Tuesday, June 22, 2021

Kaya Tapi Tak Bodoh

Sebetulnya yang saya tulis dalam topik ini berasal dari pengalaman para rama lansia. Tetapi saya berpikir bahwa ini bisa menjadi sharing bagi pada umumnya kaum lansia lain. Ini adalah pengalaman berkaitan dengan kepemilikan. Sejauh saya ketahui para rama praja Keuskupan Agung Semarang tua dan lansia, termasuk saya, memiliki kekayaan berjumlah banyak dan biasanya buku-buku. Barang benda juga bisa bermacam-macam ada di kamarnya. Bahkan ada yang memaklumi kalau sudah lewat 25 tahun imamat bisa punya mobil pribadi adalah wajar. Barangkali uang tabungan juga cukup memadahi. Sejauh saya temui, baru seorang rama lansia yang dari semula hanya memiliki sedikit sekali barang. Kalau mengalami mutasi pindah tempat pelayanan, orang ada yang terkejut karena untuk satu mobil jumlah barang tidak makan banyak tempat sehingga masih bisa diduduki oleh sejumlah umat pengantar. Dia pernah berkata “Bareng nèng rumah tua aku duwé klambi akèh” (Sesudah tinggal di rumah tua aku memiliki banyak baju). Maklumlah di rumah tua sering ada sumbangan baju atau kaos dari umat pemerhati.

Pengalaman untuk Tinggal di Tempat Baru

Mengingat jumlah imam yang sudah lebih dari 200 orang dan golongan lansianya juga makin banyak, Keuskupan Agung Semarang membangun rumah tua khusus untuk para imamnya. Inilah Domus Pacis Santo Petrus yang berada di kompleks Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan. Domus Pacis menjadi bangunan besar dengan 35 kamar untuk para rama tua dan lansia. Ada direktur purna waktu untuk mengurus kehidupan harian Domus. Sesudah diresmikan pada tanggal 19 Mei 2021, mulai hari berikutnya sudah ada 15 rama yang mendapatkan SK Keuskupan untuk tinggal di Domus. Di dalam SK tercantum tugas para rama tua dan lansia dari Uskup sebagai pendoa. Tetapi pada hemat saya yang menjadi kesibukan utama bukan mempersiapkan diri bagaimana akan melaksanakan tugas imamat sebagai pendoa untuk Keuskupan Agung Semarang. Pada umumnya para rama, termasuk saya, disibukkan oleh urusan barang benda yang dimiliki.

Sebenarnya wajar saja kalau untuk 1 orang rama mendapatkan 1 buah kamar. Tetapi ternyata untuk rama-rama lansia yang berasal dari rumah tua Domus Pacis Puren, Pringwulung, dan dari paroki harus berhadapan dengan barang bendanya yang tidak cukup untuk masuk dalam kamar jatah di Domus Pacis Santo Petrus, Kentungan. Dalam hal ini ternyata ada dua macam sikap terhadap masalah itu.

Melepas barang-barangnya

Walaupun kapan pindah ke Domus Petrus belum jelas tetapi sudah ada kepastian akan pindah ke rumah itu, ada rama-rama yang sudah mengepak barang-barangnya dalam dos-dos. Di antara rama-rama itu paling tidak saya melihat ada 3 orang rama yang memindahkan dos-dos yang berisi barang-barangnya ke rumah keluarga. Mereka memulangkan barang-barang itu menggunakan mobil beberapa kali. Ada yang memakai mobil relasi, ada yang menyewa mobil barang, dan ada yang dibantu dengan kendaraan komunitas. Bahkan terjadi pula salah satu rama masih meninggalkan banyak sekali barang di paroki yang telah ditinggalkan. Katanya barang-barang ini diangkut oleh keluarga dengan menggunakan truk.

Soal yang muncul

Kalau beberapa rama di atas melepas barang-barangnya dan menerima jatah kamarnya, ada juga yang ternyata mempermasalahkan. Ada yang berkali-kali mendesak untuk diberi 2 buah kamar karena akan membawa rak-rak buku yang dimiliki. Bukunya ada banyak sekali dan harus diusung dengan beberapa mobil termasuk rak-raknya. Rama ini juga minta beberapa tambahan fasilitas untuk kamarnya. Karena pengurus dengan tegas mengatakan hanya bisa menyediakan kamar dan fasilitas sama untuk setiap rama, keteganganpun muncul. Dia berkeberatan kalau hal-hal di luar yang disediakan harus ditanggung sendiri. Terhadap banyaknya buku, pengurus mengatakan yang tidak masuk kamar disumbangkan saja ke perpustakaan sekolah.

Soal juga terjadi pada calon penghuni yang memiliki kebiasaan sibuk di kamar dengan alat-alat khusus yang membutuhkan beaya ekstra jauh lebih besar dibandingkan penghuni-penghuni lainnya. Tampaknya rama ini juga mengajukan tuntutan dengan keras sehingga pengurus menjadi risau. Saya sendiri juga memiliki 11 buah dos besar yang berisi barang-barang dari kamar saya di Domus Pacis Puren. Dos-dos itu ada yang berisi buku-buku dan ada yang berisi barang benda termasuk pakaian. Dan ketika sampai di Domus Petrus, kamar tidak bisa menampungnya.

Kata Kitab Suci

Perkara yang terjadi adalah karena kepemilikan barang benda dan kebiasaan penggunaan fasilitas duniawi. Berkaitan dengan usia kelansiaan, dalam permenungan ini saya bertanya dalam diri saya tentang bagaimana menghayati iman berkaitan dengan berbagai macam kekayaan dan fasilitas. Bukankah masa lansia adalah periode terakhir orang pada umumnya dalam menghayati hidup di dunia ini? Di sini saya teringat pada kisah orang kaya yang asyik dengan kekayaannya. Ini terdapat dalam Injil Lukas 12:13-21 yang berbunyi :

13 Seorang dari orang banyak itu berkata kepada Yesus: "Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku." 14 Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?" 15 Kata-Nya lagi kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." 16 Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: "Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. 17 Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. 18 Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. 19 Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! 20 Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? 21 Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah."

Sejauh saya tangkap kisah itu dibuka dengan permintaan seseorang kepada Tuhan Yesus untuk memintakan bagian warisan dari saudaranya. Tuhan Yesus menolak karena Dia bukanlah pejabat peradilan. Tetapi dari sini Tuhan Yesus menyampaikan ajaran agar orang berjaga-jaga dan waspada terhadap ketamakan (ay 15). Tuhan menjelaskan bahwa hidup manusia tidak tergantung dari kekayaan. Untuk hal ini Tuhan memberikan ilustrasi dalam bentuk perumpamaan tentang pengalaman orang kaya yang disebut bodoh di hadapan Allah (ay 16-20). Pada akhirnya ada kesimpulan pentingnya menjadi kaya di hadapan Allah (ay 21).

Bahaya Ketamakan

Sebenarnya menjadi kaya tidaklah berdosa. Bahkan dulu banyak dipercaya bahwa kekayaan merupakan salah satu bentuk berkat dari Tuhan. Orang yang sungguh beriman akan juga ditandai dengan adanya karunia kekayaan. Abraham bapa kaum beriman juga kaya. Bahkan kisah Ayub dalam Perjanjian Lama digambarkan sebagai sosok yang amat kaya. Sekalipun pernah mendapatkan pencobaan dengan papa deritanya, akhirnya semua limpah kekayaannya dikembalikan. Yang harus diwaspadai adalah ketamakan (Luk 12:15). Dengan perumpamaan orang kaya dalam kisah di atas, saya mencoba menemukan letak kesalahannya.

Asyik dengan dan untuk diri sendiri

Orang kaya itu bertanya dalam hatinya. Saya berpikir ini adalah sebuah permenungan. Di dalam hidup beragama merenung menjadi salah satu hal yang penting. Tetapi yang harus dipahami adalah bagaimana orang itu merenung. Sejauh saya tangkap dalam kisah itu renungan terjadi dalam 3 ayat :

  • Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku.” (ay 17)
  • Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku.” (ay 18)
  • Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (ay 19)

Saya membuat tebal kata “aku” dan “ku”. Dalam ayat 19 kata “mu” juga saya tebalkan karena itu menunjuk dirinya sendiri sehingga saya samakan dengan “aku”. Sejauh ada dalam kisah, orang kaya itu hanya berpikir sendiri dan merancang sendiri. Dan yang paling mencolok hatinya hanya terisi dengan “aku” dan tak disebut sesedikit apapun orang lain misalnya anak atau pasangan. Dia amat terkungkung dalam dirinya dan segala pikiran, perasaan, dan kehendaknya hanya berisi “aku”-nya sendiri.

Orang kaya itu memiliki sikap bahwa kekayaannya adalah milik sendiri dan hanya untuk kepentingan sendiri. Untuk orang beriman ini adalah kejahatan karena melanggar perintah Allah yang ketujuh, yaitu “Jangan mencuri”. Perintah ini sebenarnya menyatakan tentang kesejatian barang benda. Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengatakan :

“Memiliki harta benda itu sah, untuk menjamin kebebasan dan martabat manusia, dan untuk memberi kemungkinan kepada tiap orang, supaya memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri dan kebutuhan dari mereka yang dipercayakan kepadanya. Harta milik membuka kemungkinan agar di antara manusia terdapat satu solidaritas alami.” (2402)

“Hak atas milik pribadi, yang diusahakan sendiri atau yang diwarisi atau diterima dari orang lain, tidak menghilangkan kenyataan bahwa bumi ini pada awalnya diberikan kepada seluruh umat manusia. Bahwa harta benda ditentukan untuk semua manusia, tetap tinggal prioritas pertama, juga apabila kesejahteraan umum menuntut untuk menghormati hak atas milik pribadi dan penggunaannya.” (2403)

Dengan perintah jangan mencuri dinyatakan bahwa segala kepemilikan harta benda selalu secara alami bersifat sosial. Solidaritas sosial menjadi jiwa untuk menghayati kehidupan dengan harta bendanya. “Warga Kristen berikhtiar dalam kehidupannya supaya mengarahkan harta benda dunia ini kepada Allah dan kepada cinta kasih persaudaraaan.” (idem KGK 2401).

Keinginan tak teratur

Ketika mencari kata “tamak”di dalam Kitab Suci lewat buku Konkordansi, ternyata hanya muncul sekali dalam Luk 12:15 yang sudah masuk dalam kisah tentang orang kaya diatas. Tetapi saya juga menjumpai kata itu dalam Katekismus Gereja Katolik no 2536. Kata “tamak”muncul dalam pembicaraan tentang “Jangan menginginkan milik sesamu” dari Sepuluh Perintah Allah. Yang dilarang dalam melanggar perintah Allah adalah keinginan yang tidak teratur. Katekismus berkata “Keinginan inderawi membuat kita merindukan hal-hal yang tidak kita miliki. Dengan demikian kita - umpamanya - merindukan makanan apabila kita lapar; atau udara panas apabila kita kedinginan. Keinginan-keinginan ini dalam dirinya baik; namun sering kali mereka melampaui ukuran yang arif dan menggoda kita merindukan sesuatu secara tidak adil, apa yang bukan milik kita, melainkan milik orang lain atau menjadi hak orang lain.” (2535) Yang membuat orang bisa jahat adalah kalau keinginannya berlebihan dan mau meraih dengan tidak adil yang menjadi milik dan hak orang lain.

Keinginan tanpa batas itu bersama dengan nafsu serakah akan barang-barang duniawi akan menjadi kelobaan yang tidak terkendali. Inilah yang disebut ketamakan. Karena jiwa tamak, sekaya apapun orang tak akan terpuaskan. Dalam kitab Pengkhotbah dikatakan bahwa “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia.” (5:9)

Ketamakan membuat kebodohan sejati

Di dalam kisah Luk 12:16-20, si kaya sungguh amat menikmati yang dilakukan. Dia berkata “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” Tetapi ternyata peristiwa itu tidak happy ending. Yang terjadi kemudian adalah “Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (ay 20).

Orang kaya itu di hadapan Allah menjadi orang bodoh. Barangkali orang berpikir tentang kebodohan si kaya terkait dengan sudah menumpuk kekayaan berlimpah namun baru saja merasa senang langsung dipanggil Tuhan meninggalkan dunia. Apa yang dilakukan selama itu menjadi kesia-siaan. Tetapi saya akan mencoba memahami kebodohan berkaitan dengan firman Allah. Kisah ini disampaikan oleh Tuhan Yesus untuk menanggapi permintaan salah seorang yang mengikuti (lihat Luk 12:13). Orang itu sedikit banyak pasti juga memiliki minat tentang firman dalam hidup keagamaan. Sedikit banyak dia juga termasuk golongan agamawan. Tetapi apakah seorang agamawan sekaligus dengan sendirinya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan Tuhan. Dalam hal ini Tuhan Yesus, ketika menyampaian butir-butir pokok untuk beriman dalam khotbah di bukit, berkata “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21).

Dari situ Tuhan Yesus kemudian menunjukkan orang yang Dia nilai bodoh. “Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.” (Mat 7:26-27) Kebodohan di hadapan adalah sikap sudah puas dengan hidup keagamaan tanpa pengamalan dalam tindakan sehari-hari. Orang bisa saja mengetahui bahkan mampu menjelaskan ajaran-ajaran agama dan tekanan-tekanan yang harus dijalankan. Tetapi dia sendiri tidak menjalankan. Ini seperti membangun rumah tanpa fondamen. Orang seperti ini, sekalipun rajin beragama, sebenarnya tidak beriman. Padahal iman “adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibr 11:1).  Bagi saya iman adalah hubungan batin dengan Tuhan dan keterbukan hati pada siapapun dan apapun. Iman adalah fondamen hidup sehingga orang dapat kokoh ceria dalam keadaan apapun. Orang beriman akan menghayati hidup keagamaan sebagai terang kedalaman hati dalam perilaku hidup sehari-hari. Kalau ini hampa dalam diri orang, dia mudah terpuruk berhadapan dengan situasi dan kondisi yang berbeda dengan selera kenyamanannya.

Kaya di Hadapan Tuhan

Tuhan Yesus di akhir pengajaran dengan kisah tentang orang kaya yang dinilai bodoh itu menyebut pentingnya kaya di hadapan Allah. Apakah ini berarti tidak benar kalau orang kaya di hadapan dunia dan banyak orang? Tuhan Yesus tidak berkata demikian. Di akhir pengajaran Dia berkata “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah." (ay 21) Bagi saya hal ini menjadi cahaya untuk membuat hati saya tidak risau dengan segala kekayaan yang saya miliki. Apalagi bagi saya, yang dengan usia lansia sudah ada dalam tahapan terakhir dalam perjalanan hidup seseorang sejak bayi hingga kini, sadar atau tidak sadar berhadapan dengan pintu masuk untuk berjumpa tatap muka dengan Tuhan Yesus.

Saya memang mengumpulkan kekayaan tertutama buku-buku. Kalau dihitung pasti amat banyak sekali dengan nilai uang yang amat besar. Ketika pindah di rumah tua pada 1 Juli 2010, paling tidak ada satu kamar di Museum Misi Muntilan (M3) menjadi sebuah perpustakaan. Pada waktu itu saya membawa cukup sedikit buku-buku yang saya anggap masih berguna untuk hidup saya. Tetapi ternyata selama 10 tahun tinggal di Domus Pacis Puren buku-buku saya kembali menjadi amat banyak. Ketika pindah di Domus Pacis Santo Petrus Kentungan ada 4 dos besar saya serahkan di 2 perpustakaan. Selain buku-buku hasil kumpulan saya, saya juga masih mempunyai banyak harta lain berupa barang benda pemberian banyak umat.

Dengan kenyataan kekayaan yang saya miliki, yang menjadi pertimbangan untuk tetap berada dalam jalur iman adalah pertanyaan apakah saya juga kaya di hadapan Allah. Yang jelas sebagai orang yang masuk golongan kaya, saya tertantang untuk tidak menjadi bodoh dalam melaksanakan firman Tuhan agar sekalipun punya banyak kekayaan tetapi juga kaya di hadapan Tuhan. Terhadap tantangan itu saya merasa dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

  • Apakah aku tidak tamak? Dalam hal ini saya harus meneliti kedalaman batin saya. Apakah saya mudah tidak puas dengan apa yang saya miliki? Apakah saya mudah iri akan kepemilikan teman atau orang lain? Bukankah ini semua menjadi jiwa serakah yang berbuahkan jiwa tamak?
  • Apakah aku mudah berbagi? Dalam hal ini saya harus sadarapakah saya punya jiwa solidaritas alami atau tidak. Bukankah semua kekayaan selalu juga harus bermakna bagi kebaikan umum?

Kentungan, 14 Juni 2021

No comments:

Post a Comment

Jadi Katekumen Masuk Sorga Minggu 5

    "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Ker...