dengan pekerjaannya; ia malahan dapat mengadili dirinya sendiri untuk keabadian, kalau ia tidak mau tahu tentang cinta.” (679)
Kalau neraka adalah keadaan dimana orang menolak rahmat dan itu berarti tidak mau tahu tentang cinta, maka kehidupan bersama Kristus dalam keabadian adalah keterbukaan untuk mencinta. Dan ini adalah perintah utama orang beriman. "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." (Mrk 12:29-31) Dari sini saya menemukan keyakinan bahwa kehidupan lansia yang sungguh bermakna dalam menghayati hari-hari akhir adalah yang mengembangkan seoptimal mungkin nuansa kasih dalam kalbu.
Keceriaan karena nuansa kasih
Dalam pengembangan nuansa kasih saya teringat kata-kata Tuhan Yesus “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:9-13)
Perintah menghayati kasih model Kristus
Pada umumnya orang Kristiani tahu bahwa perintah atau hukum iman utama adalah kasih. Dalam pewartaan orang dapat menjelaskannya dengan berbagai macam padanan, misalnya seperti matahari atau seperti hubungan suami-istri. Bagi saya Injil Yohanes menghadirkan ketegasan bahwa Tuhan Yesus mengatakan “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Model mengasih seperti kasih Kristus menuntut orang memiliki fokus hidup memperhatikan Tuhan Yesus Kristus. Pada hemat saya tugas para rama lansia di Domus Pacis Santo Petrus amat berkaitan dengan fokus seperti ini. Para rama lansia Domus mendapat tugas menjadi pendoa. Para rama sudah tidak dibebani tanggungjawab pekerjaan-pekerjaan lain untuk pengembangan umat. Berdoa menjadi tugas utama. Barangkali cipta, rasa, dan karsanya tetap terisi berbagai hal sebagaimana kesibukan orang-orang yang masih aktif di kancah kehidupan duniawi, tetapi semua itu akan menjadi bahan sambung hati dengan Tuhan. Kehidupan sebagai pensiunan membawanya ke kehidupan khusus sebagai pendoa. Karena doa Kristiani selalu ada dalam pengantaraan Kristus, maka hati terarah kepada Tuhan Yesus Kristus menjadi perjuangan batin harian.
Kasih-Nya Kristus
Ketika menyampaikan perintah kasih Tuhan Yesus menyampaikan kata-kata “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.”
Ternyata kasih Kristus yang menjadi model kasih para murid-Nya bersumber pada kasih Allah Bapa. Dengan mengarahkan hati kepada Kristus, hal ini berarti kesediaan tinggal dalam kasih-Nya yang melandaskan diri pada kasih Bapa. Padahal kasih Bapa sejatinya merupakan kepedulian penyelamatan manusia di tengah dunia. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:16-17) Kehadiran Kristus adalah bukti kasih Allah, yang karena Roh Kudus kita dalam Kristus menyebut-Nya Bapa (Rom 8:15). Bagi saya inilah Tritunggal Mahakudus yang menghadirkan kesejatian “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8). Maka layaklah kalau tinggal dalam penghayatan kasih model Kristus berarti juga menuruti perintah Allah Bapa.
Amat gembira karena jiwa bersahabat
“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” demikian kata Tuhan Yesus. Dengan mengikuti kasih model Kristus orang Kristiani dijamin mengalami kepenuhan sukacita. Saya sendiri yakin bahwa dengan berkiblat kepada Kristus akan terjadi keceriaan batin tidak hanya ketika ada dalam keadaan enak menyenangkan. Ketika ada dalam kondisi tidak enakpun, misalnya ketika opname dengan keadaan sakit cukup berat, doa batin menyebut Tuhan terus menerus membuat saya bisa tidak mengalami susah derita. Segalanya adalah kehendak ilahi. Kata-kata dokter dan tindakan perawat merupakan kata dan tindakan Allah demi kebaikan saya. Ada juga pengalaman dianggap membuat kecewa seseorang bahkan dalam penilaian saya kemudian saya mendapatkan fitnah, hal ini dalam doa justru menghadirkan latihan pendalaman kerendahan hati. Pengalaman-pengalaman seperti ini membuat saya paham mengapa Kisah Sengsara Tuhan juga merupakan bagian dari Injil. Penghayatan kasih model Yesus membuat kesediaan mengikuti-Nya dengan jalan penyangkalan diri dan kesediaan menanggung beban sehari-hari (Luk 9:23).
Keceriaan penuh karena penghayatan kasih model Yesus mendapatkan ungkapan dan wujud kongkret dalam keterbukaan diri untuk bersahabat dengan siapapun. Inilah kesejatian penghayatan cinta dalam kehidupan kongkret. Di dalam persahabatan orang akan mudah mengesampingan kehendak dan kepentingan diri sendiri demi sahabatnya. Sekalipun sedang tak enak badan atau kecapekan bahkan kondisi hati tidak nyaman, orang akan memenuhi permintaan yang diinginkan sahabat. Dalam pandangan umum yang namanya cinta memang membutuhkan pengorbanan, sehingga Iin Parlina dalam salah satu nyanyian Trio Bimbo dulu menyebut “Adakah tentang cinta terwujud tanpa air mata”. Tentu saja orang demi cintanya bersedia berkorban demi yang dekat di hatinya seperti anak, ayah, ibu, nenek, pasangan hidup, pacar, teman sesama kelompok. Tetapi kalau demi siapapun termasuk yang berseberangan pandangan, minat, golongan, bahkan musuh? Tuhan berkata “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:44-45) Bagi saya inilah tantangan seorang lansia Kristiani untuk menjadi saksi iman dalam penghayatan hari-hari terakhir. Dengan berjuang menjalani kasih bersahabat dengan siapapun sadar atau tidak sadar seorang lansia mewartakan kesejatian kematian, surga, api penyucian, neraka.
Pengembangan Ketaatan
Untuk menutup pembicaraan saya teringat model utama dalam hidup beriman adalah Bunda Maria. Dan bagi saya sikap dasar Bunda Maria paling tampak ada dalam tanggapannya ketika mendapatkan warta dari Malaikat Gabriel. Ketika menerima amanat ilahi untuk mengandung dan melahirkan Tuhan Yesus Kristus, beliau berkata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu .” (Luk 1:38) Bunda Maria menghayati sikap dasar ketaatan penuh kepada Allah. Karena sikap ketaatan iman ini beliau mengalami yang disebut sapta duka: nubuat Simeon, penyingkiran ke Mesir, tiga hari cemas mencari Yesus yang hilang, menjumpai Yesus dalam perjalanan memikul salib, menyaksikan Yesus dipaku sampai ditusuk tombak, menerima jenasah Yesus yang diturunkan dari salib, dan menyaksikan Yesus dimakamkan.
Kondisi yang menimbulkan derita juga bisa mudah disandang oleh kaum lansia. Karena pada umumnya sudah tak memiliki status atau jabatan sosial, menghadapi orang serumah yang memiliki kesibukan masing-masing, banyak teman sepantaran mendahului menghadap Tuhan, seorang lansia bisa sungguh mengalami kesendirian. Hidupnya banyak ditentukan oleh anak atau cucu kalau tinggal di tengah keluarga dan oleh pengurus yang relatif masih muda bila berada di rumah tua. Apalagi kalau sudah terjangkit oleh penyakit. Dia harus berada dibawah wibawa dokter. Hal ini membuat saya yakin bahwa kesaksian iman lansia selayaknya berdasar kata-kata Tuhan “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” (Yoh 21:18)
Kentungan, 8 Juni 2021
No comments:
Post a Comment