Tuesday, June 29, 2021

Masih Cari Bentuk Tugas Jadi Pendoa

Sejak Kamis 20 Mei 2021 secara resmi saya mendapatkan SK Keuskupan Agung Semarang menjadi “Pendoa” dan tinggal di Domus Pacis Santo Petrus, Kentungan. Tampaknya penugasan seperti ini mirip dengan para rama Yesuit yang tinggal di Emaus, Girisonta, rumah tua para biarawan Serikat Yesus. Barangkali untuk kaum beragama yang berusia lanjut doa dipandang sebagai kegiatan utama. Ketika saya masih di Domus Pacis Puren, Pringwulung, saya biasa memandu kegiatan Novena setiap Minggu Pertama dari Maret hingga November sejak tahun 2013. Pada tahun 2020 hanya terlaksana satu kali pada bulan Maret dan kemudian berhenti karena pandemi Covid-19 yang lama belum berhenti. Di dalam Novena selalu dimulai dengan seminar dua jam dengan topik-topik yang berkaitan dengan dunia kehidupan kaum lansia. Bila tema-tema berkaitan dengan hidup keagamaan, doa berdoa tampaknya selalu menjadi bagian kehidupan lansia.

Mencari Bentuk Sebagai Pendoa

Tugas yang diberikan oleh Keuskupan hanya dinyatakan menjadi pendoa untuk Keuskupan Agung Semarang. Sebagaimana penugasan-penugasan lain yang pernah saya terima, Uskup tidak pernah menjabarkan hal-hal yang harus saya kerjakan untuk tugas yang diberikan. Surat Keputusan penugasan tidak pernah mencantumkan job description. Bagi saya ini adalah bentuk kepercayaan yang menghadirkan peluang kebebasan berinisiatif dan berkreasi demi pengembangan pelayanan Gereja. Tetapi dalam hal menjadi petugas khusus sebagai pendoa, hal ini bagi saya ternyata cukup menghadirkan rasa bertanya-tanya. Apakah saya hanya akan menjalani doa-doa wajib imamat? Apakah saya harus menjalani doa-doa yang populer menjadi tradisi umat Katolik seperti rosario, novena, dan yang ada dalam teks-teks yang beredar di kalangan warga Katolik? Apakah saya harus mencipta doa-doa baru?

Saya pernah membuat status dalam WA dan FB yang berisi tawaran untuk umat yang menginginkan bantuan doa. Yang berminat hanya saya minta untuk mengirimkan nama dan tempat asalnya serta ujub yang ingin didukung dengan doa. Tetapi, sekalipun dalam FB ada banyak “like”, saya hanya menerima satu permintaan yang berasal dari warga Katolik Kalimantan. Memang, dari orang-orang yang sudah mengenal saya bila berhadapan dengan masalah, seperti anggota keluarga sakit atau ada yang wafat, saya menerima pesan WA minta didoakan. Apakah saya harus gencar menawarkan diri untuk menerima permintaan doa? Apakah saya harus memaklumkan diri kepada umat lewat jaringan medsos tentang tugas khusus saya sebagai pendoa?

Pada suatu hari ketika saya berbicara dengan Rm. Suntara tentang mendoakan arwah menjadi ujub misa, beliau berkata “Aku ya mesthi nyembahyangke arwah-arwah. Ning ora kudu nganggo misa. Sepuloh Sembah Bekti ya isa” (Saya juga mendoakan arwah-arwah. Tetapi tidak harus pakai misa. Sepuluh doa Salam Maria juga bisa). Ketika mendengar kata-kata itu, saya teringat Rm. Hartanta yang mengagumi salah satu hal dalam diri Rm. Suntara. Rm. Hartanta, direktur Domus Pacis, amat terkesan pada Rm. Suntara. Beliau kerap melihat Rm. Suntara di depan pintu kamarnya duduk di kursi roda dengan mata terpejam dan kepala mendongak ke atas. Sementara itu kedua tangan tertumpang di pangkuan dengan telapak tangan terbuka. Rm. Hartanta dan saya mengakui bahwa Rm. Suntara adalah sosok yang tekun berdoa. Dalam hati saya mengatakan bahwa beliau adalah pendoa alami. Terhadap pengalaman ini saya berpikir apakah tidak sebaiknya saya juga mengembangkan diri seperti model Rm. Suntara.

Kata Gereja

Dari khasanah yang ada dalam Gereja, saya berusaha menemukan yang datang dari Tuhan Yesus Kristus sejauh diwartakan di dalam Injil. Kemudian saya mencari bentuk-bentuk doa yang diajarkan oleh Gereja.

Doa Bapa Kami

Kalau omong tentang kehidupan Gereja dalam hal doa mendoa, banyak umat memahami bahwa Perayaan Ekaristi menjadi yang paling agung. Yang bagi saya kerap menyentuh hati adalah dari seluruh doa dan tatanan upacaranya hanya satu saja yang dikatakan berasal dari Tuhan Yesus Kristus. Itu adalah doa Bapa Kami yang diucapkan ketika memulai bagian Komuni. Bahwa itu dari Tuhan Yesus Gereja mengantar doa ini dengan kata-kata “Atas petunjuk Penyelamat kita dan menurut ajaran ilahi, maka beranilah kita berdoa”. Di dalam Injil doa Bapa Kami dapat diketemukan dalam Mat 6:-13 dan Luk 11:2-4. Tetapi yang biasa diucapkan oleh umat Katolik adalah yang berasal dari Injil Matius. Dan rumusan kini adalah sebagai berikut :

Bapa kami yang ada di Surga,

dimuliakanlah nama-Mu,

datanglah Kerajaan-Mu,

jadilah kehendak-Mu di atas bumu seperti di dalam surga.

Berilah kami rezeki pada hari ini

dan ampunilah kesalahan kami,

seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami

dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan,

tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.

Gereja juga mengatakan doa itu sebagai “doa Tuhan”, karena langsung diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Katekismus Gereja Katolik mengatakan:

Doa yang berasal dari Yesus ini benar-benar merupakan doa istimewa: ia berasal "dari Tuhan". Pada satu pihak, Putera tunggal memberi kepada kita dalam kata-kata doa ini kata-kata, yang Bapa berikan kepada-Nya: Ia adalah guru doa kita. Pada lain pihak, Ia sebagai Sabda yang telah menjadi manusia mengetahui dalam hati manusia-Nya kebutuhan-kebutuhan saudara dan saudari-Nya dan menyatakannya kepada kita: Ia adalah contoh bagi doa kita. (2765)

 

Dengan doa itu kita berani menyebut Allah sebagai Bapa, karena dalam Kristus kita menerima Roh yang menjadikan kita anak Allah. Dalam Roh kitu kita berseru “ya Abba, ya Bapa” (Rom 8:15). Dalam doa Tuhan kita mengucapkan kata “Bapa kami” yang menyatakan bahwa masing-masing pengikut Tuhan Yesus adalah bagian umat Allah. Kita menyingkirkan individualisme dan segala perpecahan. Kalau disebut “yang ada di Surga”, itu bukan berarti ada di tempat lain di dalam kenisah-Nya yang diagungkan dalam kehidupan kita, yaitu dalam diri manusia, karena sejatinya setiap orang adalah “bait Allah” (1Kor 3:16).

Dengan bimbingan Roh Kudus kita bisa mengajukan tujuh permohonan. Secara singkat dari Katekismus kita mendapat penjelasan berikut (lihat no2803-2805) :

·       Ketiga permohonan pertama membawa kita menuju Allah demi dirinya sendiri. Permohonan-permohonan itu adalah “Dimuliakanlah nama-Mu”, “Datanglah kerajaan-Mu”, dan “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga”.

·       Empat permohonan lain menyangkut harapan kita untuk menarik kemurahan dan kerahiman Bapa. Permohonan keempat dan kelima berkaitan dengan hidup yang harus dikuatkan dengan makanan dan dipulihkan dari dosa. Sedang permohonan keenam dan ketujuh berhubungan dan perjuangan untuk meraih kemenangan iman.

Bentuk-bentuk doa

Penghayatan hidup rohani bagi pengikut Tuhan Yesus erat berkaitan dengan perjuangan doa. Ada keyakinan bahwa dalam doa kita “Melawan kita sendiri dan melawan tipu muslihat penggoda yang melakukan segala-galanya untuk mencegah manusia dari doa, dari persatuan dengan Allah.” (KGK 2725). Kita memang harus menyangkal diri sebagai jalan ikut Tuhan Yesus. Dan kini sebagai orang yang mendapatkan tugas khusus sebagai pendoa, saya berusaha menemukan bentuk doa sebagai sarana pelaksanaan tugas. Dari Kateksimus Gereja Katolik 2700-2719 saya menemukan bentuk-bentuk doa menurut Gereja Katolik. Ada tiga macam bentuk :

  1. Doa lisan. Ini adalah doa rakyat dalam arti yang sudah berjalan di antara umat. Bentuknya adalah terjadinya hati hadir di depan kata-kata yang diucapkan. Dalam hal ini yang terpenting adalah hati yang hadir di hadapan Allah. “Doa lisan merupakan unsur hakiki dalam kehidupan Kristen” (2701). Doa lisan membantu kita berdoa dengan seluruh hati agar memberikan kekuatan pada segala yang kita sampaikan.
  2. Doa renung. Ini juga kerap disebut meditasi. Dengan merenung kita berupaya menemukan makna dari sarana-sarana kehidupan beriman. “Biasanya kita mencari bantuan pada sebuah buku. Tradisi Kristen memberi satu pilihan yang sangat luas: Kitab Suci, terutama Injil, ikon, teks-teks liturgis untuk hari bersangkutan, tulisan-tulisan dari bapa-bapa rohani, …..” (2705). Selain itu juga disebut kepustakaan rohani, buku besar yakni ciptaan dan sejarah, terutama halaman yang dibuka pada "hari ini".” (idem). Ternyata segala ciptaan dan sejarah pengalaman, baik pribadi maupun kebersamaan termasuk Gereja dan bangsa, termasuk peristiwa kini dinyatakan sebagai kepustakaan rohani. Satu hal yang harus dicatat adalah adanya aneka ragam metode meditasi. Tetapi yang pokok sebuah metode adalah sarana yang menuntun untuk bersama Roh Kudus menuju Kristus sebagai satu-satunya pengantara doa.
  3. Doa batin. Dalam doa batin kita juga masih bisa merenung tetapi pandangan sudah terarah pada Allah. Ini adalah relasi pribadi yang membuat suasana perjumpaan dalam suasana sederhana. Dalam doa batin ada hubungan seperti glenikan (omong-omong intim dengan Tuhan) dalam nuansa kasih. Ada keterbukaan blak-blakan apapun yang dirasakan, dipikirkan dan dikehendaki. Tetapi juga ada perasaan diterima dengan kasih. “Doa batin ialah persekutuan kasih.” (2719)

Kemungkinan-kemungkinan Pelaksanaan

Dengan sedikit mempelajari yang dikatakan oleh Gereja, saya berusaha mendapatkan kemungkinan-kemungkinan untuk menjalani tugas khusus sebagai pendoa. Ini saya rasa-rasakan, saya pikir-pikir, dan juga saya bawa dalam hening doa. Terus terang, saya belum mendapatkan pola dan bentuk kongkret untuk mengisi tugas khusus ini. Sembari tetap menjalani hal yang sudah biasa terjadi selama di rumah tua Domus Pacis Puren, saya mencoba mereka-reka kemungkinan pelaksanaan tugas khusus sebagai pendoa.

Polanya “Bapa Kami”

Dengan kata “Bapa” dan “kami” saya disadarkan bahwa doa seorang Kristiani adalah buah dari karya Roh Kudus yang membuat orang menjadi bagian umat Allah. Yang berdoa sebenarnya Roh Kudus karena “Roh membantu kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” (Rom 8:26) Dengan demikian landasan doa adalah penyerahan dan keterbukaan hati pada tuntunan ilahi. Dan dalam Roh kita akan mengalami masing-masing mendapat karunia untuk kepentingan bersama (1Kor 12:7). Sekalipun memiliki kekhasan masing-masing, semua akan menjadi bagian satu tubuh (1Kor 12:12). Saya membayangkan bahwa saya harus menjaga hubungan mesra personal dengan Allah dan membiarkan pikiran, perasaan, dan kehendak diwarnai oleh kaitan dengan siapapun yang masuk dalam ingatan dan hati. Saya akan makin membiasakan diri menyebut “Gusti .... Gusti .....” dalam hati dan mengomongkan dalam hati apapun yang saya pikir atau saya rasakan. Dalam omongan saya berbahasa Jawa spontan seperti glenikan (omong-omong intim) dengan teman dekat. Dan di sini saya boleh mengalami Allah dalam hati sehingga sungguh-sungguh merasakan kata-kata pertama “Bapa kami yang ada di sorga).

Dengan pola doa Bapa Kami ada tujuh permohonan. Hal ini akan menjadi pokok-pokok isi dari doa-doa.

  1.  Hati terarah kepada Allah

Dengan mengucapkan “dimuliakanlah nama-Mu” kita mohon bisa tenggelam dalam misteri ke-Allah-an-Nya dan dalam karya keselamatan bagi umat manusia (KGK 2807). Kemudian kita mohon “datanglah kerajaan-Mu” sehingga dosa tidak memiliki kuasa dalam hidup kita dan kita ada dalam bimbingan Roh Kudus (2819). Kita juga mengarahkan diri pada kehendak Allah yang menetapkan Kristus sebagai Kepala segala sesuatu. Dengan doa terus menerus kita mohon kehendak itu dapat terlaksana di bumi sehingga tercipta damai sejahtera di tengah dunia (2823).

Kesejatian doa memang mengarahkan hati orang kepada Allah sehingga memuliakan dan mengandalkan-Nya dengan pengantaraan Kristus. Dalam hal ini saya merasa bersyukur karena saya mendapatkan bantuan kebiasaan individual. Dalam saat hening kalau tak ada omongan dengan Tuhan saya menyebut-Nya dengan kata “Gusti ….. Gusti …..” berkai-kali dalam hati. Selain itu dalam keadaan sibuk seperti menulis, membaca, nonton TV, bahkan berada di kamar mandi dan WC saya kerap mengomongkan yang terpikir atau terasa atau teringini secara spontan secara singkat bagaikan SMS kepada-Nya dalam hati. Barangkali ini menjadi kerangka jiwani yang dalam diri saya dan amat membantu saya mengarahkan hati kepada Allah. 

    2.     Di tengah kehidupan kongkret

Di dalam kehidupan kongkret kita membutuhkan makanan dan hal jasmaniah lain. Dalam pola doa Bapa Kami ini kita mohon dengan perkataan “Berilah kami rejeki pada hari ini”. Kita mohon untuk kepentingan manusia pada umumnya sehingga ada harapan diperhatikannya kaum miskin dan terlantar. Ungkapan “hari ini” adalah hari-Nya Tuhan, yaitu berkaitan dengan kebangkitan Kristus. Ekaristi menjadi landasan jiwani untuk menghayati kesejatian kehidupan duniawi yang selalu bersifat sosial.

Kehidupan kongkret bagaimanapun juga selalu terlanda dosa dan kesalahan. Tetapi di dalam Bapa ada kerahiman pengampunan yang tanpa batas. Anak bungsu, yang sudah hancur-hancuran menghambur-hamburkan harta dan berfoya-foya abai moral, tetap ditunggu oleh Allah yang Mahapengampun (Luk 15:11-32). Di sini orang beriman akan selalu sadar untuk terbuka mohon pengampunan dengan kata-kata “Ampunilah kesalahan kami”. Tetapi kata-kata itu masih diteruskan dengan “seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami”. Ini berarti bahwa dalam Allah kita menghayati harapan diampuni dan mengampuni antar sesama umat-Nya. Doa ini menjadi dorongan untuk mengembangkan kebersamaan sebagai kesatuan para pengampun.

Dalam permohonan keenam kita berdoa “Dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan”. Dengan doa Bapa Kami kita diingatkan bahwa dalam kehidupan kongkret kita selalu berhadapan dengan dorongan nafsu jahat dan panggilan berada dalam Tuhan, antara kekuatan setan dan daya Roh Kudus. “Demikianlah permohonan Bapa Kami ini memohon roh pembedaan dan kekuatan.” (KGK 2846)

Berhadapan dengan dua kekuatan itu kita memohon “tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.” Dengan permohonan ini kita sadar bahwa ada kekuatan jahat yang namanya setan. Dalam Katekismus dikatakan bahwa “kita berasal dari Allah, tetapi seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat” (2852). Di sini kita dalam kesatuan dengan Gereja memohon agar tetap berada dalam Allah sehingga tidak takut akan setan yang selalu membawa kesesatan.

 

Ramuan spontan bentuk-bentuk doa

Di atas sudah dikemukakan bahwa dalam Gereja Katolik kita memiliki tiga macam bentuk doa, yaitu doa lisan, doa renung, dan doa batin. Sekalipun kurang berpikir tentang bentuk, rasa-rasanya saya sudah mengalami ketiganya.


1.     Doa lisan

Untuk doa lisan yang biasa saya ucapkan berasal dari buku Ibadat Harian, ucapan-ucapan dalam doa rosario (aku percaya, kemuliaan, terpujilah, Bapa kami, dan Salam Maria), dan Tata Perayaan Ekaristi. Sesudah berada di Domus Pacis Santo Petrus Kentungan saya ikut mengucapkan doa-doa permohonan dari umat. Ini adalah program Rm. Hartanta, direktur Domus Pacis, untuk membantu para rama tua yang mendapatkan tugas menjadi pendoa berdasarkan SK Keuskupan.

 

2.     Doa renung

Doa renung biasa terjadi secara rutin dalam menulis renungan dari bacaan Injil dari liturgi harian. Saya merenung dan menimbang-nimbang kutipan Injil. Tentu saja itu terjadi dalam nuansa doa yang terbalut dengan sering kali muncul kata-kata “Gusti ….. Gusti …..” dalam hati. Saya merasa-rasakan bacaan itu dan menemukan ayat yang menyentuh hati saya. Di situ saya menangkap pokok yang menyangkut hidup kongkret yang tersangkut dari ayat itu. Saya membayang-bayangkan pokok itu terjadi pada kebanyakan orang sejauh saya pikirkan berdasar realita masyarakat dan atau umat. Kemudian saya berusaha menemukan pesan apa yang ada di balik rumusan ayat dalam konteks kutipan yang saya hadapi. Dengan memperhadapkan kehidupan kongkret dan pesan Injil, yang saya sebut BISIK LUHUR, saya menemukan sikap iman macam apa yang seharusnya ada untuk ikut Tuhan Yesus Kristus dalam perkembangan situasi hidup dan budaya. Ketika menuliskannya saya juga kerap terhenti bertanya dalam hati “Apakah begini Tuhan?” atas rumusan yang saya peroleh.

Tetapi doa renung juga dapat terjadi dalam peristiwa biasa yang orang sering menyebut profan atau duniawi. Pada waktu nonton TV baik tayangan berita ataupun sinetron. Kalau ada yang menyentuh hati ternyata itu bisa menjadi omongan secara batin dengan Tuhan. Pada waktu di kamar mandi atau WC ketika mengalami kesegaran dan kelegaan, hal ini secara spontan juga dapat menjadi dialog singkat dengan Tuhan dalam hati. Ini juga terjadi dalam pengalaman harian lain. Banyak hal yang masuk dalam pikiran dan perasaan dan juga yang menjadi keinginan menjadi omongan dengan Tuhan sekalipun sesaat seperti pesan singkat SMS dalam hati. Saya yakin ini terjadi karena dalam diri saya terpateri kebiasaan kontak dengan yang ilahi secara spontan. Untuk saya ini terjadi dalam kebiasaan menyebut “Gusti ….. Gusti …..” di dalam hati.

 

3.     Doa batin

Dengan menengok kedalam Katekismus Gereja Katolik, saya tersentuh bahwa doa batin adalah doa yang paling sederhana (2713), puncak doa (2714), mendengarkan kata-kata ilahi (2716), berdiam diri (2717), persekutuan cinta kasih (2719). Dalam hal ini saya jadi merenung-renung. Apakah ini merupakan pengalaman batin yang terasa menghadirkan kedamaian khusus dalam hati ketika saya berdiam diri? Apakah ini kenikmatan khusus karena ingat ayat Kitab Suci atau kata-kata mulia dari sebuah buku atau dari omongan dengan seseorang? Apakah itu relasi batin dengan Tuhan yang tidak mempertimbangkan tata prosedur sopan-santun seperti dengan pejabat atau yang dituakan? Saya memang kadang mengalami semacam “nyes nikmat hati” di tengah-tengah omong dengan Tuhan. Saya secara individual memang merasakan hubungan dengan Tuhan seperti dengan orang-orang dekat yang memiliki saling kepedulian, sehingga kalau omong-omong menjadi spontan dengan bahasa Jawa ngoko (bukan halus tertata dengan pilihan kata untuk menjaga rasa). Barangkali karena saya bukan seorang kontemplantivus seperti para pertapa yang bisa mengalami peristiwa intim rohani itu dalam waktu lama. Saya dalam doa lisan kerap masuk jadi renung dan kemudian sesaat tertentu mengalami “rasa batin khusus”. Dalam pengalaman, kalau peristiwa batin itu saya nikmati tidak jarang membuat saya jadi tertidur. Hal ini juga terjadi ketika mengikuti misa sebagai umat. Ada yang bilang bahwa kalau itu terjadi itu berarti saya jatuh dalam sikap melantur. Katanya itu salah. Tetapi jujur saja karena pengalaman doa seperti itu saya mudah tertidur kapanpun dan dimanapun. Bahkan dengan pindah dari Puren ke Kentungan, saya tidak merasa terganggu dengan adanya perubahan situasi dan kondisi yang sebetulnya amat berbeda dengan sebelumnya.

Di dalam pengalaman saya, tiga bentuk doa itu tidak menjadi tiga hal yang terpisah sebagai acara sendiri-sendiri saling bergantian. Secara spontan memang bisa dimulai dengan model lisan. Tetapi dengan mudah sering tercampur, bahkan terjadi ketika yang lisan belum selesai, dengan terjadinya renungan. Renung itu memang bisa hanya sesaat dan kalau terumus ya hanya seperti kata-kata singkat SMS. Tetapi dalam doa pribadi renungan bisa datang sesudah yang lisan selesai atau ketika belum selesai. Hadirnya renungan menggantikan yang lisan. Namun bisa terjadi di tengah renungan terjadi omongan lisan dalam hati dengan “Gusti” atau kembali meneruskan doa lisan yang belum selesai. Adapun doa batin sering datang di tengah proses paduan doa lisan dan renung. Saya belum pernah mengalami kontemplasi atau doa batin tersendiri. Doa batin lama juga belum pernah terjadi karena biasa terjatuh dalam ketiduran.

Masih Mencari

Saya dibaptis sebagai warga Katolik pada Malam Paskah 25 Maret 1967 ketika berumur 16 tahun. Masuk Seminari Menengah Mertoyudan selepas SMA pada Januari 1970. Ditahbiskan sebagai imam pada hari Rabu 22 Januari 1981. Saya sudah 54 tahun baptisan Katolik, 51 tahun berada dalam lingkungan khusus bernuansa keagamaan, dan 40 tahun menjadi rohaniwan Katolik. Hingga Rabu 2 Juni 2021 saya sadar atau tidak sadar masih memandang doa sebagai kegiatan biasa. Di dalam deretan kegiatan-kegiatan Gereja itu hanya bagian dari bidang liturgi dan peribadatan. Apalagi doa pribadi adalah salah satu dari macam-macam-macam devosi dan sakramen. Masih ada bidang-bidang kegiatan Gereja lain, yaitu pewartaan, persekutuan dan organisasi, dan kemasyarakatan yang masing-masing memiliki macam-macam kegiatannya.

Tetapi pandangan itu seperti rontok ketika pada Rabu 2 Juni 2021 malam mendengar kata-kata Rm. Bismoko, salah satu staf Seminari Tinggi Kentungkan, bahwa rama lansia itu adalah saksi eskatologis bagi para seminaris. Memang, Rm. Bismoko pada Rabu 23 Juni 2021 malam bilang bahwa kata-kata itu muncul secara spontan. Tetapi bagi saya itu menjadi peringatan khusus bagi saya dan kaum lansia akan posisi khas sebagai bagian orang-orang yang berada dalam tahapan akhir dalam perjalanan hidup manusia di dunia fana. Di sini seorang lansia mendapatkan tantangan khusus bagaimana harus menjadi saksi hidup beriman berhadapan dengan datangnya saat khusus berjumpa face to face dengan Tuhan. Dalam hal ini segalanya tak bisa seperti kebiasaan atau model sebelum menjadi lansia. Kaum lansia juga harus menghayati hidup sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi hidupnya. Demikian pula dalam hal berdoa. Seorang lansia sudah bukan anak, bukan remaja, bukan orang muda, bukan dewasa belum lansia.

Sebagai petugas khusus menjadi pendoa, saya ternyata harus belajar lagi bagaimana harus berdoa. Saya hanya ingat Tuhan Yesus menghendaki para murid-Nya “harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu.” (Luk 18:1). Tetapi saya juga teringat kata-kata Santo Paulus “Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah ….” (Rom 8:26) Maka, di masa lansia ini, apalagi dengan tugas khusus sebagai pendoa, saya masih harus mencari bentuk atau bentuk-bentuk doa yang bisa menjadi sarana keterbukaan hati menjadi landasan Roh berdoa dalam diri saya. Saya yakin kalau mengikuti doa Roh Kudus, saya tak akan jemu-jemu berdoa dalam bentuk lisan atau renung. Bukankah ikut doa Roh Kudus itu adalah saat doa batin?

Kentungan, 25 Juni 2021

No comments:

Post a Comment

Peringatan Arwah Tiga Rama

Hajatan yang diselenggarakan di Domus Pacis memang sudah dimulai dan kemudian menjadi kebiasaan. Itu terjadi sejak masih berada di Puren Pri...