Tuesday, November 9, 2021

Ikhtisar Singkat Sejarah Hidup Membiara

 diambil dari https://yesayasinggihocarm.wordpress.com/2014/02/05; ilustrasi dari koleksi Blog Domus

Perjalanan Yang Tak Ada Habisnya:
Hidup Membiara dari Abad ke Abad

(Sebuah Ikhtisar Singkat)

Sejak zamannya para Rasul telah terdapat dalam jemaat-jemaat Kristen putri-putri dan janda-janda yang mengikuti nasihat St. Paulus seperti tercantum dalam 1 Kor 7: agar mereka yang belum kawin tetap dalam keadaan itu “mengingat waktu darurat……… singkat”. Keperawanan menurut pengertian St. Paulus jelas mempunyai arti eskatologis menunjukkan ke dunia baru yang akan datang.

Dalam Kisah Para Rasul 21:9 diceritakan, bagaimana Filipus, seorang guru agama di Kaisarea, mempunyai empat orang putri yang tidak kawin dan yang memperoleh karunia untuk bernubuat. Di sini kita lihat, bahwa keperawanan dikaitkan dengan suatu fungsi pelayanan dalam jemaat.

Waktu perayaan ekaristi para perawan bersama dengan para janda menduduki tempat tertentu di dalam gereja dan diperlakukan dengan kehormatan tersendiri. St. Ignatius dari Antiochia dalam suratnya kepada jemaat di Smirna juga menyebut para perawan secara istimewa (sekitar tahun 110). Demikian juga beberapa tahun kemudian St. Polycarpus dalam suratnya kepada umat di Filipi memuji para perawan yang hidup tanpa cela, suci dan murni. Dan dari surat Hermas kita tahu, bahwa di kota Roma pun terdapat perawan-perawan suci.

Para perawan itu sungguh merupakan kebanggaan umat setempat. Mengapa? Secara populer dapat dikatakan, bahwa mereka di tengah-tengah kebejadan dunia kafir memperlihatkan cita-cita Injil, kejayaan Kristus yang memberi kekuatan kepada manusia yang lemah. Yang tidak mungkin menurut pandangan dunia dan daging (hidup murni) dibuktikan kemungkinannya oleh para perawan yang hidup tanpa kawin. Salah satu bukti mengenai kebenaran agama Kristen yang diajukan oleh Yustinus (abad ke-II) ialah adanya perawan-perawan suci yang demi Kristus dan kerajaan-Nya mengatasi nafsu-nafsu jasmani. Mereka menjalankan suatu martirium (kesaksian) terus menerus, tidak dengan mencurahkan darahnya melainkan dengan mengorbankan dan mempersembahkan hidupnya. Dan menurut Origenes dalam pawai kemenangan di surga para perawanlah yang paling dekat mengikuti para martir. Dan teladan mereka mengilhami para imam agar juga hidup dalam selibat.

Tentu saja, kehormatan dan tempat terkemuka yang diberikan oleh Gereja Purba kepada para perawan mengandung bahaya-bahaya pula. Ingat, bahwa mereka masih hidup di tengah-tengah keluarga mereka. Sering mereka diundang ke perjamuan-perjamuan, disanjung-sanjung. Tetapi Tertullianus dengan gaya bahasanya yang tajam memperingatkan mereka akan tugas kewajiban mereka, supaya hidup secara sederhana, jangan suka mengunjungi pesta-pesta, dan kalau mereka ke luar rumah, supaya selalu memakai kerudung. Beberapa tahun kemudian St. Cyprianus menulis beberapa pedoman bagi para perawan, khusus mengenai sikap lahiriah mereka. Uskup agung Karthago (di Afrika Utara) berpendapat, bahwa kemurnian batin harus bersinar pula dari kelakuan lahiriah. Janganlah seorang perawan berlagak seperti seorang gadis yang ingin menarik perhatian dari para pemuda.

Hidup mereka harus menyerupai para malaikat, tetapi itu hanya mungkin bila mereka bertekun dalam doa dan tapa-brata. Sejak abad II kita jumpai keterangan-keterangan, bahwa para perawan tiap malam Minggu turut bertirakat di gereja, dan selain itu juga berdoa pada jam 9:00, 12:00 dan 15:00. Inilah permulaan doa brevir atau Ibadat Harian.

Hidup membiara pada abad IV dan V

Seperti telah dicatat di atas tadi, maka para perawan suci tidak hidup dalam biara-biara, melainkan di tengah-tengah keluarga mereka. Pada abad yang ke-IV kita lihat terjadinya suatu perubahan. Dan titik pangkal dari perubahan tersebut ialah tahun 313, waktu Gereja dapat ke luar dari tempat persembunyiannya, oleh kaisar Konstantinus diberi kebebasan beragama dan beribadat. Gereja tidak dikejar-kejar lagi, melainkan justru dimanjakan. Kalau sebelumnya masuk agama Kristen berarti, bahwa seorang juga sanggup memberi kesaksian dengan darah dan nyawanya, kemudian masuk agama Kristen berarti terbukalah kesempatan diberi pangkat-pangkat dan jabatan-jabatan yang terhormat. Ada bahaya, bahwa Gereja akan menjadi “arrivée”, “established”, mempunyai “vested interest” dan juga akan terhanyut oleh kebobrokan negara Roma yang sudah hampir tamat riwayat hidupnya.

Sebetulnya sebelum tahun 313 sudah mulai terjadi, bahwa orang-orang ke luar dari kota-kota ramai, mengungsi ke padang gurun. Alasannya macam-macam. Antara lain untuk menghindarkan diri dari pengejaran kaisar Diocletianus, untuk melarikan diri dari sistem pajak yang makin berat, dan untuk menjauhkan diri dari dunia yang makin bejat. Tetapi sesudah tahun 313 gerakan ini menyerupai semacam exodus sungguh-sungguh. Berduyun-duyunlah orang-orang pria, muda dan dewasa, ke padang gurun, khusus di tanah Mesir. Dan kini gerakan tersebut merupakan suatu protes dan suatu pernyataan. Protes terhadap keadaan Gereja yang makin berangkulan dengan penguasa dunia, dan pernyataan yang mencanangkan cita-cita Injil. Untuk sebagian dapat juga terasa alasan-alasan nasionalis, yang ingin memberikan wujud pribumi kepada cita-cita Injil yang di kota-kota besar terpengaruh oleh kebudayaan Hellenisme (Yunani) dan filsafat Yunani.

Terhadap kompromi dengan fasilitas-fasilitas duniawi para tapa ini ingin menegakkan radikalisme lnjil. “Barangsiapa tidak membenci ayah dan ibunya, tak pantas disebut muridKu …. Barangsiapa tidak menjual segala harta bendanya dan memanggul salibnya, tidak dapat menjadi murid-Ku….”. Dan radikalisme ini mereka jalankan dengan semacam fanatisme. Mereka seolah-olah berlomba-lomba dalam praktek-praktek tapa-brata dan asketisme yang fanatik, menyiksa badannya sendiri dengan kebencian yang sungguh bukan kristiani. Maklumlah, bahwa para tapa itu untuk sebagian besar terdiri dari kaum awam yang sedikit banyak anti-klerikal, tidak suka dibimbing oleh para uskup dan imam. Lagi pula, mereka sangat individualistis, keras kepala, hanya percaya pada pendapatnya sendiri. Maka dari itu mereka lehih suka hidup sendirian, jauh dari teman-teman, jauh juga dari gereja-gereja dan ibadat umat beriman. Dapat dibayangkan, bahwa dalam keadaan serupa itu mereka dengan mudah sekali terpengaruh oleh teori-teori dari Parsi, dari seorang guru yang bernama Mani, yang mengajarkan, bahwa badan, materi itu jahat, demikian pula hidup perkawinan.

Hidup bertapa di padang gurun menjadi populer oleh riwayat hidup Santo Antonius yang oleh St. Athanasius diperkenalkan di Eropa Barat waktu beliau dibuang oleh kaisar karena tetap setia kepada ajaran Konsili Nicea. Terjadi semacam turisme ke padang gurun, orang-orang ingin melihat para tapa itu yang rupanya berlomba-lomba mencapai prestasi yang paling menyolok dalam menyiksa badan, Santo Hironimus dengan suatu rombongan ibu-ibu janda dari Roma pindah ke Palestina dan mendirikan suatu biara bagi mereka

Di Mesir para tapa hidup dalam semacam koloni yang dapat menampung 600 sampai 5000 orang. Hanya untuk berdoa bersama mereka berkumpul, tetapi selain itu mereka bebas untuk mengatur hidup mereka sendiri. Yang pertama-tama mulai mendisiplinkan hidup bertapa ini ialah St. Pachomeus seorang bekas perwira. Para tapa harus hidup bersama dalam satu rumah, walaupun masing-masing mendiami biliknya sendiri. Mereka hidup dari hasil pekerjaan tangan yang mereka jual ke pasar di kota. Selain itu mereka taat kepada pemimpinnya, dan hanya dapat diterima dalam biara itu setelah menjalankan masa percobaan yang cukup lama. Dengan demikian kita melihat perkembangan beberapa unsur dalam hidup membiara yang kemudian menjadi ciri umum dari hidup itu, ialah kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan, ditambah dengan novisiat.

Yang memberikan dasar ajaran rohani yang sehat kepada para tapa itu ialah St. Basilius (330-379). Bersama dengan kedua sahahat karibnya St. Gregorius dari Nazianze dan St. Gregorius dari Nyssa ia membela ajaran Nicea mengenai Trinitas Mahakudus. Bukan rekor dalam menyiksa badan harus merupakan cita-cita seorang biarawan, melainkan cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia. Tapa-brata bukan suatu tujuan tersendiri, melainkan alat atau jalan untuk mencapai cinta kasih yang murni. Individualisme para tapa dulu diaturnya menurut sebuah pedoman hidup atau Regula. Pertapaan-pertapaan hendaklah tidak terlalu jauh dari kota-kota. Hidup bersama (vita communis) akan merupakan ciri khas dari mereka yang mengejar kesempumaan. Kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan soko-soko guru dari cara hidup bersama itu. Setiap pertapaan akan mencari nafkahnya sendiri dengan bercocok tanah dan kerajinan tangan yang hasilnya dijual di kota. Setiap pertapaan dipimpin oleh seorang kepala yang didampingi oleh beberapa pembantu. Mereka antara lain akan membantu kaum fakir miskin di daerah itu, dan mengajar anak-anak mereka di sekolah-sekolah yang dibuka oleh pertapaan. Dengan demikian pengabdian kepada sesama merupakan salah satu ciri lain dari hidup dalam pertapaan.

Santo Basilius tidak menggelorakan fantasi kaum beriman seperti Athanasius yang menyebarkan riwayat hidup St. Antonius, tetapi usahanya lebih awet dan berguna. Ia menyelamatkan hidup para tapa dari individualisme dan askesis yang kurang sehat. Sampai sekarang ini pedoman hidupnya masih diikuti oleh para biarawan di Timur Tengah, khususnya di Yunani dan Lebanon.

Permulaan hidup membiara di Eropa Barat

Walaupun di Eropa Barat terdapat perawan-perawan suci yang hidup di tengah-tengah masyarakat seperti di Gereja Timur, namun biara-biara dan pertapaan-pertapaan belum merupakan suatu gejala umum seperti di Mesir, Palestina atau Asia Kecil. Baru bukunya Athanasius tentang riwayat hidup St. Antonius memperkenalkan cara bidup ini kepada umat Kristen di Eropa Barat dan pengaruhnya terutama terasa dalam kalangan para imam. St. Ambrosius dalam khotbah-khotbahnya (340-397) memuliakan perawan Maria sebagai suri teladan bagi setiap orang Kristen, khusus bagi para imam. Sejak dahulu kala para uskup dan imam tidak diperbolehkan kawin sesudah mereka menerima tahbisannya, tetapi kini mulai tumbuh tradisi, bahwa bidup selibat merupakan syarat untuk ditahbiskan.

Yang kemudian hari sangat mempengaruhi hidup membiara di Eropa Barat ialah St. Augustinus. Sesudah ia meninggalkan cara hidup lama, terbelenggu oleh dosa, ia hidup bersama-sama dengan sekelompok kawan-kawan, bersama-sama mereka berdoa, belajar dan berdiskusi. Setelah ia diangkat sebagai uskup Hyppo (di Afrika Utara, tahun 396), maka cara hidup ini ditemukannya bersama-sama dengan imam-imam dari diosisnya. Mereka hidup dengan sederhana, makan bersama dan berdoa bersama. Pada tahun 423 ia menulis sepucuk surat kepada sebuah komunitas suster-suster yang sedang pecah karena percekcokan, Petunjuk-petunjuk yang dicantumkannya dalam surat tersebut sampai sekarang dikenal sebagai Regula St. Augustinus yang antara lain diikuti oleh imam-imam dari Ordo St. Augustinus dan St. Dominikus (kedua-duanya baru dibentuk sekitar abad XIII). Antara lain ditegaskannya kembali “vita communis”, hidup bersama, senasib dalam segala hal. Seorang suster yang orang tuanya kaya dan seorang suster yang orang tuanya miskin masing-masing harus minta kepada pembesar apa yang mereka perlukan untuk hidup sehari: tidak boleh ada perbedaan dalam pakaian, makanan dan cara hidup. Pada jam-jam tertentu mereka harus berkumpul di kapel untuk mengucapkan doa-doa dan mazmur-mazmur. Pakaian harus sederhana, tidak boleh menyolok mata. Demikian pula makanan: puasa dan pantang merupakan irama tetap dalam hidup seorang biarawati. Semua suster akan mencintai pemimpin biara sebagai ibunya sendiri, dan beliau akan mengeluarkan perintah-perintahnya dengan penuh cinta kasih. Bukan ketakutan harus merupakan pendorong ketaatan. Tetapi Regula ini baru mulai dipraktekkan di Eropa Barat pada puncak Abad Pertengahan sekitar abad ke-XIII.

Pada waktu Augustinus mengumpulkan imam-imam sekitarnya, maka di tanah Perancis St. Martinus dari Tours (317-397) tertarik kepada hidup membiara, dan pada tahun 360 mendirikan biara pertama di Perancis. Di sana setiap biarawan mendiami gubugnya sendiri, tempat ia kerja, makan dan tidur. Hanya untuk ibadat bersama mereka berkumpul di kapel.

Di Perancis Selatan Johannes Cassianus memperkenalkan hidup membiara a la Mesir, tanpa organisasi atau peraturan yang ketat dan tetap. Maka dari itu, lekas dapat bertumbuh, tetapi lekas dapat lenyap pula. Di sana pula seorang pemuda dari Irlandia berkenalan dengan tipe biara yang didirikan oleh Cassianus. Namanya St. Patrick yang kemudian hari menyebarkan agama Kristen di tanah airnya dan mendirikan biara-biara (432). Hidup membiara a la Mesir itu ternyata cocok sekali dengan wataknya orang-orang Irlandia. Merekapun berwatak individualis, tidak suka tunduk kepada suatu lembaga sentral dan tidak memerlukan suatu pedoman hidup tertulis. Spiritualitas mereka juga keras seperti para tapa di Mesir. Mereka menyusun daftar-daftar kekurangan, pelanggaran dan dosa-dosa, masing-masing dengan hukumannya. Omong-omong dengan seorang wanita tanpa disaksikan orang lain dihukum dengan 200 sabetan cambuk misalnya.

Individualisme mereka juga nampak dari hobi mereka untuk merantau, jauh dari tanah air mereka. Mereka merantau sampai di Islandia, Skotlandia, Perancis, Swiss dan Italia Utara. Nama seorang Kolumba dan Kolumbanus patut disebut, bersama dengan perintis mereka, St. Brendan (577) yang mengarungi samudera raya sendirian. Merantau bagi mereka melambangkan status hidup seorang Kristen sebagai seorang musafir, “di dunia sini kita tidak mempunyai rumah yang tetap”. Tetapi biara-biara yang mereka dirikan tidak mempunyai umur panjang. Mereka tidak suka melembaga, mereka lebih mengandalkan kharisma pribadi. Tetapi untuk mewariskan sesuatu kepada angkatan yang akan datang, selain kharisma diperlukan juga organisasi dan peraturan-peraturan tertulis.

Dan itulah secara harmonis diperpadukan oleh St. Benediktus pendiri Ordo St. Benediktus dan pelindung benua Eropa (480-547). Ia dilahirkan di Italia, bekas pusat Negara Roma yang pada tahun 476 menamatkan riwayat hidupnya. Seluruh Eropa dibanjiri oleh suku-suku biadab yang satu-satunya tujuan ialah menyelamatkan diri dari suku-suku lain yang lebih biadab lagi. Setelah menuntut ilmu pengetahuan di Roma dan memangku beberapa jabatan dalam permerintahan kotapraja, maka ia mengasingkan diri di pegunungan dan menjalankan hidup bertapa yang tidak jauh berbeda dari cara hidup para tapa di Mesir, termasuk segala ekses dalam menyiksa badannya sendiri. Tetapi dalam guanya di Subiaco Benediktus juga maju dalam ilmu kesempurnaan dan belajar apa yang paling penting dalam ilmu yang demikian sukar itu, ialah keseimbangan. Dan bersama dengan beberapa murid ia pindah ke Monte Cassino, sebuah bukit kira-kira 120 km sebelah selatan kota Roma (528). Di sana ia menulis Regula-nya yang tersohor itu dan yang merupakan sebuah tugu dalam sejarah spiritualitas Kristen. Dari pengalamannya sendiri dan dari apa yang dilihatnya di dalam masyarakat ia insyaf, bahwa satu-satunya cara hidup yang cocok bagi seorang biarawan biasa, ialah hidup bersama dalam suatu komunitas di bawah pimpinan Regula dan seorang abbas. Berkelana, sekalipun “demi Tuhan”, hanya merupakan kedok yang membuka pintu bagi setan. Maka dari itu seorang biarawan tetap akan tinggal dalam biara yang dimasukinya.

Ciri khas dari spiritualitas St. Benediktus ialah keseimbangan, moderat, human, tidak terlalu lunak, tidak terlalu keras, penuh pengertian bagi watak manusia. Para biarawan harus makan dan tidur dengan secukupnya.

Pusat kehidupan seorang biarawan ialah Opus Dei atau Karya Tuhan, bersama-sama dalam kapel menjalankan Ibadat Harian dengan liturgi yang teratur dan terperinci. Di sanalah para biarawan bertugas sesuai dengan protokol yang ditetapkan. Tetapi selain doa liturgis (yang dalam acara harian mengisi empat jam) doa pribadipun tidak dilupakan. Dari seorang biarawan diharapkan, agar setiap hari ia membaca dan merenungkan Kitab Suci (lectio divina) selama empat jam. Enam jam disediakan untuk pekerjaan tangan. Ora et labora, berdoa dan bekerja, itulah semboyannya St. Benediktus.

Setiap biara berdikari, otonom, baik secara ekonomis maupun secara organisatoris. Dan dalam masa yang sangat kacau itu cara hidup ini paling tepat. Ingatlah bahwa dewasa itu perekonomian Eropa lumpuh, hubungan lalu lintas praktis macet. Jadi mau tidak mau setiap biara harus mencukupi kebutuhannya sendiri.

Kehidupan dalam komunitas bersifat patriarkal-familial. Abbas bertindak sebagai ayah, ia dipilih untuk seumur hidup dan wewenangnya hampir tanpa batas. Diharapkan, agar ia sungguh memimpin para biarawan bagaikan seorang ayah, penuh kebijaksanaan dan cinta-kasih. Keluarga Benediktus terdiri atas orang-orang awam. Hanya pada hari Minggu dan hari-hari raya didatangkan seorang imam dari luar. Dan kemudian hari jumlah imam dalam komunitas tetap terbatas; jumlahnya ditentukan oleh kebutuhan biara. Menurut pandangan Benediktus maka terlalu banyak imam dalam komunitas akan mengendurkan semangat.

Seorang novis yang habis masa percobaan diterima sebagai anggota komunitas hanya mengucapkan dua kaul, yaitu ia berjanji setia kepada Regula, dan ia berjanji tidak akan pindah-pindah ke tempat lain (ini untuk mencegah nafsu mengembara dari orang-orang Irlandia).

Dalam perkembangan sejarah biara-biara St. Benediktus ternyata menjalankan peranan yang sangat penting. Dalam perpustakaan biara-biara itu naskah-naskah kuno, pustaka-pustaka kebudayaan Roma, disimpan dan disalin dan dengan demikian diselamatkan untuk generasi yang akan datang. Di sanalah dipupuk minat dan semangat untuk belajar. Tetapi di sana pula suku-suku biadab lambat laun dijadikan orang-orang beradab, yang suka bercocok tanam dan memelihara peternakan. Putra-putra Benediktus membawa agama Kristen dan peradaban ke Inggris (Augustinus 597), ke Jerman Barat dan Negeri Belanda (Bonifatius dan Wilibrordus awal abad ke VIII). Itulah sebabnya Benediktus pernah diangkat sebagai pelindung benua Eropa. Benediktus dan putra-putranya bertindak sebagai guru untuk bangsa-bangsa baru yang mendiami Eropa Barat sesudah runtuhnya Negara Roma.

Di sini kita tidak boleh lupa akan para putri, suster-suster yang juga berjuang di bawah panji-panji St. Benediktus. Semasa hidupnya ia didampingi oleh St. Scholastica adik kandungnya sendiri, dan kemudian hari para suster Benediktines mendampingi Augustinus, Willibrord dan Bonifatius menyebarkan agama Kristen dan peradaban di benua Eropa. Peranan St. Lioba, adik St. Bonifatius, patut dikenangkan sebagai seorang zeladice karya misi.

Tadi telah kami singgung, bahwa sistem otonomi yang ditetapkan Benediktus bagi biara-biaranya cocok sekali dengan keadaan masyarakat dewasa itu. Selama abad VI-X setiap daerah praktis berdiri sendiri, pengaruh pemerintah pusat hampir tidak terasa. Dalam masa pemerintahan Karel Agung (768-814) memang ada usaha mendirikan kembali negara kesatuan, tetapi sesudah kaisar itu mangkat, maka negaranya dibagi menjadi tiga dan dalam abad gelap yang menyusul (akibat serangan-serangan dari luar, antara lain dari bangsa Viking) maka setiap daerah makin otonom, kepala daerah (seorang bangsawan) praktis menjadi seorang raja kecil, yang oleh raja yang sesungguhnya secara resmi dititipi beberapa hak kedaulatan (sistem feodal). Dalam keadaan serupa itu, maka pengaruh kepala daerah terhadap biara setempat makin terasa juga. Ia sering mencampuri urusan membiara, sering pula yang diangkat sebagai abbas ialah seorang kawan dari kepala daerah. Tak perlu dijelaskan, bahwa kebiasaan itu memperlemah semangat membiara sehingga kehidupan rohani juga merosot.

Terhadap gejala kemerosotan itu terjadi suatu reaksi yang berpangkal pada biara Cluny Burgundia (Perancis Timur, tahun 909). Para biarawan Cluny berpegang teguh pada Regula St. Benediktus yang ingin mereka hayati kembali dengan segala kemurnian. Hanya dari segi organisatoris diadakan suatu perubahan. Tiap biara tidak berdiri sendiri lagi, melainkan mengadakan semacam federasi dengan biara-biara lain. Setiap tahun para biara dikunjungi oleh sebuah panitia penilik, yang meninjau keadaan biara, dan kalau perlu dapat bertindak juga. Dan supaya pemilihan seorang abbas aman dari campur tangan bangsawan, maka mereka menempatkan diri langsung di bawah pimpinan dan perlindungan Sri Paus di Roma. Inilah langkah pertama ke arah sentralisasi baik dalam masyarakat luas maupun dalam struktur Gereja khususnya.

Pada masa jayanya biara Cluny memimpin lebih dari seribu biara lain yang ikut dalam gerakan hidup baru itu dan pengaruh dari cita-cita rohani menyalakan juga semangat umat Kristen pada umumnya. Inilah sumber kekuatan yang dapat diandalkan oleh Paus waktu ia berlawanan dengan Kaisar sambil memperjuangkan kemerdekaan Gereja daripada pengawasan Negara. Ini pula pusat gairah rohani yang berkobar-kobar waktu Paus menyerukan kepada umat Kristen untuk membebaskan makam suci di Yerusalem dari penjajahan kaum Seldsyuk (1096, Perang Salib I).

Dalam satu hal Cluny sedikit menyimpang dari maksud Benediktus: hampir segala perhatian diarahkan kepada liturgi, sedangkan pekerjaan tangan diabaikan. Dan dengan demikian dibuka kesempatan bagi unsur-unsur yang kemudian hari akan memperlemah semangat Cluny. Selama biara ini dan federasinya dipimpin oleh abbas-abbas yang memang berkaliber besar (seperti Odilio dan Hugo) maka semangatnya tetap berkobar, tetapi pada abad XII gejala-gejala dekadensi nampak dengan jelas. Tapa-brata, hidup yang miskin dan sederhana rupanya sudah barang asing dalam biara Cluny. Semangat St. Benediktus tidak lagi menghayati kehidupannya

Romualdus, Bruno dan Yohanes Gualbertus mencanangkan reaksi dengan mendirikan biara-biara yang lebih mirip dengan tipe biara dari dunia Timur. St. Bruno dengan biaranya di Chartreux memperpadukan hidup seorang tapa dengan hidup dalam komunitas seperti dicita-citakan oleh Benediktus. Setiap biarawan hidup dalam paviliunnya sendiri; di situ ia hidup, makan, berdoa dan tidur. Hanya pada hari-hari tertentu mereka berkumpul di kapel.

Tetapi gerakan penyehatan dalam tubuh Ordo Benediktus terutama berpangkal dari biara Citeaux di tengah-tengah rimba raya Perancis Utara. Para biarawan yang berkumpul di sana ingin menjalankan Regula Benediktus dalam segala kemurnian dan kekerasannya. Ibadat liturgis tidak diabaikan, tetapi ditanggalkan dari segala embel-embel. Bukan lagu-lagu merdu dan suara-suara halus yang dipentingkan (seperti di Cluny), melainkan kesederhanaan dan keikhlasan. Tidak apa-apa kalau suaranya kasar, asal mau memuliakan Tuhan. Bukan seni musik, seni lukis atau seni bangun yang menjadi cita-cita mereka, melainkan hidup yang sederhana, bahkan kasar. Kapel di Citeaux tidak dihiasi dengan warna-warni dan embel-embelan; dindingnya putih bersih. Bagi seorang biarawan tidak perlu menjadi seorang sastrawan atau pujangga, yang penting ialah mau mengotorkan tangannya dengan bekerja keras. Maka dari itu biara Citeaux dengan cabang-cabangnya kemudian menjadi tersohor karena membuka tanah-tanah tandus, daerah-daerah transmigrasi di Eropa Utara dan Timur (ingat bahwa pada abad XIII Eropa mengalami semacam ledakan penduduk). Dan untuk keperluan itu mereka mengikutsertakan kaum petani biasa yang buta huruf, tetapi ada hubungan dengan biara sebagai bruder awam. Mereka dibebaskan dari Ibadat Harian, tetapi harus sekian kali mengucapkan doa Bapa Kami dan Salam Maria. Mungkin bahwa di sini kita berjumpa dengan salah satu unsur permulaan dari doa Rosario.

Yang merupakan penggerak utama dari Ordo Citeaux dengan cabang-cabangnya ialah St. Bernardus, orang yang paling berpengaruh di Eropa pada pertengahan abad XII. Raja-raja dan paus-paus mendengarkan nasehatnya, rakyat sederhana berduyun-duyun bila Bernardus mengunjungi salah satu kota. Gaya bahasanya indah, mesra dan hangat. Devosinya terhadap Bunda Maria akan memberikan corak yang khas kepada hidup rohani pada Abad pertengahan selanjutnya. Dan Bernardus pun merupakan penunjuk jalan untuk para biarawan-biarawati yang oleh Tuhan dikurniai dengan bakat-bakat mistik. Tetapi lain daripada Augustinus maka hidup rohaninya selalu berpangkal pada kemanusiaan Kristus. Yesus seperti dilahirkan di Betlehem, Yesus seperti hidup, jalan, mengajar di Palestina dan akhirnya menderita dan wafat. Minat terhadap kemanusiaan Yesus dengan latar-belakang historisnya antara lain juga terpengaruh oleh Perang Salib, dan sebaliknya memberikan dorongan kepada Perang Salib.

Munculnya ordo-ordo pengemis

Selama abad yang ke-XII Eropa Barat lambat laun mengalami suatu pembahan yang cukup mendalam. Kota-kota yang didirikan oleh bangsa Roma dan yang sejak runtuhnya negara itu makin sepi, kini mulai didiami lagi, ialah oleh saudagar-saudagar. Kalau dulu antara abad VII sampai abad XII masyarakat Eropa Barat bersifat agraris dan kaum tani hanya mengerjakan tanahnya sejauh hasil buahnya diperlukan oleh tuan tanah bagi konsumsi sendiri (tidak untuk dijual ke pasar), maka kini sistem perekonomian Eropa menjadi lebih lancar. Keamanan lebih terjamin, lalu-lintas lebih intensif, dan uang logam mulai beredar lagi. Orang-orang baru yang mulai mendiami kota-kota merupakan suatu golongan dan kekuatan baru. Raja mulai memanjakan kaum kotawan itu dengan hak-hak istimewa, sehingga mereka dapat mengimbangi kekuatan dan peranan dari kaum bangsawan dan rohaniwan. Sekitar tahun 1200 Eropa Barat pada ambang pintu masa jayanya, baik material maupun spiritual. Tetapi perkembangan spiritual itu sebetulnya merupakan jawaban terhadap perkembangan material. Tegasnya munculnya St. Dominikus dan Fransiskus untuk sebagian dapat dimengerti sebagai suatu reaksi terhadap kehidupan sementara pejabat Gereja yang makin duniawi, makin jauh dari cita-cita kemiskinan seperti disiarkan oleh Yesus. Dominikus, tetapi terutama Fransiskus dari Assisi ingin mewujudkan kembali secara harafiah kemiskinan injili. Tanpa embel-embel, tanpa penafsiran yang rumit-rumit, St. Fransiskus menaati sabda Yesus: “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat ….” (Mt. 10:9). Dan: “Jikalau engkau ingin menjadi sempurna, maka pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin ….” (Mt. 19:21). Ia berkhotbah dengan perbuatan dan teladan, dan teladan itu mampu menggelorakan ribuan orang yang tertarik oleh cita-cita Fransiskus. Suatu bukti, betapa hauslah umat akan santapan Injil.

Janganlah kita lupa, bahwa umat di Eropa Barat sebetulnya buta huruf akan hal-hal agama. Pengetahuan mengenai agama praktis nol. Hanya anak-anak yang ditampung dalam biara-biara Benediktus belajar membaca dan menulis, dan kemudian masuk biara, sehingga seorang “klerikus” praktis sama dengan seorang yang dapat baca dan menulis (klerk = juru tulis). Karya kerasulan, membantu sesama menyelamatkan jiwanya, tidak tercantum dalam Regula St. Basilius maupun Benediktus. Dan kalau dari biara-biara Benediktus toh terpancar pengaruh baik terhadap penduduk sekitarnya, itulah secara sambilan saja.

Tetapi kini Fransiskus dan Dominikus menjalankan suatu revolusi sungguh-sungguh. Bukan kesepian di padang gurun atau hutan menjadi cita-cita mereka, melainkan keramaian kota-kota. Mereka ingin terjun ke dalam masyarakat, membantu dan menyelamatkan sesama manusia. Oleh Dominikus bantuan tersebut terutama ditekanksn pada sifat instruksi, oleh Fransiskus pada sifat contoh dan teladan.

Kalau dulu putra-putra Benediktus berkaul tidak akan meninggalkan biaranya, maka kini Fransiskus dan Dominikus justru tidak mau terikat akan satu tempat. Seluruh dunia merupakan biara dan parokinya.

Dinamisme ini juga menuntut suatu spiritualitas yang baru. Tak ada waktu dan tempat bagi upacara-upacara liturgis yang panang-panjang dalam kapel, Saudara-saudara hina dina (demikian ingin mereka dinamakan) harus berdoa sendirian meditasi pribadi menjadi bentuk doa baru.

Adapun jasanya paus-paus kala itu (Innocentius III dan Honorius III) bahwa mereka memahami tanda-tanda zaman dan memberi restu kepada kedua pembaharu kehidupan Gereja. Masing-masing mendirikan suatu Ordo yang ada tiga cabangnya: yang pertama untuk kaum pria, yang kedua untuk kaum wanita dan yang ketiga untuk kaum awam. Pendapat umum dalam masyarakat dan khususnya para pemimpin Gereja belum dapat menempatkan kaum wanita itu ke dalam gerak apostolis yang dirintis oleh Dominikus dan Fransiskus: mereka terkunci dalam biara, tidak boleh terjun ke kota dan masyarakat.

Fransiskus merupakan seorang kharismatikus, seorang yang didorong oleh Roh Kudus, apalagi seorang seniman. Ia tidak mempunyai bakat organisasi. Ia tidak bermaksud mendirikan suatu organisasi yang ketat, ia hanya ingin mempelopori suatu gerakan dan mencetuskan suatu cita-cita. Regulanya yang pertama sebetulnya bukan suatu peraturan melainkan suatu kesaksian. Oleh Paus ia diperintahkan untuk menulis suatu Regula yang dituangkan menurut kaidah-kaidah hukum Gereja, tetapi waktu Fransiskus menghadapi ajalnya, ia masih sempat menulis suatu surat wasiat yang sekali lagi menyuarakan cita-citanya, khusus mengenai penghayatan kemiskinan. Dan justru penghayatan itulah yang kemudian hari merjadi buah sengketa antara putra-putra Fransiskus sendiri. Jelaslah, bahwa demi untuk kelangsungan gerakan atau Ordonya, maka perlu diterima novis-novis, mereka harus belajar (walaupun Fransiskus tidak mau mendirikan suatu ordo yang khusus terdiri atas imam-imam) dan kalau nanti mereka sudah tua harus ditampung dalam biara-biara. Jadi, mau tidak mau diperlukan gedung-gedung, diperlukan uang. Perbedaan pendapat mengenai penafsiran penghayatan kemiskinan kemudian hari merobek-robek jubah coklat, warisan Sang Miskin dari Assisi dan mematahkan gelora semangatnya.

Lebih lagi daripada Benardus, maka bagi St. Fransiskus kemanusiaan Kristus menjadi pokok spiritualitasnya. Dan spiritualitas itu juga ingin menggunakan barang-barang manusiawi. Perayaan Natal dengan guanya dan patung-patungnya itulah sumbangan Fransiskus bagi penghayatan iman kita akan Inkarnasi: Allah menjadi Manusia.

Fransiskus dan Dominikus juga merupakan dua perintis bagi gerakan misioner di dalam Gereja. Fransiskus insyaf, bahwa pedang dan senjata tidak akan membebaskan Tanah Suci. Ia berlayar ke Mesir dengan hanya membawa salib dan kitab Injil. Kepolosan iman akan meyakinkan sang sultan…

Harapan Fransiskus ternyata tidak dipenuhi, tetapi sekurang-kurangnya pelayaran tersebut menyalakan imajinasi dan semangat misioner para putranya. Putra-putra Dominikus dan Fransiskuslah yang pada pertengahan abad XIII sampai pertengahan abad XIV bertolak ke Eropa Timur, ke Asia Kecil, ke Tanah Parsi, ke Rusia Selatan, bahkan sampai ke Karakorum, ibukota kerajaan Jengis Khan yang terbentang dari laut Cina sampai ke Laut Baltik. Seorang pater Fransiskanlah yang ditahbiskan sebagai uskup pertama di Peking, pater-pater Fransiskanlah yang singgah di Mojopahit, Aceh dan Tibet.

Seorang putra St. Dominikus, juga seorang santo, ialah St. Thomas Aquinas pada pertengahan abad XII mengarahkan ketajaman inteleknya kepada hidup membiara dan menyusun semacam Teologi Hidup Membiara. Dialah yang menekankan ketiga kaul sebagai tiga soko guru mutlak bagi hidup seorang religius, walaupun Benediktus dan Fransiskus dalam hal ini mempunyai pandangan yang lebih luas; mereka melihat kesempurnaan kristiani sebagai suatu keseluruhan.

Dengan sepatah kata masih harus disinggung beberapa perkembangan lain dalam kehidupan rohani dan religius di Eropa Barat selama Abad Pertengahan, khusus mengenai pengaruh St. Augustinus. Telah kita lihat, bagaimana uskup Hippo mengumpulkan imam-imam gereja katedral dalam rumahnya di mana mereka menjalankan hidup bersama dalam komunitas. Demikian juga petunjuk-petunjuk Augustinus kepada sementara suster. Serbuan bangsa-bangsa barbar menyebabkan bahwa Regula St. Augustinus untuk sementara tak ada follow-up-nya, namun pada Abad Pertengahan orang-orang teringat kembali akan cita-cita Augustinus yang mempunyai arti yang penting bagi imam-imam diosesan. Sekitar tahun 760 misalnya di kota Metz (perbatasan antara Jerman dan Perancis) imam-imam yang melayani ibadat dan perawatan rohani di katedral juga hidup bersama dan mengikuti Regula St. Augustinus (canon; maka disebut canonici atau kanunnik). Mereka bukan biarawan karena tetap mempunyai hak milik. Contoh ini dari imam-imam diosesan yang hidup bersama dalam komunitas dan yang kurang atau lebih ketat mengikuti Regula St. Augustinus kemudian hari mengilhami macam-macam keluarga religius lainnya yang muncul sekitar abad XII dan XIII. Ternyatalah pedoman hidup Augustinus cukup fleksibel, dengan mudah sekali dapat disesuaikan kepada keadaan setempat, dan secara harmonis memperpadu doa dan aktivitas, khusus dalam pelayanan rohani. St. Dominikus tidak menulis sebuah Regula baru, pedoman hidup yang diikutinya ialah Regula St. Augustinus. Para tapa St. Augustinus (OESA; di Indonesia mereka berkarya di Manokwari, Papua), Ordo Salib Suci, Ordo St. Norbertus dan lain-lain mereka semua dibimbing oleh semangat St. Augustinus.

Ordo Karmel berasal dari Palestina dan mereka menghormati Elias sebagai bapaknya. Dari Palestina cara hidup para tapa ini diperkenalkan di Eropa Barat dan merekapun turut serta dalam gerakan yang dicetuskan oleh Dominikus dan Fransiskus, menjelma kembali sebagai Ordo Pengemis.

Musim rontok

Selama abad yang ke-XIV Gereja di Eropa Barat tertimpa macam-macam malapetaka. Karena pengaruh raja-raja Perancis, para Paus meninggalkan kota Roma dan menetap di Avignon, pada perbatasan negara Perancis. Dengan demikian, maka mereka praktis menjadi boneka-boneka raja tersebut dan kehilangan kebebasannya. Dan ketika akhimya pada tahun 1378 (antara lain karena desakan dari St. Catharina dari Siena) paus kembali ke Roma, maka para kardinal Perancis memilih seorang paus lain. Itulah permulaan dari Skisma Barat yang berlangsung sampai Konsili Konstanz (1414-1418). Keretakan dalam tubuh Gereja terasa sapai ke dalam tubuh Ordo-ordo, bahkan sampai di dalam komunitas satu biarapun.

Selain itu masyarakat Eropa, Barat dan Timur bahkan Asiapun, dilanda oleh penyakit pes yang menurunkan jumlah penduduk Eropa dengan kurang lebih 50 persen.

Dan akhirnya terjadi Perang Seratus Tahun antara Inggris dan Perancis (1337-1453), sedangkan di sebelah timur benua Eropa terancam oleh serangan-serangan dari bangsa Turki yang berhasil menyerbu kota Konstantinopel (1453) dan menguasai daerah-daerah tua di tanah Balkan.

Peristiwa-peristiwa tersebut mau tidak mau juga mempengaruhi kehidupan Gereja. Gerakan hidup baru yang telah dirintis oleh Fransiskus dan Dominikus terkandas dan hampir padam. Di mana-mana terasa kelesuan, kesuraman dan kemunduran. Dan bidup membiara tidak luput dari suasana suram itu.

Namun syukurlah, di tengah-tengah kegelapan umum tetap bersinarlah cahaya kehidupan rohani. Tetap ada orang-orang, santo dan santa, yang terpukau oleh teladan Kristus dan ingin menjadi pengikutNya. Jangan mengira, bahwa para mistisi itu hidup terkurung, jauh dari keramaian dunia, tidak memperdulikan nasib sesama. St. Birgitta dan St. Catharina dari Siena justru aktif sekali dalam kehidupan masyarakat, bertindak sebagai pendamai antara kota-kota yang saling berperangan dan juga melakukan pengaruhnya terhadap para paus, agar mereka pulang ke Roma.

Dalam karangan yang sama itu juga akan disinggung mengenai gerakan Devosi Moderna yang timbul di Belanda. Gerakan tersebut dapat kita namakan semacam usaha untuk mengetrapkan hidup rohani dari kalangan mistik kepada hidup kaum awam sehari-hari. Suatu usaha ke arah interiorisasi, memupuk hidup kebatinan, bergaul secara mesra dengan Yesus. Dari kalangan Devosi Moderna juga berasal macam-macam tulisan yang mengandung petunjuk bagi meditasi secara metodis. St. Benediktus, waktu mewajibkan lectio divina, tidak memberikan petunjuk-petunjuk secara terperinci. Perhatian pokok diarahkan kepada ibadat liturgis. Tetapi kini terasa kebutuhan akan pedoman-pedoman mendetail mengenai cara bermeditasi. Meditasi pribadi apalagi secara metodis kemudian hari merjadi praktik umum. Juga dalam ordo-ordo Benediktus, Fransiskus dan Dominikus. Waktu Inigo dari Loyola bertapa di biara Montserrat, maka ia berkesempatan membaca tulisan-tulisan dari Devosi Moderna itu, khusus mengenai cara bermeditasi. Dan kemudian hari, ketika St. Ignatius itu menulis bukunya tentang latihan Rohani, maka tak lupa dicantumkannya juga beberapa petunjuk praktis dan sederhana mengenai cara bermeditasi.

Devosi Moderna merupakan suatu gerakan dari kaum awam dan untuk sebagian juga ditujukan kepada kaum awam. Demikian juga timbullah suatu cara hidup membiara yang baru seperti dipraktekkan oleh Saudara-saudara dari kehidupan bersama (dari kalangan ini berasal juga Thomas dari Kempen). Imam, rohaniwan dan awam hidup bersama dalam satu rumah, ingin mengidupkan kembali cara hidup dari Gereja Purba, tanpa milik pribadi. Selain berdoa bersama dan secara pribadi mereka juga membuka sekolah-sekolah dan memberikan pelajaran kepada anak-anek. Erasmus dari Rotterdam, pujangga terkenal waktu Reformasi, pernah diasuh pada suatu sekolah yang dipimpin oleh Saudara-saudara kehidupan bersama. Mungkin juga pengabdian Saudara-saudara tersebut kemudian hari mengilhami macam-macam kongregasi bruder dan suster yang timbul pada abad XIX dan yang juga mengabdikan hidupnya bagi pendidikan kaum remaja.

Juga dalam kalangan ordo-ordo timbullah gejala-gejala yang ingin menghidupkan kembali semangat pendiri ordo yang semula. Demikian timbullah gerakan Observansi dalam tubuh ordo-ordo Benediktus, Fransiskus, Augustinus dan Dominikus. Mereka ingin mengadakan observansi, mentaati sepenuhnya dan sekeras-kerasnya pedoman hidup dari pendirinya. Kemudian hari Martin Luther memasuki biara Augustin yang menjalankan observansi; ia mencita-citakan yang paling keras, yang paling murni, yang Paling asli ……

Sayanglah bahwa semua gejala-gejala segar yang timbul dalam Gereja, tidak berhasil mencetuskan suatu gerakan massal yang dapat menyembuhkan Gereja dari luka-lukanya. Antara lain ini disebabkan, karena gejala-gejala “revival” yang timbul dari bawah, tidak atau kurang mempengaruhi kalangan pimpinan Gereja: paus, para kardinal dan para uskup.

Selain itu Devosi Moderna mungkin kurang memperhatikan dunia luar, terpikat oleh interiorisasi, belum dapat mengadakan sintesa yang seimbang antara hidup kebatinan dan hidup aktif bagi keselamatan orang lain. Manusia masih merasa bersatu dengan dunia sekitarnya, ia belum melihat dunia bagai sesuatu di luar dirinya. Baru manusia zaman Renaissance akan menemukan dunia sebagai sebuah obyek yang mengandung macam-macam kemungkinan.

Bersama dunia

Umumnya masa Renaisance dilukiskan sebagai masa yang menyaksikan dilahirkannya kembali (re-naitre) kebudayaan Yunani dan Romawi. Tetapi itu hanya satu aspek saja. Yang lebih penting, ialah manusia Eropa menemukan dunia luar. Dulu ia bersatu dengan dunia sekitarnya, belum merasakan adanya jarak antara Aku dengan dunia. Baru sekarang ia mulai memandang badannya sendiri, dan alam sekitarnya sebagai sesuatu obyek, yang dapat dimiliki, yang dapat dipakai dan dipergunakan. Perubahan dalam sikap itu antara lain kelihatan dari perkembangan seni lukis dan seni pahat. Abad Renaissance menemukan perspektif; dan ia demikian gandrung akan penemuan baru itu, sehingga pemandangan alam dengan perspektif yang luas selalu melalarbelakangi lukisan-lukisan potret abad itu. Michelangelo dan Rubens tidak jemu-jemu melukiskan badan manusia. Mereka menjadi sadar, bahwa badan itu sesuatu yang indah, yang bisa dipandang, yang bisa dikerahkan. Gairah untuk menemukan dunia luar itu juga mendorong orang Eropa untuk mencari benua-benua lain: Asia, Amerika, Afrika. Dengan suatu perkataan modern dapat dikatakan bahwa manusia menjadi sadar akan “kenyatan duniawi”.

Kesadaran baru itu juga dialami oleh Inigo dari Loyola dan tidak mengherankan, bahwa pengalaman religiusnya juga terpengaruh oleh perspektif baru itu. Dalam mukadimmah Latihan Rohani ditandaskannya, bahwa manusia diciptakan untuk memuliakan Tuhan dan menyelamatkan jiwanya. Tetapi dengan sehela nafas diteruskannya: “Makhluk-makhluk lainnya di permukaan bumi diciptakan demi manusia untuk membantunya mengejar tujuan hidupnya… Maka dari itu mahkluk-mahkluk tersebut harus dipergunakan sejauh membantu manusia… dan harus dihindarkan sejauh merintangi manusia…”. Cita-cita kesempurnaan tidak hanya menyangkut manusia dan Tuhan, melainkan pula mahkluk-mahkluk lainnya. Denah kesempurnaan bukan lagi laksana suatu garis lurus antara dua titik, Tuhan dan manusia, melainkan sebuah segitiga: Tuhan, aku dan makhluk-rnakhluk lainnya.

Tetapi (dan inilah ciri baru kedua dalam spiritualitas Ignatius) makhluk-makhluk lain itu bukan suatu rintangan dalam perjalanan kita ke Tuhan. Dalam segala hal ikhwal, dalam segala makhluk hendaklah kita menemukan Tuhan.

Dulu aktivitas dan kontemplasi, ora et labora, merupakan dua bidang yang berjejeran. Cita-cita hidup seorang rasul dalam kebun anggur Tuhan dirumuskan oleh Thomas Aquinas sebagai “contemplata aliis tradere“: bertapa dulu, lalu ke luar dari pertapaan, menyampaikan hasil meditasi kepada orang-orang lain. Dan kalau akinya sudah habis, kembali ke bengkel untuk mengisi aki itu kembali.

Ignatius berpendapat, bahwa di mana-mana kita harus mampu menemukan Tuhan. Bagi dia cita-cita kesempurnaan ialah “contemplativus in actione”, di tengah-tengah kesibukan selalu bersatu dengan Tuhan. Dan kebersatuan itu tidak hanya waktu berdoa, tetapi terutama dengan mempersatukan kemauannya sendiri dengan kehendak Tuhan. Itulah sumber hiburan seorang prajurit Kristus: kesadaran, bahwa dia menjalankan kehendak Tuhan.

Spiritualitas baru ini (atau perspektif baru ini) memungkinkan Ignatius menyusun sebuah pedoman bagi kehidupan apostolik yang konsekuen memenuhi segala syarat cara hidup aktif, tidak terikat oleh doa offisi bersama, tidak terikat oleh pakaian seragam tidak terikat oleh tempat biara tertentu melainkan menjelajahi segala tempat di bumi ini, sesuai dengan kehendak wakil Kristus, Sri Paus.

Restorasi Katolik atau gerakan hidup baru yang menyelamatkan Gereja dari kemerosotan abad sebelumnya tidak hanya berpangkal pada Ignatius. Tetapi spiritualitasnya mampengaruhi segala keluarga-ketuarga religius lainya yaug juga mengabdikan diri sepenuhnya kepada keselamatan sesama manusia.

Hanya kaum wanita sedikit sial dalam mengikuti cita-cita kehidupan apostolik. Seorang suster yang aktif di tengah-tengah keramaian dunia, itulah sesuatu yang teramat progresif. St. Fransiskus de Sales (1567-1622) yang sangat berjasa dalam menyebarkan cita-cita hidup rohani di tengah-tengah kaum awam, pernah juga ingin mendirikan suatu ordo wanita yang seperti Perawan Maria yang mengunjungi Elisabet akan menengok orang-orang sakit di rumah (visitasi = Visitandine St. Margareta Maria Alacoque). Tetapi pimpinan di Roma belum bisa menuangkan bentuk hidup baru itu dalam kotak-kotak usang hukum kanonik. Dan akibamya: para suter Visitandine harus kembali ke biaranya, dijadikan suatu Ordo suster-suster kontemplatif (moniales). Nasib yang sama itu juga menimpa putri-putri St. Angela de Merici (± 1535): maksudnya mendirikan suatu ordo suster-suster yang aktif dalam kerasulan. Tetapi menurut hukum kanonik, maka dalam ordo itu diucapkan kaul meriah, dan kaul meriah bagi kaum wanita itu terikat pada clausura papalis, biara yang tak boleh ditinggalkan. Maka dulu suster-suster Ursulin (atau resmi: Ursulin Biarawati) yang membanggakan diri atas statusnya sebagai Ordo dengan kaul meriah, harus membayar martabat itu dengan nasib para moniales yang terikat oleh doa offisi dan clausura yang cukup ketat. Mary Ward (1585-1645) seorang putri dari Inggris ingin juga meniru cara hidup apostolik a la Ignatius, tetapi keberanian tersebut harus dia bayar dengan meringkuk dalam penjara selama beberapa tahun. Dalam hal ini para Putri Amal-kasih yang didirikan oleh St. Vincentius de Paul (1581-1660) lebih beruntung. Mereka hanya mengucapkan kaul sederhana dan dalam pakaiannya tidak berbeda dari wanita-wanita nelayan di Bretagne (kerudung bersayap, di Indonesia suster-suster ini berkarya di Surabaya). Vincentius juga mendirikan sebuah perkumpulan bagi imam-imam sekulir (Congregatio Missionis; Misi di sini bukan di luar negeri, melainkan di dalam negeri; karena markas imam-imam ini bertempat di dalam bekas biara St. Lazarus, maka kemudian hari mereka dikenal sebagai imam Lazaris). Sekalipun mereka merupakan suatu sarekat dengan pedoman hidup dan kaul sederhana, namun status mereka tetap imam sekulir. Cara ini juga kita jumpai dalam Oratorium yang didirikan oleh St. Filipus Neri (± 1550) dan kemudian hari antara lain dalam macam-macam kongregasi lainnya (Paderi Putih di Amerika misalnya).

Suatu jalur baru dibuka oleh St. Joannes Baptist de la Salle (1651-1719) yang mendirikan suatu kongregasi bruder-bruder yang mengabdikan diri kepada pendidikan anak-anak. Dalam ordo-ordo dulu (termasuk Sarekat Yesus) tugas seorang bruder ialah membantu para imam khusus dalam bidang materiil, tetapi kongregasi ini melulu terdiri atas bruder-bruder yang mengajar di sekolah. Para Bruder Sekolah Kristen kini antara lain berkarya di Singapore dan Malaysia.

Perlu dicatat juga bahwa pada abad XVIII Paul Danei (Paulus Salib Suci) mendirikan kongregasi Passionis sedangkan Alphonsus de Liguori (1696-1787) meletakkan dasar bagi Kongregasi Penebus Mahakudus (Redemptoris). Di Indonesia kedua kongregasi ini masing-masing berkarya di Kalimantan Barat dan di Sumba.

Pada umumnya abad XVIII tidak dapat dinamakan suatu abad yang kaya akan perkembangan rohani. Gairah kehidupan baru yang kita saksikan sejak abad XVI dan XVII lambat laun terkandas, menjadi lesu. Bukan di sini tempatnya menguraikan sebab-sebab itu, tetapi semangat rasionalis dan pertikaian dalam tubuh Gereja sendiri melumpuhkan semangat. Musuh-musuh Gereja berhasil membubarkan Sarekat Yesus (1773), Revolusi Perancis dan perang-perang Napoleon tidak hanya merubah peta Eropa, melainkan pula melukai wajah Gereja.

Perkembangan baru pada abad XIX

Ordo-ordo besar yang dulu merupakan soko guru bagi Gereja dan Kepausan tidak luput dari nasib umum itu. Di atas telah dicatat bagaimana Sarekat Yesus untuk sementara dibubarkan. Sesudah badai yang berkecamuk di seluruh Eropa mulai reda, maka Gereja bersama-sama dengan ordo-ordo itu juga mulai bangkit kembali, tetapi tidak dengan sekaligus. Proses ini memerlukan waktu dan kebutuhan Gereja setempat mendesak. Apa yang telah kita saksikan pada abad XV dan XVI kini terulang kembali. Kalau pimpinan Gereja di Roma belum sempat untuk merintis pembaharuan, maka dari bawah ada gejala-gejala yang menandai suatu revival. Dan di sini hormat dan pujian harus diberikan kepada pastor-pastor paroki. Mereka melihat kebutuhan umat setempat. Biara-biara dan ordo-ordo yang dulu mengisi kebutuhan-kebutuhan itu kini tidak ada, atau baru lambat laun mengadakan come back. Pastor tak bisa tunggu, maka ia lalu mendirikan suatu kelompok kecil suster atau bruder yang bisa menjalankan sekolah atau merawat orang-orang sakit. Untuk menghindarkan segala urusan yuridis dengan Roma, maka cukup kalau kelompok itu diakui dan disyahkan oleh uskup setempat. Mereka sering bernaung di bawah Regula St. Fransiskus atau Dominikus sebagai Ordo ketiga (jadi sebetulnya kaum awam), Regula St. Augustinus atau adaptasi dari Regula S.J. Kaul yang diucapkan sederhana, bukan meriah. Jadi, bukan Ordo melainkan hanya (!) kongregasi. Dan karena prakarsa para pastor itu bersama dengan putri-putri yang cukup berani umat Allah dibantu oleh puluhan kongregasi setempat. Sekarang kita dapat tertawa karena ada Suster-suster Fransiskus dari Heythuizen, dan Denekamp, dari Bennebroek, dari Bergen op Zoom, dan pelosok-pelosok lain lagi di negeri kecil yang bernama Negeri Belanda. Tetapi seharusnya kita angkat topi bagi para pastor yang melibat kebutuhan setempat dan memgambil langkah seperlunya. Dan dalam hal ini para perintis tidak sempit pandangannya, karena mereka melebarkan sayapnya sampai jauh di luar negerinya sendiri. Mereka mendengar panggilan Tuhan dari seberang laut, lan mereka bertolak, seperti dulu Lioba bertolak dari Inggris membantu Bonifatius di Jerman.

Inilah sifat lain yang dimiliki kongregasi-kongregasi yang didirikan pada abad yang lampau: semangat missioner. Semangat ini bergelora dari bawah, dari kaum awam, bahkan dari seorang putri, Jaquetine Jarricot.

Satu abad lebih telah berlalu. Kongregasi-kongregasi yang seratus tahun yang lalu, bahkan tigapuluh tahun yang lalu masih mcngalami kesuburan yang luar biasa, kini rupanya menjadi mandul, kering. Keadaan masyarakat telah berubah dengan pesatnya, irama hidup seluruh bangsa berganti rupa, sehingga tidak mengherankan, bahwa hidup membiara di Eropa kini mengalami suatu krisis.

Hal ini tidak dapat dikatakan mengenai hidup membiara di Indonesia. Kebanyakan kongregasi dari Eropa yang dicangkokkan di bumi Indonesia ternyata subur dan berbiak. Dan asal mereka tetap setia kepada ilham yang semulanya dan peka terhadap tanda-tanda zaman, maka bagi para biarawan dan biarawati di Indonesia masih tebentang suatu jalan yang tak ada habisnya. Macam-macam kebutuhan dalam masyarakat Indonesia menantikan kesaksian dan pelayanan dari para saksi Kristus. Gereja Indonesia membutuhkan para biarawan.

(dari Rohani, XXI No. 2 – Februari 1974)

No comments:

Post a Comment

Peringatan Arwah Tiga Rama

Hajatan yang diselenggarakan di Domus Pacis memang sudah dimulai dan kemudian menjadi kebiasaan. Itu terjadi sejak masih berada di Puren Pri...