Ini terjadi ketika ada kunjungan kelompok umat di rumah tua tempat kami berada. Di dalam sambung rasa tanya-jawab, ada yang bertanya “Bagaimanakah sejarah rumah ini?”
Salah
seorang dari kami, yang paling lama tinggal di rumah ini bahkan sejak berdiri,
menceriterakan kondisi pada awal mula. Yang tinggal beberapa sosok yang sudah
renta. Kepengurusan masih dipegang oleh orang-orang yang memiliki kesibukan
tanggungjawab kerja sebagai rama. Secara praktis urusan rumah dipercayakan pada
salah satu tenaga yang setiap hari bekerja di rumah ini. Makanan diantar ke
kamar masing-masing. Nasi dan sayur berada di mangkuk kecil. Lauk juga terasa
kurang. Hubungan satu sama lain antara rama-rama tidak ada. Tentu saja hal ini
dapat dimaklumi karena kondisi fisik yang kalau belum renta tetapi berada dalam
kuasa penyakit tertentu. Semua berada di kamar masing-masing. Usaha perubahan
memang terjadi sesudah ada penghuni yang masih memiliki kesegaran fisik dan
pikiran. Perubahan yang paling mencolok adalah terjadinya kamar makan untuk
santap bersama. Perjumpaan makan dengan aneka omongan ternyata membuat hubungan
satu sama lain terjalin. Apapun dapat dibicarakan sehingga tahap demi tahap
terjadi perkembangan-perkembangan hingga saat ini. Kisah ini ditutup dengan
omongan “Dulu, setiap tahun selalu ada paling tidak satu meninggal dunia. Kini,
yang sejak awal memang menjadi penghuni rumah ini, belum ada yang meninggal
selama sembilan tahun. Saya sudah berumur lebih dari delapan puluh tahun.
Sebetulnya saya sudah siap mati. Tetapi sampai kini saya masih hidup. Saya
sering bertanya-tanya mengapa saya belum menyusul rama-rama generasi pertama
yang sudah menghadap Tuhan? Dalam hal ini yang tahu sebabnya adalah teman
serumah yang jadi pengurus”.
Ketika banyak orang dari pengunjung menanyakan kepada saya, karena sayalah pengurusnya, saya terdiam. Kemudian dengan serius saya berkata “Dia memiliki hal yang membuatnya berumur panjang. Barangkali yang ingin berusia panjang dapat memohonnya pada Tuhan”. “Apa itu?” tanya para tamu hampir bersamaan. Sekali lagi saya terdiam. Kemudian dengan berbisik, walau tetap menempelkan mulut di mikrofon dari soudsystem, saya berkata dalam suasana penuh ketakziman “Wis ditimbali Gusti bola bali ora krungu,merga budheg” (Tuhan sudah berkali-kali memanggil, tetapi dia tak mendengar karena tuli). Para tamu pengunjungpun tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba rama yang sedang saya omongkan berseru “Aku cèn budheg kok” (Aku memang tuli). Maka makin meledaklah tawa kesemuanya.
No comments:
Post a Comment