Monday, October 10, 2022

Semua Ingin Bahagia, Ta?

Bagimanapun juga setiap orang dalam relung hatinya merindukan yang namanya hidup bahagia. Seorang bayi menangis minta disusui, karena ingin nyaman. Anak-anak bermain-main, karena mengikuti dorongan mencari rasa gembira. Ada yang bersekolah mengejar ilmu, karena mencari pegangan untuk meraih hidup sejahtera. Orang menjalin hidup berkeluarga, karena mendampakan kebahagiaan. Banyak orang melakukan berbagai tindakan, kegiatan, memilih model hidup tertentu termasuk menjadi suter, bruder, dan imam …… semua sadar atau tidak sadar demi kerinduan relung hati untuk meraih kebahagiaan.

Pengalaman

Hal di atas saya lontarkan kepada ibu-ibu dan bapak-bapak lansia yang saya dampingi pada hari Selasa 27 September 2022 di kompleks gereja Pringgolayan, Yogyakarta. Semua mengiyakan bahwa setiap orang merindukan kebahagiaan. Yang sungguh menyentuh hati saya adalah tanggapan mereka ketika saya melontarkan pertanyaan “Tetapi apa atau bagaimana hidup bahagia itu?” Dari sini muncul berbagai sharing yang bermacam-macam. Berdasarkan pengalaman dan pendapat yang ada, saya membuat kesimpulan di bawah ini.

Irama personal

Kebahagiaan tidak dapat ditentukan dari luar secara bersama-sama. Sekalipun orang berada dalam kebersamaan atau kumpulan, kebahagiaan tidak bisa dibuat bersama-sama sekalipun ada aba-aba seremonial. Pengalaman berbahagia tergantung atau berkaitan dengan dinamika personal dalam hati orang. Berbekal jejak-jejak kehidupan yang sudah terjadi setiap orang memiliki irama sendiri dalam olah hati yang berbuahkan kebahagiaan.

Proses integrasi batin

Hidup orang bisa mengalami kegelisahan bahkan stres kalau ada yang disebut konflik berbagai hal di dalam hati. Ada beberapa hal yang bisa mewarnai kehidupan batin seseorang.


Kebutuhan raga

Manusia memiliki dimensi hidup ragawi dan jiwani. Dari sini muncul kebutuhan-kebutuhan. Kebutuhan ragawi bisa dijelaskan dengan berbagai sudut pandang. Bagi saya kebutuhan ragawi berkaitan dengan hal-hal lahiriah. Maslow, salah satu ahli, mengetengahkan macam-macam kebutuhan dari tingkat dasar sampai puncak yang disebut kebutuhan aktualisasi diri. Dalam tingkat-tingat kebutuhan, yang disebut kebutuhan dasar adalah sandang (pakaian), pangan (makan), dan papan (rumah). Begitu kebutuhan tingkat tertentu terpenuhi orang akan mengupayakan pemenuhan kebutuhan di atasnya. Misalnya dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, orang bisa mengupayakan kebutuhan berikut yaitu kesehatan dan pendidikan. Orang Jawa akan merasa mendapatkan kepuasan dengan kepemilikan kedudukan (drajat), harta (semat) dan pengaruh (kramat).

 

Kebutuhan jiwa

Dari pembicaraan bersama, kebutuhan kejiwaan dikaitkan dengan hidup beragama. Orang akan terpenuhi jiwanya dengan menjalani doa dan ibadat. Bagi kaum tua dan lansia hal ini juga terjadi pada anak dan cucu. Penghayatan hidup keagamaan yang sungguh masuk relung batin akan membuat kedekatan dengan Sang Pencipta. Hal ini membuat orang menemukan ketentraman batin karena bisa pasrah, rela mengalami keadaan kongkret. Hal ini membuat orang bisa menghayati kehidupan kasih yang mengalirkan kebahagiaan dengan berbagi. Semua hal ini membuat orang mampu hidup dalam terang nurani.

Kalau tidak hati-hati orang bisa hanya terfokus pada satu hal, kebutuhan raga atau kebutuhan jiwa. Kalau hanya terfokus pada kebutuhan raga orang dapat menjadi materialistis dan hanya mengejar hal-hal duniawi. Sementara itu kalau terlalu mengejar yang jiwani orang bisa melalaikan atau mengabaikan kerja duniawi dan terperosok dalam kefanatikan hidup beragama. Dalam hal ini terletak pentingnya hati nurani yang mengajak orang membiasakan diri untuk berhening merasa-rasakan kata-kata yang muncul dalam relung hati. Dari kacamata iman Kristiani, dalam nurani atau relung hati orang menemukan bimbingan ilahi. Hal ini akan membuat orang mengalami kepaduan hasil proses integral di antara kebutuhan ragawi, kebutuhan jiwani, dan nurani.

Pegangan Iman

Sesudah membuat kesimpulan dari pembicaraan bersama, saya mengetengahkan terang iman dengan berpegang pada Katekismus Gereja Katolik (KGK) no 1716-1724. Berbicara tentang hidup bahagia, Tuhan Yesus dalam Kitab Suci (Mat 5:3-12)berkata :


Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan surga
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan surga.
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu diceIa dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segaIa yang jahat.
Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga.

Di dalam KGK 1716 dikatakan bahwa “Sabda bahagia terdapat dalam inti khotbah Yesus. Mereka mengangkat kembali janji-janji yang telah diberi kepada umat terpilih sejak Abraham. Sabda bahagia menyempumakan janji-janji itu, karena tidak hanya diarahkan kepada pemilikan satu tanah saja, tetapi kepada Kerajaan surga”. Kalau dikatakan sabda bahagia masuk dalam inti khotbah Yesus (Mat 5-7), itu berarti menunjukkan kesejatian hidup bahagia yang dihadirkan dalam segala kata dan tindakan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus Kristus. Bagi saya yang menarik adalah kata “menyempurnakan janji-janji”yang ternyata sudah ada sejak Abraham dan kemudian diwarisi oleh umat terpilih. Kalau omong janji, saya menghubungkan dengan dua bagian besar dalam Kitab Suci, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Di dalam Perjanjian Lama arah janji Allah adalah kepemilikan tanah. Bapa Abraham harus meninggalkan tanah asal termasuk sanak keluarga untuk mengikuti panggilan ilahi mendapatkan tanah terjanji, yang kemudian bagi umat keturunan anak cucu Abraham adalah tanah Kanaan yang berkembang menjadi Kerajaan Israel. Kemudian dalam Perjanjian Baru Tuhan Yesus menyempurnakan menjadi janji masuk dalam Kerajaan Surga sebagai keluarga besar umat Allah yang hidup ambil bagian dalam kebahagiaan ilahi.

Bahagia di jalan Yesus

Katekismus mengatakan “Sabda bahagia mencerminkan wajah Yesus Kristus dan cinta kasih-Nya. Mereka menunjukkan panggilan umat beriman, diikutsertakan di dalam sengsara dan kebangkitan-Nya; mereka menampilkan perbuatan dan sikap yang mewarnai kehidupan Kristen” (no. 1717). Penyempurnaan Kristus terhadap janji Perjanjian Lama tercermin dalam sabda bahagia, yang merupakan cermin “wajah Yesus Kristus dan cinta kasih-Nya”. Dalam hal ini Yesus berkata “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Dalam diri Tuhan Yesus itu terjadi dalam sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya.

Tuhan Yesus yang merupakan Allah yang menjadi manusia adalah jalan, kebenaran, dan hidup untuk mengalami Kerajaan Surga di mana orang sungguh berada dalam haribaan Allah. Padahal, kata Santo Thomas Aquinas, Allah adalah sumber segala kepuasan (bandingkan KGK 1718). Dalam hal ini St. Agustinus berkata “Karena kalau aku mencari Engkau, Allahku, aku mencari kehidupan bahagia. Aku hendak mencari Engkau, supaya jiwaku hidup. Karena tubuhku hidup dalam jiwaku, dan jiwaku hidup dalam Engkau" (idem). Dalam hal ini untuk sungguh ada dalam kebahagiaan sejati, orang harus berada dalam jalan Kristus dengan melewati jalan derita. Sabda bahagia berisi gambaran-gambaran derita dan kerumitan hidup yang berbuahkan kebahagiaan karena sungguh menjadi satu dengan Allah. Maka dapat dipahami kalau Tuhan Yesus berkata “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23). Sebagai orang Jawa saya teringat kata-kata jer basuki mawa beya (kebahagiaan itu harus disertai pengurbanan). Tetapi kebahagiaan dalam Kristus bukanlah kebahagiaan eksklusif milik sendiri. Itu adalah buah kasih yang membuat orang mesra dengan Allah dan terbuka peduli kepada siapapun terutama yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Dengan demikian segala tindakan berkurban selalu bercorak sosial.

Penghalang

Bahagia memang tidak identik dengan rasa nyaman dan senang. Banyak orang tua akan merasa bahagia karena jerih payah sehari-hari membuahkan kehidupan anak yang bermartabat dan berbudi luhur. Seorang pemuda merasa bahagia karena bisa membuat pacar ceria meskipun harus melakukan hal yang terasa berat. Seorang anak merasa lega dan p0uas bisa membantu orang tua meringankan beban kerja bahkan ikut mencari tambahan uang. Seorang pemimpin atau tokoh masyarakat bisa berbinar-binar hatinya karena berhasil memperjuangkan kesejahteraan banyak orang. Tetapi semua bisa tidak tercapai. Dalam hal ini bagi orang beriman, kalau gagal bahagia, ada hal yang menjadi penghalang. Secara umum memang dapat dikatakan bahwa, sekalipun setiap orang merindukan kebahagiaan sejati yang bersumber pada Allah, orang selalu “condong kepada yang jahat dan dapat keliru” (KGK 1707).

Berkaitan dengan kecondongan pada yang jahat dan keliru, KGK 1723 mengutip yang dikatakan oleh J.H. Newman :


"Semua orang bertekuk lutut di depan kekayaan: manusia, kebanyakan orang, menyembahnya secara naluriah. Mereka mengukur kebahagiaan menurut kekayaan, dan menurut kekayaan mereka mengukur juga nilai seseorang.... Semuanya itu berasal dari keyakinan bahwa dengan kekayaan orang bisa beroleh segaIa sesuatu. Kekayaan adalah salah satu berhala dewasa ini, dan selanjutnya kesohoran... Kemasyhuran, kenyataan bahwa seorang dikenal dan disanjung dunia (satu hal yang bisa disebut "bintang pers") telah dianggap sebagai sesuatu hal yang baik dalam dirinya sendiri, suatu kebaikan tertinggi, satu obyek untuk dihormati" (J. H. Newman, mix. 5: Tentang Kekudusan).

 

Dari kata-kata Newman saya menemukan dua hal pokok, yaitu kekayaan dan kemasyhuran. Sebenarnya kekayaan bukanlah hal yang harus disingkiri. Yang menjadi soal kalau orang tidak kaya di hadapan Allah (bandingkan Luk 12:13-21). Demikian juga dengan kemasyhuran. Orang karena kebaikannya lalu menjadi terkenal, hal itu tidak dapat menjadi alasan untuk mengatakan tidak mulia. Itu semua akan menjadi berhala masa kini kalau membuat orang tidak bersih hatinya dari “nafsu yang jahat dan berusaha supaya mencintai Allah di atas segala-galanya” (KGK 1723).

 

Pemuja kekayaan

Orang memang membutuhkan barang benda. Tetapi seorang pemuja kekayaan akan meletakkan kebahagiaan dalam kepemilikan kekayaan. Kebahagiaan akan dianggap makin mendalam kalau kekayaan makin besar. Dari pengalaman, orang yang meletakkan kebahagiaan pada kekayaan mudah selalu merasa kurang. Kita bisa merujuk pada koruptor yang masuk dalam pengadilan. Biasanya perkara korupsi yang membuat masuk penjara adalah hal-hal yang diambil ketika orang sudah kaya bahkan amat kaya. Apalagi kalau dia memiliki kekuasaan, orang bisa mabuk mengambil dan mengeruk kekayaan tanpa memperhatikan hak kepemilikan. Kehausan akan kekayaan seperti ini juga bisa terjadi pada orang-orang kecil dengan taraf ekonomi bawah. Jiwa seperti ini membuat orang mudah melanggar Perintah Allah kesepuluh “Jangan mengingini milik sesamamu”. KGK 2536 menyebut yang seperti ini sebagai keserakahan. Dan “seorang tamak tidak pernah memiliki uang yang cukup”. Orang serakah atau tamak hanya mementingkan diri dan mudah iri hati terhadap kekayaan orang lain. Santo Paulus menyebut jiwa mementingkan diri dan iri hati sebagai bagian kehidupan yang tidak berada dalam lingkup karya Roh Kudus (band. Gal 5:20). Padahal Roh Kudus adalah daya Allah Tritunggal sumber segala kepuasan. Pemujaan terhadap kekayaan merupakan penyembahan berhala masa kini. Maka Tuhan Yesus berkata “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya itu”(Luk 12:15).

 

Pengejar ketersohoran

Menjadi sosok populer tentu tidak dapat dipersalahkan. Dikenal banyak orang tentu juga bisa disyukuri. Tentu saja semua itu berkaitan dengan sikap dan atau tindakan baik dan luhur. Yang menjadi soal adalah kalau orang mengejar popularitas. Orang haus akan kemasyhuran. Sikap seperti ini membawa orang berada dalam kerangka jiwa penuh persaingan. Sadar atau tidak sadar orang bisa berusaha menutup kesempatan orang lain menjadi baik. Bahkan bisa jadi orang akan terfokus pada kekurangan bahkan keburukan orang lain. Dalam hal ini, bagi kalangan kaum beriman, kehausan popularitas atau ketersohoran adalah berhala yang membuat orang lalai akan kewajiban yang harus terjadi di kedalaman hati. Bagi orang beriman hanya Tuhanlah yang harus dimasyhurkan. “Ya TUHAN, Allah kami, tuan-tuan lain pernah berkuasa atas kami, tetapi hanya nama-Mu saja kami masyhurkan.” (Yes 26:13) Kemasyhuran itu adalah milik Tuhan (1Taw 29:11). Tentu saja bagi yang beriman Kristiani semua itu bermuara pada sabda dan karya Tuhan Yesus Kristus sehingga Santo Paulus berkata “Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, – menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya” (Rom 16:25). Maka keinginan atau nafsu mengejar ketersohoran untuk diri sendiri, yang untuk masa kini tampaknya menjadi arus zaman, adalah bentuk berhala pengaruh kekuatan setan.

Kentungan, 10 Oktober 2022

D Bambang Sutrisno, Pr.

No comments:

Post a Comment

Jadi Katekumen Masuk Sorga Minggu 5

    "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Ker...