Sebuah Catatan
Berhadapan dengan judul di atas, yang menjadi tema Misa Lansia Paroki Pringgolayan 14 Oktober 2022, saya sempat tersenyum dalam hati. Dalam benak saya muncul pertanyaan : Apakah itu berkaitan dengan suami istri usia di atas 60 tahun? Bagaimanakah dengan yang bertahan sebagai janda atau duda? Apakah itu menyangkut lansia yang masih serumah dengan anak dan atau cucu? Bagaimana dengan yang sudah tidak hidup bersama anak dan atau cucu? Kita memang masih dapat mempertanyakan apa yang digambarkan dengan sebuah keluarga. Apakah itu keluarga inti yang hanya terdiri dari ibu, bapak, anak, cucu? Apakah itu keluarga besar yang menyangkut siapapun yang memiliki hubungan kesamaan keluarga yang dipersekutukan dalam garis-garis silsilah?
Posisi Lansia dalam Keluarga
Kalau memperhatikan bacaan yang dipilih dalam Misa, Ulangan 6:1-7 dan Matius 15:1-4, yang mendapatkan tekanan gambaran lansia di tengah anak-anaknya. Ibu dan atau bapak dalam kaitan dengan anak-anak. Tetapi dalam pembicaraan ini saya juga memperhitungkan perempuan atau laki-laki lansia yang menjomblo sebagaimana para janda atau duda atau tak berkeluarga termasuk para imam, suster, dan bruder. Dalam pembicaraan ini saya akan memusatkan diri pada posisi lansia di tengah-tengah keluarga atau kerabat atau orang serumah dan bahkan orang-orang dekat. Saya juga akan berusaha untuk berbicara dalam konteks zaman kini.
Kondisi lansia pada umumnya
Sebagai manusia lansia bisa menyadari beberapa segi dalam hidupnya. Di sini saya mencoba memahami beberapa segi dari lansia dengan kategirisasi merujuk pada yang ada dalam Wedhatama karya KGPAA Mangkunagoro IV no. 48. Di situ saya mencoba mengetengahkan kerentanan penghayatan hidup yang pada hemat saya dialami lansia :
- Raga. Secara fisik pada umumnya kaum lansia sudah mengalami penurunan daya. Lebih dari itu tak sedikit lansia yang sudah memiliki penyakit yang diderita secara berkelanjutan. Mau tidak mau hal ini tentu sudah mengurangi leluasanya kenyamanan hidup. Untuk enak badan lansia juga bisa harus menghadapi makanan yang dirasa tidak enak. Sehati-hati dan seterpelihara baik apapun pada umumnya makin lama seorang lansia akan makin lemah dan dalam beberapa atau banyak hal membutuhkan pertolongan.
- Cipta. Tampaknya ada gejala umum bahwa pikiran lansia lebih banyak berorientasi pada yang sudah lewat. Untuk memahami hal baru apalagi bidikan masa depan, ini menjadi hal berat. Daya pembelajaran seperti membaca buku juga sudah mulai melemah. Daya nalar ini makin parah kalau lansia mulai menjadi pikun. Kepikunan membuat kemerosotan daya ingat.
- Jiwa. Ini berhubungan dengan kehidupan spiritual. Kalau dalam pengalaman hidup tidak terbiasa olah batin, orang akan menghayati kejiwaan dalam hidup keagamaan lahiriah. Ketika masih muda dinamika keagamaan masih bisa terjaga dengan ikut kegiatan-kegiatan sesuai dengan perkembangan. Tetapi kalau sudah lansia ada bahaya orang bisa jatuh ke tradisionalisme agama. Orang bisa terpaku dengan pegangan tradisi atau kebiasaan bentuk masa lalu. Hal ini mudah membuat seorang lansia bisa gagap berhadapan dengan kehidupan keagamaan masa kini.
- Rasa. Ini berkaitan dengan segi emosional. Bagi saya masalah yang mudah muncul dalam diri lansia adalah kalau orang merasa kehilangan kedudukan yang menimbulkan penghormatan. Kalau dulu pernah memiliki jabatan dan kini pensiun, orang bisa merasa kehilangan makna hidup. Paling tidak sebagai orang tua yang dulu punya wibawa terhadap anak, karena kini hidup dalam topangan anak, orang bisa merasa kehilangan harga. Lansia demikian bisa menjadi rendah diri dan bisa stres. Sebaliknya, kalau merasa tetap memiliki wibawa, lansia bisa menderita post power syndrome.
Nada bicara saya memang cenderung menunjuk kelemahan. Dari satu sisi memang itu menjadi realita kerentanan kaum lansia. Dari sisi lain itu bisa menjadi bahaya kalau tidak disadari sehingga lansia bisa sulit meraih kebahagiaan.
Pada umumnya bukan penentu
Dalam Kitab Ulangan memang dikatakan “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ul 6:7). Dan dalam Injil yang tadi dibacakan Tuhan Yesus berkata "Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. “ (Mat 15:3-4) Dari firman-firman ini saya menyadari bahwa di hadapan anak-anak yang sudah dewasa, diingatkan adanya kewajiban untuk bertindak baik terhadap orang tua. Semua ini tentu penjabaran dari Sepuluh Perintah Allah yang keempat, yaitu “Hormatilah ayah ibumu”. Perintah ini ditujukan kepada kaum dewasa untuk mengingat akan orang tua yang sudah tidak mampu mandiri. Dalam Ulangan orang tua diingatkan agar terus menerus mengajar anak-anak perintah orang tua di kala masih berada dalam asuhannya di manapun. Bagi saya itu adalah untuk orang tua terhadap anak-anak yang menjadi tanggungannya. Ini terjadi pada orang tua yang belum masuk golongan lansia.
Sebenarnya di dalam Tuhan Yesus orang kalau sudah tua harus ikhlas tidak menjadi tokoh utama. Di dalam Injil Yohanes, sesudah bangkit dari kubur Tuhan Yesus pernah bertanya kepada Simon Petrus “Apakah engkau mencintai Aku?”. Ketika Petrus menjawab “Ya”, Tuhan Yesus berkata “Gembalakanlah domba-domba-Ku”, yang bagi saya itu berarti bertanggungjawablah terhadap tugas kewajiban. Dialog itu terjadi sampai tiga kali. Sesudah itu Tuhan Yesus berkata kepada Petrus “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Dengan merenungkan ayat ini saya menemukan kesejatian orang tua bahkan lansia adalah penghayat hidup bukan untuk kehendak sendiri. Secara praktis orang tua dan lansia sejati akan menempatkan diri bukan sebagai penentu dalam hidup serumah atau rumah tangga.
Yang Harus Diwaspadai
Saya pernah menulis
tentang hidup berbahagia yang sebenarnya menjadi kerinduan semua orang. Saya
akan menyampaikan bagian yang berisi penghalang terjadinya kebahagiaan dalam
diri seseorang. Di sini saya berpegang terutama dengan Katekismus Gereja
Katolik (KGK).
__________________________________________________________________________
Bahagia memang tidak identik dengan rasa nyaman dan senang. Banyak orang tua akan merasa bahagia karena jerih payah sehari-hari membuahkan kehidupan anak yang bermartabat dan berbudi luhur. Seorang pemuda merasa bahagia karena bisa membuat pacar ceria meskipun harus melakukan hal yang terasa berat. Seorang anak merasa lega dan p0uas bisa membantu orang tua meringankan beban kerja bahkan ikut mencari tambahan uang. Seorang pemimpin atau tokoh masyarakat bisa berbinar-binar hatinya karena berhasil memperjuangkan kesejahteraan banyak orang. Tetapi semua bisa tidak tercapai. Dalam hal ini bagi orang beriman, kalau gagal bahagia, ada hal yang menjadi penghalang. Secara umum memang dapat dikatakan bahwa, sekalipun setiap orang merindukan kebahagiaan sejati yang bersumber pada Allah, orang selalu “condong kepada yang jahat dan dapat keliru” (KGK 1707).
Berkaitan dengan kecondongan pada yang jahat dan keliru, KGK 1723 mengutip yang dikatakan oleh J.H. Newman :
"Semua
orang bertekuk lutut di depan kekayaan: manusia, kebanyakan orang, menyembahnya
secara naluriah. Mereka mengukur kebahagiaan menurut kekayaan, dan menurut
kekayaan mereka mengukur juga nilai seseorang.... Semuanya itu berasal dari keyakinan
bahwa dengan kekayaan orang bisa beroleh segaIa sesuatu. Kekayaan adalah salah
satu berhala
dewasa ini, dan selanjutnya kesohoran... Kemasyhuran, kenyataan bahwa seorang
dikenal dan disanjung dunia (satu hal yang bisa disebut "bintang
pers") telah dianggap sebagai sesuatu hal yang baik dalam dirinya sendiri,
suatu kebaikan tertinggi, satu obyek untuk dihormati" (J. H. Newman, mix.
5: Tentang Kekudusan).
Dari kata-kata Newman saya menemukan dua hal pokok, yaitu kekayaan dan
kemasyhuran. Sebenarnya kekayaan bukanlah hal yang harus disingkiri. Yang
menjadi soal kalau orang tidak kaya di hadapan Allah (bandingkan Luk 12:13-21).
Demikian juga dengan kemasyhuran. Orang karena kebaikannya lalu menjadi
terkenal, hal itu tidak dapat menjadi alasan untuk mengatakan tidak mulia. Itu
semua akan menjadi berhala masa kini kalau membuat orang tidak bersih hatinya
dari “nafsu yang jahat dan berusaha supaya mencintai Allah di atas
segala-galanya” (KGK 1723).
Pemuja kekayaan
Orang memang membutuhkan barang benda. Tetapi seorang pemuja kekayaan akan
meletakkan kebahagiaan dalam kepemilikan kekayaan. Kebahagiaan akan dianggap
makin mendalam kalau kekayaan makin besar. Dari pengalaman, orang yang
meletakkan kebahagiaan pada kekayaan mudah selalu merasa kurang. Kita bisa
merujuk pada koruptor yang masuk dalam pengadilan. Biasanya perkara korupsi
yang membuat masuk penjara adalah hal-hal yang diambil ketika orang sudah kaya
bahkan amat kaya. Apalagi kalau dia memiliki kekuasaan, orang bisa mabuk
mengambil dan mengeruk kekayaan tanpa memperhatikan hak kepemilikan. Kehausan
akan kekayaan seperti ini juga bisa terjadi pada orang-orang kecil dengan taraf
ekonomi bawah. Jiwa seperti ini membuat orang mudah melanggar Perintah Allah
kesepuluh “Jangan mengingini milik sesamamu”. KGK 2536 menyebut yang seperti
ini sebagai keserakahan. Dan “seorang tamak tidak pernah memiliki uang yang
cukup”. Orang serakah atau tamak hanya mementingkan diri dan mudah iri hati
terhadap kekayaan orang lain. Santo Paulus menyebut jiwa mementingkan diri dan
iri hati sebagai bagian kehidupan yang tidak berada dalam lingkup karya Roh
Kudus (band. Gal 5:20). Padahal Roh Kudus adalah daya Allah Tritunggal sumber
segala kepuasan. Pemujaan terhadap kekayaan merupakan penyembahan berhala masa
kini. Maka Tuhan Yesus berkata “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala
ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah
tergantung pada kekayaannya itu”(Luk 12:15).
Pengejar ketersohoran
Menjadi sosok populer tentu tidak dapat dipersalahkan. Dikenal banyak orang
tentu juga bisa disyukuri. Tentu saja semua itu berkaitan dengan sikap dan atau
tindakan baik dan luhur. Yang menjadi soal adalah kalau orang mengejar
popularitas. Orang haus akan kemasyhuran. Sikap seperti ini membawa orang
berada dalam kerangka jiwa penuh persaingan. Sadar atau tidak sadar orang bisa
berusaha menutup kesempatan orang lain menjadi baik. Bahkan bisa jadi orang
akan terfokus pada kekurangan bahkan keburukan orang lain. Dalam hal ini, bagi
kalangan kaum beriman, kehausan popularitas atau ketersohoran adalah berhala
yang membuat orang lalai akan kewajiban yang harus terjadi di kedalaman hati.
Bagi orang beriman hanya Tuhanlah yang harus dimasyhurkan. “Ya TUHAN, Allah kami, tuan-tuan
lain pernah berkuasa atas kami, tetapi hanya nama-Mu saja kami masyhurkan.” (Yes
26:13) Kemasyhuran itu adalah milik Tuhan (1Taw 29:11). Tentu saja bagi yang
beriman Kristiani semua itu bermuara pada sabda dan karya Tuhan Yesus Kristus
sehingga Santo Paulus berkata “Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, – menurut Injil yang
kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan
rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya” (Rom 16:25). Maka
keinginan atau nafsu mengejar ketersohoran untuk diri sendiri, yang untuk masa
kini tampaknya menjadi arus zaman, adalah bentuk berhala pengaruh kekuatan
setan.
__________________________________________________________________________
Dari tulisan itu saya yakin bahwa lansia yang masih mengejar kekayaan atau memuja kekayaan pasti akan jauh dari kebahagiaan. Dia akan jatuh dalam keserakahan yang kalau makin mabuk orang tidak akan peduli merugikan orang lain. Kaum serakah adalah kaum abai bimbingan Roh Kudus dan dipenuhi oleh nafsu jahat penyembah mamon. Selain itu yang menjauhkan lansia dari kebahagiaan adalah nafsu kesohor. Sebagai pemuja kemasyhuran orang jatuh dalam penyakit jiwani post power syndrome yang mudah memandang tokoh lain saingan bahkan musuh. Persaingan dan permusuhan tidak akan menghadirkan kebahagiaan.
Sikap TAAT Penjamin Kebahagiaan
Hidup berada dalam ketentuan orang lain, sehingga tak dapat berbuat sesuai kehendak sendiri, bisa menjadi penderitaan. Tetapi justru hidup tak sesuai dengan kehendak sendiri inilah yang bisa menjadi jalan tol menyatu dengan Allah. Siapapun yang mengurus kehidupan saya sebagai lansia akan menjadi wakil Allah. Barangkali ini adalah sikap kedalaman batin Ibu Maria ketika berkata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38)
Allah adalah sumber segala kebahagiaan. Dalam hal ini saya yakin untuk menyatu dengan Allah Tritunggal harus lewat Kristus sebagai jalan dan kebenaran dan hidup. Puncak kehidupan Kristus ternyata juga kehidupan penuh derita. Sebenarnya Tuhan Yesus adalah pembawa kemerdekaan sehingga di dalam Roh-Nya siapapun menjadi anak-anak Allah. Bagi saya derita, apalagi kalau terjadi secara tidak adil di bawah penguasa pengejar kenyamanan hidup, akan berat sekali dan sulit sekali untuk menerima dengan ikhlas. Tetapi Kitab Suci menghadirkan catatan ketika Tuhan Yesus berada dalam derita salib. Dalam derita itu “sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibr 5:8).
Ketaatan sebagai jalan yang ditempuh Tuhan Yesus, dalam hidup dan karya dengan puncak sengsara dan wafat, membawa-Nya pada kebahagiaan kebangkitan. Di dalam permenungan saya, saya menyadari bahwa kepuasan sejati atau kebahagiaan adalah buah dari ketaatan. Seorang pelajar atau mahasiswa akan bahagia berhasil dari studinya karena ketaatan akan disiplin studi. Seorang pekerja yang sungguh memiliki ketaatan kerja akan mendapatkan kepuasan batin. Untuk ikut Tuhan Yesus orang dihadapkan dengan janji baptis yang pasti menuntut ketaatan iman. Demikian juga keluarga dengan janji perkawinan. Biarawan-biarawati dituntut menjalani tiga kaul atau prasetya dan satu di antaranya adalah ketaatan. Imam praja mengucapkan kesediaan taat pada uskupnya dan para pengganti di hadapan umat yang hadir pada saat tahbisan.
Bagi saya ketaatan adalah landasan kesejatian hidup bahagia. Sekalipun kami para romo sepuh dahulu malang melintang memiliki kewibawaan menjadi salah satu penentu kehidupan umat, kini kami berada di bawah kepemimpinan sosok yang masih muda. Memang ada hal-hal paling tidak saya merasa tidak cocok. Kadang kala saya harus menjalani ketentuan pimpinan rumah dengan rasa tidak nyaman. Maka, kalau Yesus dalam derita salib belajar taat, bagi saya untuk taat sungguh menjadi proses perjuangan batin. Tetapi entah bagaimana, tahap demi tahap saya bisa pelan-pelan mampu ikhlas menjalaninya. Dan hati saya merasakan binar-binar keceriaan dan juga bisa ikut menghadirkan keceriaan dalam hidup bersama. Pada hemat saya semua itu juga berlaku pada lansia pada umumnya termasuk kaum awam dalam keluarga. Ketaatan sungguh merupakan perjuangan iman yang membuahkan kebahagiaan. Ini menjadi pembelajaran hingga akhir hayat karena beriman adalah perjuangan semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat.
Kentungan, 13 Oktober 2022
D Bambang Sutrisno, Pr.
No comments:
Post a Comment