Saya menemukan orang-orang lansia yang cukup aktif dalam agama. Ada juga mantan-mantan pejabat yang sudah pensiun dan kini menjadi aktivis agama. Kalau pengurus teras seperti dewan harian paroki banyak dipegang oleh mereka yang masih segar dan produktif, tidak sedikit pelayanan-pelayanan lain dalam Gereja berisi orang-orang tua dan lansia. Di dalam paroki banyak kaum pensiunan yang menjadi prodiakon paroki. Ada pula orang-orang tua dan lansia yang kini aktif memperdalam hidup keagamaan sebagai bekal terlibat dalam kegiatan Gereja. Mereka bisa masuk dalam kegiatan memimpin doa, memandu pendalaman iman, mengajar agama, dan juga beberapa kegiatan lain yang ikut mengembangkan agama. Tentu saja saya juga menjumpai orang-orang tua dan lansia yang aktif dalam pelayanan masyarakat luas. Saya menyebut semua kegiatan mereka dengan istilah pelayanan karena mereka tidak mencari upah dalam kegiatan-kegiatannya.
Dari antara mereka yang aktif dalam pelayanan Gereja beberapa kali saya mendengar alasan berkegiatan. Alasan yang sering muncul kurang lebih dapat dirumuskan dengan kata-kata “Pun sepuh, rama. Pados napa malih yang mboten swarga” (Saya sudah tua, rama. Cari apalagi kalau bukan surga). Terhadap alasan cari surga dengan aktif agama saya tidak akan menegatifir. Dalam renungan ini saya hanya akan mempertimbangkan hidup keagamaan macam apa yang kiranya dihendaki oleh Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus tidak mengecam orang beragama. Tetapi Tuhan memberi peringatan “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:20).
Kata Kitab Suci
Menghadapi sikap para ahli Taurat dan orang-orang Farisi (lihat Luk 15:2), Tuhan Yesus menyajikan beberapa kisah untuk pengajaran. Satu di antaranya adalah tentang “Orang kaya dan Lazarus yang miskin” (Luk 16:19-31) :
19 "Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. 20 Dan ada seorang pengemis i bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, 21 dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. 22 Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. 23 Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. 24 Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini. 25 Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. 26 Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang. 27 Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, 28 sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini. 29 Tetapi kata Abraham: Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu. 30 Jawab orang itu: Tidak, bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat. 31 Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati.
Di dalam kisah ini ada dua sosok peran yang memiliki kondisi amat sangat jauh berbeda. Yang satu orang kaya raya yang selalu mendapatkan kenikmatan dalam hidup hariannya. Sedang yang lain diberi nama Lazarus yang digambarkan sebagai sosok yang amat sangat menderita, penuh kemiskinan, yang hidupnya menggantungkan diri pada sisa-sisa terbuang. Kawan akrabnya hanyalah anjing, binatang penuh kenajisan. Kedua sosok peran itu dikisahkan mati. Lazarus menikmati surga dan si kaya menderita di api neraka. Karena kisah ini disajikan untuk menghadapi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, saya akan lebih memfokuskan diri pada sosok orang kaya. Bukankah orang kaya ini berasal dari keluarga agamawan yang hidupnya tidak jauh dari Kitab Suci (Luk 16:29)?
Beragama Model Farisi dan Ahli Taurat
Katanya, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat adalah golongan orang-orang saleh dalam hidup beragama. Tetapi, sebagaimana sudah disebut di atas, Tuhan Yesus berkata kepada orang-orang yang mengikutinya “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:20). Inilah yang pada hemat saya kita perlu mengetahui barang sedikit kekurangan model Farisi dan ahli Taurat. Sebagai rujukan saya akan mendasarkan diri pada Injil Lukas 11:37-54 yang berisi tentang “Yesus mengecam orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat”.
Kekurangan model orang-orang Farisi
Pada waktu itu Tuhan
Yesus seusai mengajar diundang oleh orang Farisi untuk makan di rumahnya. Tuhan
Yesus langsung makan tanpa lebih dahulu mencuci tangan sebagaimana adat
kebiasaan orang Yahudi. Hal ini membuat orang Farisi keheranan. Terhadap reaksi
tuan rumah Tuhan Yesus berkata "Kamu
orang-orang Farisi, kamu membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan,
tetapi bagian dalammu penuh rampasan dan kejahatan. Hai orang-orang bodoh,
bukankah Dia yang menjadikan bagian luar, Dia juga yang menjadikan bagian
dalam? Akan tetapi, berikanlah isinya sebagai sedekah dan
sesungguhnya semuanya akan menjadi bersih bagimu.” (ay 39-41). Dari kata-kata Tuhan saya
menangkap bahwa kekurangan utama model Farisi adalah sikap beragama yang
formalistis. Orang sudah puas karena bisa beres menjalani wajib-wajib agama.
Sadar atau tidak sadar model Farisi mengabaikan hubungan batin dengan Tuhan.
Sikap seperti ini akan membuat hidup celaka. Tuhan Yesus menyampaikan tiga hal
yang membuat celaka: 1) beragama tanpa penghayatan akan keadilan dan kasih
ilahi; 2) nafsu cari hormat; 3) mengejar citra baik. Hal ini terungkap dari
kata-kata Tuhan Yesus :
- “Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” (ay 42)
- “Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar.” (aya 43)
- “Celakalah kamu, sebab kamu sama seperti kubur yang tidak memakai tanda; orang-orang yang berjalan di atasnya, tidak mengetahuinya.” (ay 44)
Kekurangan model ahli-ahli Taurat
Ketika Yesus
memenuhi undangan untuk makan di rumah orang Farisi ternyata hadir pula seorang
ahli Taurat. Seseorang menjadi ahli Taurat karena memiliki pengetahuan hukum
atau tatanan hidup beragama termasuk bagaimana harus menjalani dalam kehidupan
harian. Tetapi model ahli Taurat dihadapan Tuhan Yesus memiliki kekurangan: 1)
menjadi nara sumber yang bukan sekaligus pelaku sebagaimana orang Jawa berkata
“gajah diblangkoni, isa mojah ra isa nglakoni” (pandai menjelaskan
tetapi tidak menjalaninya); 2) suka membangun monumen; 3) mempersulit orang
yang akan menjalani ajarannya dengan menyembunyikan pokok-pokok aplikatif yang
mempermudah praktek. Sebagaimana yang dikatakan kepada orang Farisi, Tuhan
Yesus juga menyampaikan teguran atas tiga macam kekurangan ahli Taurat :
- "Celakalah kamu juga, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada orang, tetapi kamu sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jaripun.” (ay 46)
- “Celakalah kamu, sebab kamu membangun makam nabi-nabi, tetapi nenek moyangmu telah membunuh mereka. Dengan demikian kamu mengaku, bahwa kamu membenarkan perbuatan-perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka telah membunuh nabi-nabi itu dan kamu membangun makamnya. Sebab itu hikmat Allah berkata: Aku akan mengutus kepada mereka nabi-nabi dan rasul-rasul dan separuh dari antara nabi-nabi dan rasul-rasul itu akan mereka bunuh dan mereka aniaya, supaya dari angkatan ini dituntut darah semua nabi yang telah tertumpah sejak dunia dijadikan, mulai dari darah Habel sampai kepada darah Zakharia yang telah dibunuh di antara mezbah dan Rumah Allah. Bahkan, Aku berkata kepadamu: Semuanya itu akan dituntut dari angkatan ini.” (ay 47-51)
- “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu telah mengambil kunci pengetahuan; kamu sendiri tidak masuk ke dalam dan orang yang berusaha untuk masuk ke dalam kamu halang-halangi." (ay 52)
Kekosongan Rohani Formalisme Agama
Saya merasa gambaran model Farisi dan atau ahli Taurat ada pada orang kaya dalam kisah “Orang kaya dan Lazarus yang miskin” (Luk 16:19-31). Orang kaya itu pasti sosok agamawan bersama saudara-saudaranya. Di dalam keabadian dia ingat akan lima saudaranya agar kelak tidak masuk dalam tempat penderitaan. Orang kaya itu mengharapkan agar Lazarus datang kerumahnya untuk memberi peringatan kepada saudara-saudaranya. Tetapi bapa Abraham berkata “Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu.” (ay 29). Orang kaya itu juga masih tahu tentang pertobatan (ay 30). Bagi saya hal ini menunjukkan adanya kesalehan dalam diri si orang kaya.
Orang kaya itu digambarkan “selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.” (ay 19). Bagi saya hal ini menunjukkan dia menikmati kekayaan berlimpah dan status sosial tinggi. Jubah warna ungu menunjukkan kedudukan yang amat tinggi di tengah masyarakat. Di dalam http://viralcaja.com/5-warna-dengan-arti-simbolik-dari-alkitab ada penjelasan tentang warna ungu: “Ungu: warna royalti. Bahkan dalam dunia sekuler, ungu dikenal untuk dikenakan hanya oleh raja karena mengekstrak warna dari shell laut tertentu adalah sangat mahal dan sehingga hanya royalti atau orang yang sangat kaya memakai ungu.” Dari sini saya menggambarkan orang kaya dalam kisah Luk 16:19dst sebagai orang model Farisi dan atau ahli Taurat yang sukses.
Satu hal yang menarik hati saya adalah saat orang kaya itu meninggal dunia. Dalam gambaran saya orang kaya yang berstatus tinggi itu pasti banyak pelayatnya. Kalau terjadi di masa kini akan amat banyak karangan bunga berjajar-jajar sampai banyak sekali yang hanya tertumpuk karena tak ada tempat untuk memajang. Upacara keagamaan akan dipimpin oleh banyak pimpinan jemaat. Alunan paduan suara melibatkan banyak umat dengan iringan musik tingkat profesional. Pokoknya amat megah membanggakan dan terekam oleh alat-alat tekhologi buatan mutakhir. Barangkali yang digambarkan ini memang terjadi. Akan tetapi dalam kisah Injil Lukas tidak demikian. Yang tertulis adalah “Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur.” (Luk 16:22.23a)
Lazarus yang miskin tanpa status dan tanpa harta serta amat menderita ketika mati disambut oleh para malaikat. Malaikat-malaikat itu membawanya ke Abraham, bapa kaum beriman. Bapa Abraham menerimanya secara personal penuh rasa kasih sehingga orang miskin itu didudukkan di pangkuannya. Suasana ini amat berbeda dibandingkan dengan gambaran tentang kematian orang kaya. Tak ada sambutan dari penduduk surga. Dia hanya diberitakan “juga mati, lalu dikubur”. Orang kaya itu mengalami kelengangan alam sesudah kematian. Ternyata kehidupan yang glamor penuh kesemarakan dan penghormatan serta tidak melupakan kehidupan beragama tidak menghadirkan kesemarakan di alam keabadian. Hidup agamanya dihayati secara formalistik dan formalisme keagamaan tidak memberikan kekayaan batin. Dia mengalami yang saya sebut kehampaan rohani.
Karena Ada Jurang Pemisah
Dengan omong keadaan orang kaya yang dikisah dalam kutipan Injil Lukas di atas, saya tidak mengatakan bahwa hidup beragama tidak penting karena toh membawa orang masuk neraka. Penghayatan agama yang formalistiklah yang membuat orang tidak mempunyai hubungan dekat dan intim dengan Allah. Orang mungkin tetap disiplin menjalani berbagai kewajiban yang ada dalam tatanan agama. Kalau yang dijalankan hanya sejauh berasal dari aturan, formalisme keagamaannya sungguh bercorak legalistik. Beragamanya berjalan hanya sebagai pemenuhan aturan dalam agama. Padahal keagamaan sejati adalah tanda dan sarana yang membawa orang memiliki hubungan mesra dengan Tuhan dan terbuka pada siapapun dan apapun. Agama adalah penyadar orang akan “sangkan paraning dumadi”, berasal dari Allah dan kembali kepada Allah. Kehidupan dunia adalah perjalanan yang agar tidak salah jalan sehingga tak bisa pulang ke asal mula orang harus terbuka pada bimbingan Roh Kudus. Dengan bimbingan Roh Kudus orang bisa berada bersama Kristus yang adalah jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh 14:6). Yang menjadi permenungan saya adalah bagaimana orang kaya yang termasuk menjaga kesalehan agama itu tidak sampai pada kesejatian agama.
Terkuasai keasyikan dengan diri sendiri
Kisah orang kaya dan Lazarus yang miskin dibuka dengan gambaran kehidupan si kaya. “Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.” Dia selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus. Kata “selalu” menunjukkan tempo tanpa jeda atau menjadi kebiasaan harian. Dengan selalu berjubah ungu orang kaya itu sehari-hari selalu menampilkan kedudukannya dan mengejar penghormatan. Secara praktis saya mengatakan hatinya dikuasai oleh nafsu kekuasaan dalam nuansa gila hormat. Jubah berwarna ungu yang selalu dipakai terbuat dari kain halus. Pastilah kain itu amat mahal harganya. Sadar atau tidak sadar dia selalu menampilkan diri sebagai orang yang amat kaya. Karena menjadi tampilan sehari-hari sebagai kebiasaan hidup, orang kaya itu sungguh-sungguh terjerat dan terkungkung oleh kedudukan dan limpah kekayaannya.
Selain selalu menampilkan tanda-tanda status sosial dan kekayaannya, setiap hari orang kaya itu bersukaria dalam kemewahan. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupannya amat hedonistik dan bahkan bisa jadi konsumeristik. Di dalam kehidupan rohani hedonisme dan konsumerisme termasuk kekuatan daya roh jahat. Dengan jiwa hedonistik orang dalam hidupnya hanya mengejar kenikmatan diri. Kalau sudah mendapatkan keinginan-keinginan, bukan sekedar kebutuhan, orang masih belum puas sehingga selalu ingin menikmati yang lain lagi. Inilah kehidupan yang bersifat konsumeristik. Konsumerisme yang paling mencolok adalah mengkonsumsi obat-obat terlarang. Narkoba sebenarnya baik-baik saja kalau disantap oleh orang sakit dengan petunjuk dokter. Tetapi kalau tidak membutuhkan karena sakit dan lalu menyantapnya, ini hanya terjadi pada orang yang sadar-atau tidak sadar hanya mengejar dan mengumbar nafsu nikmat untuk dirinya sendiri. Mudah-mudahan orang kaya itu bukanlah sosok narkotis.
Bukan Tanpa kepedulian
Barangkali model orang kaya seperti itu tetap ikut kegiatan sosial. Barangkali dia juga tahu dan memegang ajaran peduli pada kalum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Terhadap gerakan-gerakan kepedulian sosial dia juga ikut menyumbang. Sumbanganpun juga dapat besar. Kalau memiliki perusahaan dia juga tertib dalam menjalani CSR (Corporative Social Responsibility). Kewajiban sumbangan keagamaan juga dijalani bahkan melebihi standar dan terkenal sebagai donator baik untuk agama, masyarakat, dan negara. Bahkan mungkin namanya selalu masuk dalam deretan penyumbang besar. Tetapi bagimana dengan Lazarus? Dia luput dari perhatian si kaya. Padahal keadaan Lazarus yang amat mencolok karena badannya penuh borok, berbaring dekat pintu rumahnya. Dia dirubung oleh anjing-anjing yang menikmatinya dengan menjilati boroknya. Dan Lazarus “berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu.” (ay 20-21)
Dalam permenungan saya orang kaya itu tidak dapat hanya dikatakan tanpa kepedulian pada Lazarus. Hatinya yang sarat oleh besarnya penghormatan dan nikmatnya kefoya-foyaan telah membutakan matanya untuk melihat Lazarus. Hatinya menempatkannya pada keadaan amat jauh dari realita kepapaan yang ada di dekatnya. Segala sumbangan sosial yang dijalani hanya menjalani kewajiban aturan sehingga juga jatuh ke dalam pola formalisme. Tetapi secara kongkret dirinya sebenarnya amat jauh dari nasib orang-orang papa dan menderita. Ada jurang antara dirinya dengan realita kepapaan. Bapa Abraham dalam kisah di atau mengatakan “di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi” (ay 26). Orang kaya itu menjadi model hidup orang yang hatinya tidak punya hubungan batin dengan Tuhan Yesus, karena Tuhan berkata “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” (Mat 25:45). Orang kaya itu tidak menghayati Allah dalam roh dan kebenaran karena sejatinya “Allah itu Roh” (Yoh 4:24).
Agar Tak Mengucilkan Hati
Dengan permenungan di atas, tidak ada salahnya seorang lansia menjadi atau makin aktif dalam hidup keagamaan. Bagi saya sendiri yang paling pokok adalah hidup beragama sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dan itu berarti adalah mengupayakan agar penghayatan keagamaan tidak sebatas menjadi tindakan formalistis yang hanya berupa tindakan lahiriah. Saya amat terkesan oleh kata-kata bapa Abraham kepada orang kaya “Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati." Hal ini menuntut agar hidup keagamaan kita harus dilandasi oleh olah batin untuk menjadikan agama sebagai cahaya nilai iman dalam berhadapan dengan realita kongkret. Sikap dasar Bunda Maria yang biasa menyimpan segala perkara dalam hati dan merenungkannya (Luk 2:19) sungguh dapat menjadi model beriman. Kebiasaan seperti ini tidak akan membuat orang mengalami jurang pemisah dengan Allah dan siapapun dan apapun. Hidup keagamaan model Farisi yang diragakan dengan tampilan orang kaya di atas membuat si kaya hanya asyik tertutup pada kemauan dan seleranya sendiri. Inilah yang membuat si kaya berada dalam neraka, yaitu keadaan “pengucilan diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah dan para kudus” (Katekismus Gereja Katolik 1033).
Kentungan, 12 Juni 2021
No comments:
Post a Comment