Sejak Kamis 20 Mei 2021 secara resmi saya
mendapatkan SK Keuskupan Agung Semarang menjadi “Pendoa” dan tinggal di Domus
Pacis Santo Petrus, Kentungan. Tampaknya penugasan seperti ini mirip dengan
para rama Yesuit yang tinggal di Emaus, Girisonta, rumah tua para biarawan
Serikat Yesus. Barangkali untuk kaum beragama yang berusia lanjut doa dipandang
sebagai kegiatan utama. Ketika saya masih di Domus Pacis Puren, Pringwulung,
saya biasa memandu kegiatan Novena setiap Minggu Pertama dari Maret hingga
November sejak tahun 2013. Pada tahun 2020 hanya terlaksana satu kali pada
bulan Maret dan kemudian berhenti karena pandemi Covid-19 yang lama belum
berhenti. Di dalam Novena selalu dimulai dengan seminar dua jam dengan
topik-topik yang berkaitan dengan dunia kehidupan kaum lansia. Bila tema-tema
berkaitan dengan hidup keagamaan, doa berdoa tampaknya selalu menjadi bagian
kehidupan lansia.
Mencari Bentuk Sebagai Pendoa
Tugas yang diberikan oleh Keuskupan hanya
dinyatakan menjadi pendoa untuk Keuskupan Agung Semarang. Sebagaimana
penugasan-penugasan lain yang pernah saya terima, Uskup tidak pernah
menjabarkan hal-hal yang harus saya kerjakan untuk tugas yang diberikan. Surat
Keputusan penugasan tidak pernah mencantumkan job description. Bagi saya
ini adalah bentuk kepercayaan yang menghadirkan peluang kebebasan berinisiatif
dan berkreasi demi pengembangan pelayanan Gereja. Tetapi dalam hal menjadi
petugas khusus sebagai pendoa, hal ini bagi saya ternyata cukup menghadirkan
rasa bertanya-tanya. Apakah saya hanya akan menjalani doa-doa wajib imamat? Apakah
saya harus menjalani doa-doa yang populer menjadi tradisi umat Katolik seperti
rosario, novena, dan yang ada dalam teks-teks yang beredar di kalangan warga
Katolik? Apakah saya harus mencipta doa-doa baru?
Saya pernah membuat status dalam WA dan FB
yang berisi tawaran untuk umat yang menginginkan bantuan doa. Yang berminat
hanya saya minta untuk mengirimkan nama dan tempat asalnya serta ujub yang
ingin didukung dengan doa. Tetapi, sekalipun dalam FB ada banyak “like”, saya
hanya menerima satu permintaan yang berasal dari warga Katolik Kalimantan.
Memang, dari orang-orang yang sudah mengenal saya bila berhadapan dengan
masalah, seperti anggota keluarga sakit atau ada yang wafat, saya menerima
pesan WA minta didoakan. Apakah saya harus gencar menawarkan diri untuk
menerima permintaan doa? Apakah saya harus memaklumkan diri kepada umat lewat
jaringan medsos tentang tugas khusus saya sebagai pendoa?
Pada suatu hari ketika saya berbicara
dengan Rm. Suntara tentang mendoakan arwah menjadi ujub misa, beliau berkata “Aku
ya mesthi nyembahyangke arwah-arwah. Ning ora kudu nganggo misa. Sepuloh Sembah
Bekti ya isa” (Saya juga mendoakan arwah-arwah. Tetapi tidak harus pakai
misa. Sepuluh doa Salam Maria juga bisa). Ketika mendengar kata-kata itu, saya teringat
Rm. Hartanta yang mengagumi salah satu hal dalam diri Rm. Suntara. Rm.
Hartanta, direktur Domus Pacis, amat terkesan pada Rm. Suntara. Beliau kerap
melihat Rm. Suntara di depan pintu kamarnya duduk di kursi roda dengan mata
terpejam dan kepala mendongak ke atas. Sementara itu kedua tangan tertumpang di
pangkuan dengan telapak tangan terbuka. Rm. Hartanta dan saya mengakui bahwa
Rm. Suntara adalah sosok yang tekun berdoa. Dalam hati saya mengatakan bahwa
beliau adalah pendoa alami. Terhadap pengalaman ini saya berpikir apakah tidak
sebaiknya saya juga mengembangkan diri seperti model Rm. Suntara.
Kata Gereja
Dari khasanah yang ada dalam Gereja, saya
berusaha menemukan yang datang dari Tuhan Yesus Kristus sejauh diwartakan di
dalam Injil. Kemudian saya mencari bentuk-bentuk doa yang diajarkan oleh
Gereja.
Doa Bapa Kami
Kalau omong tentang kehidupan Gereja dalam
hal doa mendoa, banyak umat memahami bahwa Perayaan Ekaristi menjadi yang
paling agung. Yang bagi saya kerap menyentuh hati adalah dari seluruh doa dan
tatanan upacaranya hanya satu saja yang dikatakan berasal dari Tuhan Yesus
Kristus. Itu adalah doa Bapa Kami yang diucapkan ketika memulai bagian Komuni.
Bahwa itu dari Tuhan Yesus Gereja mengantar doa ini dengan kata-kata “Atas
petunjuk Penyelamat kita dan menurut ajaran ilahi, maka beranilah kita berdoa”.
Di dalam Injil doa Bapa Kami dapat diketemukan dalam Mat 6:-13 dan Luk 11:2-4.
Tetapi yang biasa diucapkan oleh umat Katolik adalah yang berasal dari Injil
Matius. Dan rumusan kini adalah sebagai berikut :
Bapa kami yang ada di Surga,
dimuliakanlah nama-Mu,
datanglah Kerajaan-Mu,
jadilah kehendak-Mu di atas bumu seperti di dalam surga.
Berilah kami rezeki pada hari ini
dan ampunilah kesalahan kami,
seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami
dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan,
tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.
Gereja juga mengatakan doa itu sebagai
“doa Tuhan”, karena langsung diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Katekismus
Gereja Katolik mengatakan:
Doa yang berasal dari
Yesus ini benar-benar merupakan doa istimewa: ia berasal "dari
Tuhan". Pada satu pihak, Putera tunggal memberi kepada kita dalam
kata-kata doa ini kata-kata, yang Bapa berikan kepada-Nya: Ia adalah guru doa
kita. Pada lain pihak, Ia sebagai Sabda yang telah menjadi manusia mengetahui
dalam hati manusia-Nya kebutuhan-kebutuhan saudara dan saudari-Nya dan
menyatakannya kepada kita: Ia adalah contoh bagi doa kita. (2765)
Dengan doa itu kita berani menyebut Allah sebagai Bapa, karena dalam
Kristus kita menerima Roh yang menjadikan kita anak Allah. Dalam Roh kitu kita
berseru “ya Abba, ya Bapa” (Rom 8:15). Dalam doa Tuhan kita mengucapkan kata
“Bapa kami” yang menyatakan bahwa masing-masing pengikut Tuhan Yesus adalah
bagian umat Allah. Kita menyingkirkan individualisme dan segala perpecahan.
Kalau disebut “yang ada di Surga”, itu bukan berarti ada di tempat lain di
dalam kenisah-Nya yang diagungkan dalam kehidupan kita, yaitu dalam diri
manusia, karena sejatinya setiap orang adalah “bait Allah” (1Kor 3:16).
Dengan bimbingan Roh Kudus kita bisa mengajukan tujuh permohonan. Secara
singkat dari Katekismus kita mendapat penjelasan berikut (lihat no2803-2805) :
·
Ketiga permohonan pertama membawa kita menuju Allah demi dirinya
sendiri. Permohonan-permohonan itu adalah “Dimuliakanlah nama-Mu”, “Datanglah
kerajaan-Mu”, dan “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga”.
·
Empat permohonan lain menyangkut harapan kita untuk menarik kemurahan
dan kerahiman Bapa. Permohonan keempat dan kelima berkaitan dengan hidup yang
harus dikuatkan dengan makanan dan dipulihkan dari dosa. Sedang permohonan
keenam dan ketujuh berhubungan dan perjuangan untuk meraih kemenangan iman.
Bentuk-bentuk doa
Penghayatan hidup rohani bagi pengikut
Tuhan Yesus erat berkaitan dengan perjuangan doa. Ada keyakinan bahwa dalam doa
kita “Melawan kita sendiri dan melawan tipu muslihat
penggoda yang melakukan segala-galanya untuk mencegah manusia dari doa, dari
persatuan dengan Allah.” (KGK 2725). Kita memang harus menyangkal diri sebagai jalan ikut Tuhan
Yesus. Dan kini sebagai orang yang mendapatkan tugas khusus sebagai pendoa,
saya berusaha menemukan bentuk doa sebagai sarana pelaksanaan tugas. Dari Kateksimus
Gereja Katolik 2700-2719 saya menemukan bentuk-bentuk doa menurut Gereja
Katolik. Ada tiga macam bentuk :
- Doa lisan. Ini adalah doa rakyat dalam arti yang sudah berjalan
di antara umat. Bentuknya adalah terjadinya hati hadir di depan kata-kata yang
diucapkan. Dalam hal ini yang terpenting adalah hati yang hadir di hadapan
Allah. “Doa lisan merupakan unsur hakiki dalam kehidupan Kristen” (2701). Doa
lisan membantu kita berdoa dengan seluruh hati agar memberikan kekuatan pada
segala yang kita sampaikan.
- Doa renung. Ini juga kerap disebut meditasi. Dengan merenung
kita berupaya menemukan makna dari sarana-sarana kehidupan beriman. “Biasanya kita mencari bantuan pada sebuah buku. Tradisi Kristen memberi
satu pilihan yang sangat luas: Kitab Suci, terutama Injil, ikon, teks-teks
liturgis untuk hari bersangkutan, tulisan-tulisan dari bapa-bapa rohani, …..” (2705). Selain itu juga disebut “kepustakaan
rohani, buku besar yakni ciptaan dan sejarah, terutama halaman yang dibuka pada
"hari ini".” (idem). Ternyata segala ciptaan dan sejarah pengalaman, baik pribadi
maupun kebersamaan termasuk Gereja dan bangsa, termasuk peristiwa kini
dinyatakan sebagai kepustakaan rohani. Satu hal yang harus dicatat adalah
adanya aneka ragam metode meditasi. Tetapi yang pokok sebuah metode adalah
sarana yang menuntun untuk bersama Roh Kudus menuju Kristus sebagai
satu-satunya pengantara doa.
- Doa batin. Dalam doa batin kita juga masih bisa merenung tetapi
pandangan sudah terarah pada Allah. Ini adalah relasi pribadi yang membuat
suasana perjumpaan dalam suasana sederhana. Dalam doa batin ada hubungan
seperti glenikan (omong-omong intim dengan Tuhan) dalam nuansa kasih.
Ada keterbukaan blak-blakan apapun yang dirasakan, dipikirkan dan dikehendaki.
Tetapi juga ada perasaan diterima dengan kasih. “Doa batin ialah persekutuan
kasih.” (2719)
Kemungkinan-kemungkinan Pelaksanaan
Dengan sedikit mempelajari yang dikatakan
oleh Gereja, saya berusaha mendapatkan kemungkinan-kemungkinan untuk menjalani
tugas khusus sebagai pendoa. Ini saya rasa-rasakan, saya pikir-pikir, dan juga
saya bawa dalam hening doa. Terus terang, saya belum mendapatkan pola dan
bentuk kongkret untuk mengisi tugas khusus ini. Sembari tetap menjalani hal
yang sudah biasa terjadi selama di rumah tua Domus Pacis Puren, saya mencoba
mereka-reka kemungkinan pelaksanaan tugas khusus sebagai pendoa.
Polanya “Bapa Kami”
Dengan kata “Bapa” dan “kami” saya
disadarkan bahwa doa seorang Kristiani adalah buah dari karya Roh Kudus yang
membuat orang menjadi bagian umat Allah. Yang berdoa sebenarnya Roh Kudus
karena “Roh membantu kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus
berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan
keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” (Rom 8:26) Dengan demikian landasan doa
adalah penyerahan dan keterbukaan hati pada tuntunan ilahi. Dan dalam Roh kita
akan mengalami masing-masing mendapat karunia untuk kepentingan bersama (1Kor
12:7). Sekalipun memiliki kekhasan masing-masing, semua akan menjadi bagian satu
tubuh (1Kor 12:12). Saya membayangkan bahwa saya harus
menjaga hubungan mesra personal dengan Allah dan membiarkan pikiran, perasaan,
dan kehendak diwarnai oleh kaitan dengan siapapun yang masuk dalam ingatan dan
hati. Saya akan makin membiasakan diri menyebut “Gusti .... Gusti .....”
dalam hati dan mengomongkan dalam hati apapun yang saya pikir atau saya
rasakan. Dalam omongan saya berbahasa Jawa spontan seperti glenikan
(omong-omong intim) dengan teman dekat. Dan di sini saya boleh mengalami Allah
dalam hati sehingga sungguh-sungguh merasakan kata-kata pertama “Bapa kami yang
ada di sorga).
Dengan
pola doa Bapa Kami ada tujuh permohonan. Hal ini akan menjadi pokok-pokok isi
dari doa-doa.
- Hati terarah
kepada Allah
Dengan
mengucapkan “dimuliakanlah nama-Mu” kita mohon bisa tenggelam dalam misteri
ke-Allah-an-Nya dan dalam karya keselamatan bagi umat manusia (KGK 2807).
Kemudian kita mohon “datanglah kerajaan-Mu” sehingga dosa tidak memiliki kuasa
dalam hidup kita dan kita ada dalam bimbingan Roh Kudus (2819). Kita juga
mengarahkan diri pada kehendak Allah yang menetapkan Kristus sebagai Kepala
segala sesuatu. Dengan doa terus menerus kita mohon kehendak itu dapat
terlaksana di bumi sehingga tercipta damai sejahtera di tengah dunia (2823).
Kesejatian doa
memang mengarahkan hati orang kepada Allah sehingga memuliakan dan
mengandalkan-Nya dengan pengantaraan Kristus. Dalam hal ini saya merasa
bersyukur karena saya mendapatkan bantuan kebiasaan individual. Dalam saat
hening kalau tak ada omongan dengan Tuhan saya menyebut-Nya dengan kata “Gusti
….. Gusti …..” berkai-kali dalam hati. Selain itu dalam keadaan sibuk
seperti menulis, membaca, nonton TV, bahkan berada di kamar mandi dan WC saya kerap
mengomongkan yang terpikir atau terasa atau teringini secara spontan secara
singkat bagaikan SMS kepada-Nya dalam hati. Barangkali ini menjadi kerangka
jiwani yang dalam diri saya dan amat membantu saya mengarahkan hati kepada
Allah.
2.
Di tengah kehidupan kongkret
Di dalam
kehidupan kongkret kita membutuhkan makanan dan hal jasmaniah lain. Dalam pola
doa Bapa Kami ini kita mohon dengan perkataan “Berilah kami rejeki pada hari
ini”. Kita mohon untuk kepentingan manusia pada umumnya sehingga ada harapan
diperhatikannya kaum miskin dan terlantar. Ungkapan “hari ini” adalah hari-Nya
Tuhan, yaitu berkaitan dengan kebangkitan Kristus. Ekaristi menjadi landasan
jiwani untuk menghayati kesejatian kehidupan duniawi yang selalu bersifat
sosial.
Kehidupan
kongkret bagaimanapun juga selalu terlanda dosa dan kesalahan. Tetapi di dalam
Bapa ada kerahiman pengampunan yang tanpa batas. Anak bungsu, yang sudah
hancur-hancuran menghambur-hamburkan harta dan berfoya-foya abai moral, tetap
ditunggu oleh Allah yang Mahapengampun (Luk 15:11-32). Di sini orang beriman
akan selalu sadar untuk terbuka mohon pengampunan dengan kata-kata “Ampunilah
kesalahan kami”. Tetapi kata-kata itu masih diteruskan dengan “seperti kamipun
mengampuni yang bersalah kepada kami”. Ini berarti bahwa dalam Allah kita
menghayati harapan diampuni dan mengampuni antar sesama umat-Nya. Doa ini
menjadi dorongan untuk mengembangkan kebersamaan sebagai kesatuan para
pengampun.
Dalam
permohonan keenam kita berdoa “Dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan”.
Dengan doa Bapa Kami kita diingatkan bahwa dalam kehidupan kongkret kita selalu
berhadapan dengan dorongan nafsu jahat dan panggilan berada dalam Tuhan, antara
kekuatan setan dan daya Roh Kudus. “Demikianlah permohonan Bapa Kami ini memohon
roh pembedaan dan kekuatan.” (KGK 2846)
Berhadapan
dengan dua kekuatan itu kita memohon “tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.”
Dengan permohonan ini kita sadar bahwa ada kekuatan jahat yang namanya setan.
Dalam Katekismus dikatakan bahwa “kita berasal dari Allah, tetapi seluruh dunia
berada di bawah kuasa si jahat” (2852). Di sini kita dalam kesatuan dengan
Gereja memohon agar tetap berada dalam Allah sehingga tidak takut akan setan
yang selalu membawa kesesatan.
Ramuan spontan bentuk-bentuk doa
Di atas sudah dikemukakan bahwa dalam
Gereja Katolik kita memiliki tiga macam bentuk doa, yaitu doa lisan, doa
renung, dan doa batin. Sekalipun kurang berpikir tentang bentuk, rasa-rasanya
saya sudah mengalami ketiganya.
1. Doa lisan
Untuk doa lisan yang biasa saya ucapkan berasal dari buku Ibadat Harian,
ucapan-ucapan dalam doa rosario (aku percaya, kemuliaan, terpujilah, Bapa kami,
dan Salam Maria), dan Tata Perayaan Ekaristi. Sesudah berada di Domus Pacis
Santo Petrus Kentungan saya ikut mengucapkan doa-doa permohonan dari umat. Ini
adalah program Rm. Hartanta, direktur Domus Pacis, untuk membantu para rama tua
yang mendapatkan tugas menjadi pendoa berdasarkan SK Keuskupan.
2. Doa renung
Doa renung biasa terjadi secara rutin dalam menulis renungan dari bacaan
Injil dari liturgi harian. Saya merenung dan menimbang-nimbang kutipan Injil.
Tentu saja itu terjadi dalam nuansa doa yang terbalut dengan sering kali muncul
kata-kata “Gusti ….. Gusti …..” dalam hati. Saya merasa-rasakan bacaan
itu dan menemukan ayat yang menyentuh hati saya. Di situ saya menangkap pokok
yang menyangkut hidup kongkret yang tersangkut dari ayat itu. Saya
membayang-bayangkan pokok itu terjadi pada kebanyakan orang sejauh saya
pikirkan berdasar realita masyarakat dan atau umat. Kemudian saya berusaha
menemukan pesan apa yang ada di balik rumusan ayat dalam konteks kutipan yang
saya hadapi. Dengan memperhadapkan kehidupan kongkret dan pesan Injil, yang
saya sebut BISIK LUHUR, saya menemukan sikap iman macam apa yang seharusnya ada
untuk ikut Tuhan Yesus Kristus dalam perkembangan situasi hidup dan budaya. Ketika
menuliskannya saya juga kerap terhenti bertanya dalam hati “Apakah begini
Tuhan?” atas rumusan yang saya peroleh.
Tetapi doa renung juga dapat terjadi dalam peristiwa biasa yang orang
sering menyebut profan atau duniawi. Pada waktu nonton TV baik tayangan berita
ataupun sinetron. Kalau ada yang menyentuh hati ternyata itu bisa menjadi
omongan secara batin dengan Tuhan. Pada waktu di kamar mandi atau WC ketika
mengalami kesegaran dan kelegaan, hal ini secara spontan juga dapat menjadi
dialog singkat dengan Tuhan dalam hati. Ini juga terjadi dalam pengalaman
harian lain. Banyak hal yang masuk dalam pikiran dan perasaan dan juga yang
menjadi keinginan menjadi omongan dengan Tuhan sekalipun sesaat seperti pesan
singkat SMS dalam hati. Saya yakin ini terjadi karena dalam diri saya terpateri
kebiasaan kontak dengan yang ilahi secara spontan. Untuk saya ini terjadi dalam
kebiasaan menyebut “Gusti ….. Gusti …..” di dalam hati.
3. Doa batin
Dengan menengok kedalam Katekismus Gereja Katolik, saya tersentuh
bahwa doa batin adalah doa yang paling sederhana (2713), puncak doa (2714),
mendengarkan kata-kata ilahi (2716), berdiam diri (2717), persekutuan cinta
kasih (2719). Dalam hal ini saya jadi merenung-renung. Apakah ini merupakan
pengalaman batin yang terasa menghadirkan kedamaian khusus dalam hati ketika
saya berdiam diri? Apakah ini kenikmatan khusus karena ingat ayat Kitab Suci
atau kata-kata mulia dari sebuah buku atau dari omongan dengan seseorang?
Apakah itu relasi batin dengan Tuhan yang tidak mempertimbangkan tata prosedur
sopan-santun seperti dengan pejabat atau yang dituakan? Saya memang kadang
mengalami semacam “nyes nikmat hati” di tengah-tengah omong dengan
Tuhan. Saya secara individual memang merasakan hubungan dengan Tuhan seperti
dengan orang-orang dekat yang memiliki saling kepedulian, sehingga kalau
omong-omong menjadi spontan dengan bahasa Jawa ngoko (bukan halus
tertata dengan pilihan kata untuk menjaga rasa). Barangkali karena saya bukan
seorang kontemplantivus seperti para pertapa yang bisa mengalami peristiwa
intim rohani itu dalam waktu lama. Saya dalam doa lisan kerap masuk jadi renung
dan kemudian sesaat tertentu mengalami “rasa batin khusus”. Dalam pengalaman,
kalau peristiwa batin itu saya nikmati tidak jarang membuat saya jadi tertidur.
Hal ini juga terjadi ketika mengikuti misa sebagai umat. Ada yang bilang bahwa
kalau itu terjadi itu berarti saya jatuh dalam sikap melantur. Katanya itu
salah. Tetapi jujur saja karena pengalaman doa seperti itu saya mudah tertidur
kapanpun dan dimanapun. Bahkan dengan pindah dari Puren ke Kentungan, saya
tidak merasa terganggu dengan adanya perubahan situasi dan kondisi yang
sebetulnya amat berbeda dengan sebelumnya.
Di dalam pengalaman saya, tiga bentuk doa
itu tidak menjadi tiga hal yang terpisah sebagai acara sendiri-sendiri saling
bergantian. Secara spontan memang bisa dimulai dengan model lisan. Tetapi
dengan mudah sering tercampur, bahkan terjadi ketika yang lisan belum selesai,
dengan terjadinya renungan. Renung itu memang bisa hanya sesaat dan kalau
terumus ya hanya seperti kata-kata singkat SMS. Tetapi dalam doa pribadi
renungan bisa datang sesudah yang lisan selesai atau ketika belum selesai.
Hadirnya renungan menggantikan yang lisan. Namun bisa terjadi di tengah
renungan terjadi omongan lisan dalam hati dengan “Gusti” atau kembali
meneruskan doa lisan yang belum selesai. Adapun doa batin sering datang di
tengah proses paduan doa lisan dan renung. Saya belum pernah mengalami
kontemplasi atau doa batin tersendiri. Doa batin lama juga belum pernah terjadi
karena biasa terjatuh dalam ketiduran.
Masih Mencari
Saya dibaptis sebagai warga Katolik pada
Malam Paskah 25 Maret 1967 ketika berumur 16 tahun. Masuk Seminari Menengah
Mertoyudan selepas SMA pada Januari 1970. Ditahbiskan sebagai imam pada hari
Rabu 22 Januari 1981. Saya sudah 54 tahun baptisan Katolik, 51 tahun berada
dalam lingkungan khusus bernuansa keagamaan, dan 40 tahun menjadi rohaniwan
Katolik. Hingga Rabu 2 Juni 2021 saya sadar atau tidak sadar masih memandang
doa sebagai kegiatan biasa. Di dalam deretan kegiatan-kegiatan Gereja itu hanya
bagian dari bidang liturgi dan peribadatan. Apalagi doa pribadi adalah salah
satu dari macam-macam-macam devosi dan sakramen. Masih ada bidang-bidang
kegiatan Gereja lain, yaitu pewartaan, persekutuan dan organisasi, dan
kemasyarakatan yang masing-masing memiliki macam-macam kegiatannya.
Tetapi pandangan itu seperti rontok ketika
pada Rabu 2 Juni 2021 malam mendengar kata-kata Rm. Bismoko, salah satu staf
Seminari Tinggi Kentungkan, bahwa rama lansia itu adalah saksi eskatologis bagi
para seminaris. Memang, Rm. Bismoko pada Rabu 23 Juni 2021 malam bilang bahwa
kata-kata itu muncul secara spontan. Tetapi bagi saya itu menjadi peringatan
khusus bagi saya dan kaum lansia akan posisi khas sebagai bagian orang-orang
yang berada dalam tahapan akhir dalam perjalanan hidup manusia di dunia fana.
Di sini seorang lansia mendapatkan tantangan khusus bagaimana harus menjadi
saksi hidup beriman berhadapan dengan datangnya saat khusus berjumpa face to
face dengan Tuhan. Dalam hal ini segalanya tak bisa seperti kebiasaan atau
model sebelum menjadi lansia. Kaum lansia juga harus menghayati hidup sesuai
dengan perkembangan situasi dan kondisi hidupnya. Demikian pula dalam hal
berdoa. Seorang lansia sudah bukan anak, bukan remaja, bukan orang muda, bukan
dewasa belum lansia.
Sebagai petugas khusus menjadi pendoa,
saya ternyata harus belajar lagi bagaimana harus berdoa. Saya hanya ingat Tuhan
Yesus menghendaki para murid-Nya “harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu.”
(Luk 18:1). Tetapi saya juga teringat kata-kata Santo Paulus “Roh membantu kita
dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa;
tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah ….” (Rom 8:26) Maka, di masa
lansia ini, apalagi dengan tugas khusus sebagai pendoa, saya masih harus
mencari bentuk atau bentuk-bentuk doa yang bisa menjadi sarana keterbukaan hati
menjadi landasan Roh berdoa dalam diri saya. Saya yakin kalau mengikuti doa Roh
Kudus, saya tak akan jemu-jemu berdoa dalam bentuk lisan atau renung. Bukankah
ikut doa Roh Kudus itu adalah saat doa batin?
Kentungan, 25
Juni 2021