Friday, October 21, 2022

Santo Paus Yohanes Paulus II

diambil dari katakombe.org/para-kudus Diterbitkan: 14 Agustus 2013 Diperbaharui: 30 Desember 2020 Hits: 30118

  • Perayaan
    22 Oktober
  •  
  • Lahir
    18 May 1920
  •  
  • Kota asal
    Wadowice - Polandia
  •  
  • Wafat
  •  
  • 2 April 2005 di Roma Italia | karena sebab alamiah
  •  
  • Beatifikasi
    1 Mei 2011 oleh Paus Benediktus XVI
  •  
  • Kanonisasi
  •  
  • 27 April 2014 oleh Paus Fransiskus

Masa Kecil dan Remaja

Karol Jozef Wojtyla lahir pada tanggal 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia selatan. Ayahnya yang  juga bernama Karol Wojtyla adalah seorang opsir tentara Kekaisaran Habsburg Austria, dan ibunya bernama Emilia Kaczorowska, seorang keturunan Lituania. Ibunya meninggal pada 13 April 1929, ketika ia berusia delapan tahun. Kakak perempuan Karol, Olga meninggal di waktu bayi sebelum kelahiran Karol; dengan demikian dia tumbuh dan dekat dengan kakaknya Edmund yang lebih tua 14 tahun, dan punya panggilan Mundek.

Sebagai remaja, Wojtyła adalah seorang atlet dan sering bermain sepak bola sebagai penjaga gawang. Di masa kecilnya ia banyak memiliki sahabat orang Yahudi Polandia. Pertandingan sepak bola sering diadakan antara tim Yahudi dan Katolik, dan Wojtyła biasanya secara sukarela akan menawarkan diri menjadi penjaga gawang cadangan di tim Yahudi jika kekurangan pemain.

Pada pertengahan tahun 1938, Karol Wojtyła dan ayahnya meninggalkan Wadowice dan pindah ke Kraków, dimana dia masuk ke Universitas Jagiellonian. Sambil belajar filologi dan berbagai bahasa di universitas, dia menjadi pustakawan sukarela dan juga harus ikut serta dalam wajib militer di Legiun Akademik Resimen Infanteri ke 36 Polandia, namun dia penganut pasifisme dan menolak menembakkan senjata. Dia juga tampil di beberapa grup teater dan menjadi penulis naskah drama.  Selama masa itu, kemampuan berbahasanya berkembang dan dia belajar dan menjadi fasih berbicara dalam  12 bahasa asing, sembilan diantaranya kemudian sering dipakai ketika menjadi Paus (Bahasa Polandia, Slovakia, Rusia, Italia, Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman, dan Inggris, ditambah dengan pengetahuan akan Bahasa Latin Gerejawi).

Pada tahun 1939 terjadi pendudukan Nazi dan menutup universitas tempatnya belajar setelah invasi terhadap Polandia. Semua warga yang sehat diwajibkan bekerja, dari tahun 1940 sampai 1944, Wojtyła bekerja berbagai macam mulai dari pencatat menu di restoran, pekerja kasar tambang batu kapur, dan di pabrik kimia Solvay untuk menghindari dideportasi ke Jerman.

Pada usia 20, Santo Johanes Paulus II  sudah kehilangan semua orang yang dicintainya. Ayahnya, meninggal karena serangan jantung pada 1941, meninggalkan Karol seorang diri dari sisa keluarga.  "Saya tidak ada pada saat kematian ibu saya, saya tidak ada pada saat kematian kakak saya, saya tidak ada pada saat kematian ayah saya" katanya, menceritakan masa-masa kehidupannya ketika itu, hampir empat puluh tahun kemudian.

Dia kemudian mulai berpikir serius untuk menjadi pastor setelah kematian ayahnya. Pada Oktober 1942 dia mengetuk pintu Wisma Uskup Agung di Kraków, dan menyatakan bahwa dia ingin belajar menjadi pastor. Tidak lama kemudian, dia mulai belajar di seminari rahasia yang dijalankan oleh uskup agung Kraków Kardinal Adam Stefan Sapieha.

Pada 6 Agustus 1944, “Minggu Hitam”, Gestapo mengumpulkan para pria muda di Kraków untuk menghindari demonstrasi yang serupa dengan demonstrasi di Warsawa. Wojtyła selamat dengan bersembunyi di ruang bawah tanah rumah pamannya di 10 Tyniecka Street, ketika tentara Jerman mencari di lantai atas. Lebih dari 8000 pria dan pemuda ditangkap hari itu, namun dia kemudian bersembunyi di Wisma Uskup Agung dan ia tetap tinggal disana sampai Jerman pergi.

Pada 17 Januari 1945 malam, Jerman meninggalkan Polandia sehingga Wojtyła dan para seminaris lainnya bisa kembali bersekolah. Bulan itu, Wojtyła menolong seorang gadis pengungsi Yahudi berusia 14 tahun bernama Edith Zierer yang melarikan diri dari perkampungan buruh di Częstochowa. Setelah terjatuh dari peron stasiun kereta, Wojtyła membawanya ke kereta dan menemaninya hingga selamat sampai Kraków. Zierer sangat berterima kasih pada Wojtyła yang menyelamatkan hidupnya hari itu. B'nai B'rith sebuah organisasi Yahudi dan beberapa otoritas lainnya menyatakan bahwa Wojtyła telah menolong dan melindungi banyak Yahudi Polandia lainnya dari Nazisme pada saat pendudukan Jerman.

Menjadi pastor

Setelah menyelesaikan pendidikan seminari di Kraków, Karol Wojtyła ditahbiskan sebagai pastor di Hari Para Orang Kudus pada 1 November 1946,  oleh uskup agung Kraków, Kardinal Adam Stefan Sapieha. Dia kemudian berangkat untuk belajar teologi di Roma, di Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas (Pontifical International Athenaeum Angelicum), di mana dia kemudian mendapat Diploma Teologi Suci dan kemudian Doktor Teologi Suci. Gelar Doktorat ini yang pertama dari dua, didasarkan pada disertasi Latin "Doktrin Iman Menurut Santo Yohanes dari Salib Suci".

Dia kembali ke Polandia pada musim panas 1948 dengan tugas pertama pastoral di desa Niegowić, lima belas mil dari Kraków. Setibanya di Niegowić pada musim panen, tindakan pertama yang dilakukannya adalah berlutut dan mencium lantai. Tindakan ini diadaptasi dari kebiasaan santo Jean Marie Baptiste Vianney yang berasal dari Perancis, yang kemudian menjadi ciri khasnya ketika menjadi Paus.

Pada Maret 1949, dia dipindahkan ke paroki Santo Florian di Kraków. Di sana ia juga mengajar ilmu etika di Universitas Jagiellonian kemudian di Universitas Katolik Lublin (sekarang : John Paul II Catholic University of Lublin). Sambil mengajar, Wojtyła bergabung dan membimbing sebuah grup yang terdiri dari 20 pemuda, yang kemudian mereka juluki Rodzinka, atau "keluarga kecil". Mereka berkumpul untuk berdoa, diskusi filosofi, serta menolong orang buta dan sakit. Grup ini kemudian berkembang sampai sekitar 200 anggota, dan kegiatannya bertambah dengan bermain ski tahunan dan kayak.

Tahun 1954 dia memperoleh doktorat kedua, dalam bidang filosofi. Namun pemerintah Komunis Polandia menghalanginya memperoleh gelar sampai tahun 1957.

Menjadi uskup, uskup agung dan kardinal

Pada 4 Juli 1958 Paus Pius XII mengangkatnya menjadi uskup pembantu (auxiliary bishop) di Kraków. Dia dipanggil ke Warsawa, untuk bertemu Primat Polandia Kardinal Stefan Wyszyński, yang memberitahunya mengenai pengangkatannya.  Dia menyetujui untuk membantu uskup agung Eugeniusz Baziak sebagai uskup pembantu, dia ditahbiskan ke keuskupan menggunakan nama Uskup Ombi pada 28 September 1958.  Waktu itu usianya baru  38 tahun dan ia menjadi uskup termuda di Polandia. Uskup Baziak wafat pada Juni 1962 dan pada 16 Juli 1962, Karol Wojtyła terpilih sebagai Vicar Capitular, atau administrator sementara keuskupan agung sampai uskup agung baru terpilih. 

Menjadi Paus

Agustus 1978 Paus Paulus VI  wafat. Karol Wojtyła yang saat itu sudah diangkat menjadi seorang Kardinal ikut menghadiri konklaf Paus yang akhirnya memilih Kardinal Albino Luciani, Kardinal Venesia, sebagai Paus Yohanes Paulus I.  Namun tidak diduga pada tanggal 28 September 1978, hanya 33 hari setelah menjabat, Paus Yohanes Paulus I wafat. Kardinal Wojtyła kembali lagi ke Vatikan untuk menghadiri konklaf kedua  yang diadakan tanggal 14 Oktober, sepuluh hari setelah pemakaman Paus Yohanes Paulus I.

Kardinal Wojtyła dengan tidak disangka-sangka akhirnya terpilih untuk menjadi paus. Dia kemudian memilih nama Yohanes Paulus II untuk menghormati pendahulunya, dan menerima pemilihannya dengan kata-kata: “Dengan ketaatan dalam iman Kristus, Tuhanku, dan dengan kepercayaan pada Bunda Kristus dan Gereja, meskipun dalam kesulitan yang besar, saya menerima”.

Kardinal Wojtyła menjadi Paus yang ke-264 dan merupakan Paus yang bukan orang Italia pertama setelah Paus Adrianus VI (paus ke-218, masa kepausan 1522-1523). Dengan usia 58 tahun, Paus Yohanes Paulus II menjadi Paus termuda yang pernah dilantik sejak Paus Pius IX pada 1846, yang ketika dilantik berusia 54 tahun.

 

Catatan Perjalanan pastoral

Selama masa kepausannya, Paus Yohanes Paulus II melakukan perjalanan ke 129 negara, dan mencatat lebih dari 1,1 juta kilometer jarak perjalanan. Dia selalu menarik perhatian banyak orang dalam perjalanannya, beberapa kunjungannya dicatat menghadirkan kumpulan manusia yang terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah. Seperti saat ia menghadiri  Hari Pemuda Sedunia di Manila tahun 1995, dimana berkumpul sekitar 5 juta orang. Sebagian orang memperkirakan bahwa ini mungkin merupakan perkumpulan orang Kristen terbesar yang pernah ada.

Dua dari kunjungan resmi Paus Yohanes Paulus II adalah ke Meksiko pada Januari 1979 dan ke Polandia pada Juni 1979, di mana selalu dikerumuni oleh kegembiraan manusia. Kunjungan pertama ke Polandia ini meningkatkan semangat nasional dan mencetuskan formasi gerakan Solidaritas (Solidarność) pada tahun 1980, yang membawa kebebasan dan hak asasi pada negara yang bermasalah ini.  Perjalanannya ini menguatkan pesannya dan Polandia memulai proses yang kemudian mengalahkan dominasi Komunis Uni Soviet di Eropa Timur pada tahun 1989.

Sementara beberapa kunjungannya (seperti ke Amerika Serikat dan Tanah Suci Yerusalem) meneruskan kunjungan sebelumnya dari Paus Paulus VI, Yohanes Paulus II menjadi Paus pertama yang berkunjung ke Gedung Putih ketika perjalanan ke AS pada Oktober 1979, di mana dia disambut dengan hangat oleh calon presiden waktu itu Jimmy Carter.

Santo Paus Yohanes Paulus II juga berkunjung ke banyak negara dimana belum pernah ada Paus yang berkunjung sebelumnya. Dia adalah Paus pertama yang mengunjungi Meksiko di Januari 1979, sebelum berkunjung ke Polandia sebagai Paus, juga ke Irlandia pada tahun yang sama.

Tahun 1982 Papa Giovanni Poulo II (bahasa italia untuk Paus Yohanes Paulus II)  menjadi Paus yang memerintah pertama yang berkunjung ke Britania Raya, dimana dia bertemu Ratu Elizabeth II dan Gubernur Agung dari Gereja Inggris.

Dia melakukan perjalanan ke Haiti pada 1983, dimana dia berbicara dalam bahasa kreol kepada ribuan warga Katolik miskin yang berkumpul menyambutnya di bandar udara. Pesannya, "Sesuatu harus berubah di Haiti", berdasarkan pada perbedaan yang menyolok antara kaya dan miskin, mendapat tepuk tangan bergemuruh dari lautan massa yang hadir.

Pada kunjungan lima harinya ke Indonesia pada 8-12 Oktober 1989, Paus Yohanes Paulus II menyinggahi Jakarta, Yogyakarta, Maumere, Dili (Timor Timur - waktu itu masih menjadi provinsi ke 27 Indonesia), dan Medan. Dalam kunjungan itu Sri Paus memimpin Misa Agung dan berdialog langsung dengan lebih dari satu juta orang. Pada Misa Agung di Senayan, Paus mengucapkan doa Tanda Salib: “Atas nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus” dalam bahasa Indonesia yang lancar, yang dijawab umat “Amin”. Misa itu seluruhnya berlangsung dalam Bahasa Indonesia, dan Paus dapat melafalkan doa dan nyanyian dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan lancar, nyaris tanpa salah, termasuk ketika menyanyikan Prefasi yang panjang.  Paus Yohanes Paulus II juga mengadakan pertemuan khusus dengan kaum awam dan cendekiawan Katolik Indonesia di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta, serta meresmikan gedung baru "Karol Wojtyła".

Pada 15 Januari 1995, ketika berlangsung Hari Pemudia Dunia X, dia mengadakan misa untuk sekitar lima sampai tujuh juta umat di Luneta Park, Manila, Filipina, yang menjadi pertemuan tunggal terbesar dalam sejarah Kristen.

Pada tahun 2000, dia adalah Paus modern pertama yang berkunjung ke Mesir, dimana dia bertemu dengan paus Gereja Koptik, Paus Shenouda III dan Patriark Ortodoks Yunani dari Alexandria.

Kaum muda kita terancam... dengan teknik jahat iklan yang membuat mereka menghindari kerja keras dan berharap mendapat kepuasan cepat atas setiap segala sesuatu yang mereka inginkan" —Paus Yohanes Paulus II.

Pada Maret 2000, ketika mengunjungi Yerusalem, Yohanes Paulus II menjadi paus pertama dalam sejarah yang berkunjung dan berdoa di Tembok Ratapan. Pada September 2001, dalam suasana paskah setelah Serangan 11 September 2001, dia melakukan perjalanan ke Kazakhstan dengan pengunjung yang kebanyakan adalah muslim, dan ke Armenia, untuk menghadiri peringatan 1.700 tahun masuknya Kristen di negara itu. 


Semangat Oikumene dan Hubungan dengan agama lain.

Paus Yohanes Paulus II melakukan sangat banyak perjalanan dan bertemu dengan para penganut agama dan kepercayaan lain. Dia selalu mencoba mencari dasar yang sama untuk berkomunikasi, baik doktrin atau dogma. Pada hari Doa Sedunia untuk Perdamaian, yang diadakan pada 27 Oktober 1986 di Assisi, Paus menghimpun lebih dari 120 wakil agama dan kepercayaan serta berbagai denominasi Kristen meluangkan waktu sehari bersama untuk berpuasa dan berdoa.

Membina hubungan dengan Gereja Anglikan.

Paus Yohanes Paulus II mempunyai hubungan yang baik dengan Gereja Anglikan Inggris. Ia berupaya mengubur sejarah kelam saat terjadi pemisahan gereja Inggris dari Gereja Khatolik Roma yang diikuti oleh penganiayaan dan pembunuhan bagi orang-orang khatolik yang setia pada paus di Roma. Seperti pendahulunya Paus Paulus VI, ia menyebut Gereja Inggris dengan sebutan "yang tercinta Saudari Gereja".  ketika berkunjung ke Britania Raya Papa Giovanni Paolo II berkotbah di Katedral Canterbury, dan menerima Uskup Agung Canterbury dengan bersahabat dan penuh kesopanan.

Pada 1980 Yohanes Paulus II mengeluarkan pengecualian pastoral yang memungkinkan mantan imam Episkopal Anglikan yang pernah menikah untuk menjadi imam Katolik, dan untuk menerima bekas paroki Gereja Episkopal Anglikan menjadi Gereja Katolik. Dia juga mengijinkan penciptaan bentuk Anglikan dari Ritus Latin, yang menggabungkan Buku Umum Doa Anglikan. Upaya bersejarah Oikumene Yohanes Paulus II dengan Komuni Anglikan diwujudkan dengan berdirinya Gereja Katolik Bunda Penebusan (bentuk Anglikan), bekerjasama dengan Uskup Agung Patrick Flores dari San Antonio, Texas di Amerika Serikat.

Namun, Paus kecewa dengan keputusan Gereja Inggris yang memberikan Sakramen Imamat kepada perempuan dan melihatnya sebagai sebuah langkah mundur dalam upaya Oikumene Gereja dan kesatuan Komuni Anglikan dan Gereja Katolik.

Membina Hubungan dengan Gereja Lutheran

Pada perjalanan Kepausannya ke Norwegia, Islandia, Finlandia, Denmark dan Swedia 1-10 Juni 1989, Yohanes Paulus II menjadi paus pertama yang berkunjung ke negara-negara dengan mayoritas gereja Lutheran.  Selain merayakan Misa dengan umat Katolik, dia berpartisipasi dalam pelayanan Oikumene di tempat-tempat dulunya adalah tempat suci Gereja Katolik sebelum reformasi Lutheran pada abad 16 seperti : Katedral Nidaros Norwegia, Thingvellir Islandia, Katedral Turku Finlandia, Katedral Roskilde Denmark dan Katedral Uppsala Swedia.

Pada 31 Oktober 1999 (ulang tahun ke 482 Hari Reformasi), perwakilan dari Vatikan dan Federasi Lutheran se-Dunia menandatangani Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran, sebagai tanda penyatuan.

Komitmen Nyata untuk mempersatukann Gereja

Pada Mei 1999, Yohanes Paulus II mengunjungi Rumania atas undangan dari Patriark Teoctist Arăpaşu dari Gereja Ortodoks Rumania. Ini adalah untuk pertama kalinya seorang Paus Gereja  Roma mengunjungi sebuah negara yang didominasi Gereja Ortodoks sejak Skisma Timur-Barat dalam jangka waktu sepuluh abad (sejak tahun 1054).  Pada kedatangannya, Patriark dan presiden Rumania, Emil Constantinescu menyambut Paus. Patriark menyatakan, "Milenium kedua dalam sejarah Kristen dimulai dengan luka yang menyakitkan dari persatuan Gereja; akhir dari milenium ini telah terlihat komitmen yang nyata untuk memulihkan persatuan Kristen."

Paus Yohanes Paulus II mengunjungi negara dengan penganut Ortodoks lainnya yang besar, Ukraina pada 23-27 Juni 2001 atas undangan presiden Ukraina dan uskup Gereja Katolik-Yunani Ukraina. Paus berbincang dengan para pimpinan Dewan Gereja-gereja dan Keagamaan Seluruh Ukraina, memohon untuk "sebuah dialog yang terbuka, toleran dan jujur".  Sekitar 200 ribu orang menghadiri perayaan liturgi yang dipimpin Paus di Kiev, dan liturgi di Lviv dihadiri hampir satu setengah juta umat.

Yohanes Paulus II menyatakan bahwa akhir dari Skisma Besar dan menyembuhkan luka perpisahan antara Gereja Katolik dan gereja-gereja Ortodoks Oriental adalah salah satu harapannya.  

Selama perjalanan tahun 2001, Yohanes Paulus II menjadi Paus pertama yang mengunjungi Yunani dalam 1291 tahun. Di Athena, Paus bertemu dengan Uskup Agung Christodoulos, pimpinan Gereja Ortodoks Yunani. Setelah pertemuan tertutup 30 menit, keduanya berbicara pada publik. Christodoulos membaca daftar  "13 pelanggaran" dari Gereja Katolik Roma terhadap Gereja Ortodoks Oriental sejak Skisma Besar, termasuk Penjarahan Kota Konstantinopel oleh Para Ksatria perang Salib pada tahun 1204. Ia meratapi kurangnya permintaan maaf dari saudaranya Gereja Katolik Roma. Uskup Christodoulos berkata : "Hingga sekarang, belum pernah terdengar satupun permintaan maaf dari Gereja Roma atas kelakuan Ksatria-ksatria gila pada jaman perang Salib abad ke 13."

Santo Yohanes Paulus II menanggapi dengan berkata : "Untuk kesempatan dulu dan sekarang, ketika putra dan putri Gereja Katolik telah berdosa atas tindakan atau kelalaian terhadap saudara-saudara mereka dari kaum Ortodoks, semoga Tuhan memberikan kita pengampunan."  Sebuah ucapan yang tulus yang mana langsung disambut tepuk tangan oleh Uskup Christodoulos dan seluruh umat yang hadir. Luka batin  selama lebih dari seribu tahun diantara kedua Gereja ini seakan lenyap tak berbekas saat Paus Johannes Paulus II dan Uskup Christodoluos saling berangkulan layaknya dua orang saudara.  Banyak saksi mata yang mengatakan bahwa mata keduanya berkaca-kaca.
Johannes Paulus II juga mengatakan bahwa penjarahan Kota Konstantinopel adalah sumber "penyesalan yang mendalam" untuk Gereja Katolik.

Kemudian Yohanes Paulus II dan Christodoulos bertemu di lokasi dimana Santo Paulus pernah mewartakan ajaran Kristen kepada orang-orang Athena. Mereka mengeluarkan ‘deklarasi bersama’, yang mengatakan "Kami akan mengupayakan segala daya, agar akar Kristen di Eropa dan jiwa Kristen dapat dipertahankan. ... Kami mengutuk semua jenis kekerasan, proselitisme, fanatisme, atas nama agama" Kedua pemimpin Gereja Kristen itu lalu melakukan Doa Bapa Kami bersama, dan menyingkirkan tabu yang berlangsung selama seribu tahun bahwa Ortodoks tidak boleh berdoa bersama Katolik.

Paus juga pernah berkata selama masa kepemimpinannya bahwa salah satu mimpi besarnya adalah mengunjungi Rusia, namun sayangnya hal ini tidak pernah terwujud. Walau begitu Paus yang Agung ini  mencoba menyelesaikan masalah yang telah ada selama berabad-abad antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Rusia, seperti mengembalikan ikon  Our Lady of Kazan pada bulan Agustus 2004 kepada gereja Ortodoks Rusia.

Yudaisme

Pada masa kanak-kanak, Karol Wojtyła sudah bersahabat dengan banyak tetangga Yahudinya.  Pada tahun 1979 dia menjadi Paus pertama yang mengunjungi kamp konsentrasi Auschwitz Jerman di Polandia, dimana banyak warga sebangsanya (mayoritas Yahudi Polandia) meninggal selama pendudukan Nazi pada Perang Dunia II. Pada tahun 1998 dia mengeluarkan dokumen "Kami Ingat : Sebuah Refleksi Shoah" yang menggambarkan pemikirannya tentang Holocaust. Dia juga menjadi paus pertama yang diketahui melakukan kunjungan resmi kepausan ke sebuah sinagoga, ketika dia mengunjungi Sinagoga Agung di Roma pada 13 April 1986.

Pada tahun 1994, Yohanes Paulus II meresmikan hubungan diplomatik resmi antara Tahta Suci dan Negara Israel, mengakui sentralitas kehidupan Yahudi dan keimanannya. Untuk menghargai peristiwa ini, Paus Yohanes Paulus II menyelenggarakan ‘Konser Kepausan Memperingati Holocaust’. Konser ini, disusun dan dilaksanakan oleh Maestro Amerika Gilbert Levine, dihadiri oleh Ketua Rabi di Roma, Presiden Italia, dan mereka yang selamat dari Holocaust dari seluruh dunia.

Kami sangat sedih oleh perilaku orang-orang yang dalam perjalanan sejarah telah menyebabkan anak-anak Anda untuk menderita dan kami meminta pengampunan Anda, kami ingin membaktikan diri pada persaudaraan sejati dengan orang-orang Kovenan.” —Paus Yohanes Paulus II (12 Maret 2000) dari catatan yang ditinggalkan Paus di Tembok Ratapan Yerusalem.

Pada Maret 2000, Yohanes Paulus II mengunjungi Yad Vashem, tugu peringatan Holocaust di Israel, dan kemudian membuat sejarah dengan menyentuh satu dari tempat tersuci Yudaisme, Tembok Ratapan di Yerusalem, menaruh sebuah pesan di dalamnya (dimana dia berdoa mohon pengampunan atas tindakan yang pernah dilakukan orang-orang Kristen terhadap orang Yahudi).
Di bagian tujuan, dia mengatakan : "Saya yakinkan kepada orang-orang Yahudi, bahwa Gereja Katolik ... sangat sedih oleh kebencian, penganiayaan dan tindakan anti-Semitisme yang diarahkan kepada orang Yahudi oleh orang Kristen di setiap saat dan di setiap waktu". Dia menambahkan bahwa "tidak ada kata-kata yang cukup kuat untuk menyayangkan tragedi mengerikan dari Holocaust".

Menteri kabinet Israel Rabi Michael Melchior, yang menjadi tuan rumah kunjungan Paus, berkata bahwa dia "sangat terharu" dengan apa yang dilakukan Paus. “Ini diluar sejarah, diluar ingatan.”— Rabi Michael Melchior (26 Maret 2000)

Dengan Yudaisme kami memiliki hubungan yang tidak dimiliki dengan agama lainnya. Anda adalah saudara kami terkasih, dan dengan cara tertentu, dapat dikatakan bahwa Anda adalah saudara tua kita.”  — Paus Yohanes Paulus II (13 April 1986)

Pada Oktober 2003, Anti-Defamation League (ADL) mengeluarkan pernyataan selamat kepada Yohanes Paulus II memasuki 25 tahun kepausannya.  Pada Januari 2005, Yohanes Paulus II menjadi Paus pertama yang diketahui sejarah menerima berkat imam dari seorang rabi, ketika Rabi Benjamin Blech, Barry Dov Schwartz, dan Jack Bemporad mengunjunginya di Clementi Hall di Istana Apostolik.

Segera setelah meninggalnya paus, ADL mengeluarkan pernyataan bahwa Paus Yohanes Paulus II telah mengubah drastis hubungan antara Katolik dan Yudaisme, mengatakan bahwa "banyak perubahan menuju kebaikan terjadi pada 27 tahun masa kepemimpinanya dibanding 2000 tahun sebelumnya."

Budhisme

Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14 mengunjungi Paus Yohanes Paulus II delapan kali, lebih banyak dari para petinggi negara atau agama lainnya. Paus dan Dalai Lama sering berbagi pandangan yang sama dan memahami hal-hal buruk yang mirip, keduanya berasal dari masyarakat yang dikekang oleh komunisme dan keduanya sama-sama adalah pimpinan agama tertinggi.

Islam

Paus Yohanes Paulus II membuat upaya yang cukup signifikan untuk meningkatkan hubungan antara Katolik dan Islam.  Ini adalah suatu hal yang sangat luar biasa mengingat  pada tanggal 13 Mei 1981 ia hampir saja tewas ditembak seorang muslim Turki.  Pada 6 Mei 2001, Paus Yohanes Paulus II menjadi paus Katolik pertama yang memasuki dan berdoa di masjid. Dengan penuh hormat menanggalkan sepatunya, dia masuk ke Masjid Agung Umayyah, sebuah bekas gereja Kristen pada masa Kekaisaran Romawi Timur yang didedikasikan untuk Yohanes Pembaptis (yang diyakini dimakamkan disitu) di Damaskus, Suriah, dan memberikan kotbah termasuk pernyataan: "Untuk masa waktu ketika Muslim dan Kristen pernah menyinggung satu sama lain, kita perlu meminta pengampunan dari Yang Maha Kuasa untuk memberikan pengampunan satu sama lain."  Dia mencium Al-Qur'an di Suriah, sebuah tindakan yang membuatnya terkenal di kalangan Muslim namun mengganggu banyak umat Katolik.

Pada tahun 2004, Paus Yohanes Paulus II mengadakan "Konser Rekonsiliasi Kepausan," yang menghadirkan para pemimpin Islam dengan para pemimpin komunitas Yahudi dan Gereja Katolik di Vatikan dengan konser oleh Kraków Philharmonic Choir dari Polandia, London Philharmonic Choir dari Britania Raya, Pittsburgh Symphony Orchestra dari Amerika Serikat, dan Ankara State Polyphonic Choir dari Turki. Acara ini disiapkan dan dipimpin oleh Sir Gilbert Levine, KCSG dan disiarkan ke seluruh dunia.

Yohanes Paulus II mengawasi penerbitan Katekismus Gereja Katolik yang memuat hal khusus untuk Muslim; di dalamnya, tertulis, "Rencana keselamatan juga mencakup Penciptaan, di tempat pertama diantaranya adalah kaum Muslim; bersama memegang iman Abraham (Nabi Ibrahim dalam Islam), dan bersama-sama memuja satu, Tuhan Maha Penyayang, serta penghakiman manusia pada akhir zaman."

Peran dalam runtuhnya komunisme

Paus Yohanes Paulus II telah dikatakan berperan besar pada jatuhnya komunisme di Eropa Timur, dengan menjadi inspirasi spiritual dibalik kejatuhannya, dan menjadi katalisator untuk "revolusi damai" di Polandia. Lech Wałęsa pendiri Solidarność, menghargai Yohanes Paulus II yang telah memberikan keberanian pada Polandia untuk bangkit melawan komunis.

Warsawa, Moskow, Budapest, Berlin, Praha, Sofia dan Bukares telah menjadi panggung pada perjalanan ziarah panjang menuju kebebasan. Hal yang mengagumkan bahwa dalam peristiwa ini, seluruh masyarakat bebas mengungkapkan diri - wanita, kaum muda, pria, mengatasi rasa takut, mengatasi rasa haus tak tertahankan untuk mempercepat perkembangan kebebasan, membuat tembok runtuh dan gerbang terbuka. ” — Paus Yohanes Paulus II (1989)

Menurut Wałęsa, "Sebelum masa kepausannya, dunia terbagi dalam blok-blok. Tidak ada seorangpun tahu bagaimana keluar dari pengaruh komunisme. Di Warsawa, 1979, dia hanya berkata singkat: "Jangan takut", dan kemudian berdoa: "Biarlah Roh Kudusmu turun dan mengubah wajah bumi... tanah ini".

Pada Desember 1989, Yohanes Paulus II bertemu dengan pimpinan Soviet Mikhail Gorbachev di Vatikan dan keduanya saling mengungkapkan rasa hormat dan kekaguman. Gorbachev pernah mengatakan "Runtuhnya Tirai Besi tidak mungkin terjadi tanpa Yohanes Paulus II".  Pada saat wafatnya Yohanes Paulus II, Mikhail Gorbachev berkata: "Kesetiaan Paus Yohanes Paulus II pada pengikutnya adalah contoh yang patut kita semua tiru." 

Percobaan-percobaan pembunuhan

Pada 13 Mei 1981, Yohanes Paulus II hampir tewas ketika ditembak oleh Mehmet Ali Ağca, seorang muslim ekstremis Turki, kala  ia memasuki lapangan Santo Petrus untuk bertemu umat. Ali Ağca akhirnya dihukum penjara seumur hidup.

Mengapa, bagaimana dan atas perintah siapa percobaan pembunuhan ini dilakukan, masih tetap berupa misteri sampai akhir Maret 2005. Dikatakan dokumen-dokumen penting dari negara-negara mantan anggota Uni Soviet menunjukkan bahwa KGB bertanggung jawab. Motif pembunuhan masih diperdebatkan. Salah satu kemungkinan ialah bahwa rezim komunis Uni Soviet sangat takut akan pengaruh Paus Polandia ini akan stabilitas negara-negara satelit Soviet di Eropa Timur, terutama di Polandia sendiri.

Dua hari setelah Natal, pada 27 Desember 1983, Paus menjenguk orang yang telah mencoba membunuhnya di penjara. Keduanya bercakap-cakap dan berbincang-bincang beberapa lama. Setelah pertemuan ini, Paus kemudian berkata: "Apa yang kita bicarakan harus merupakan rahasia antara dia dan saya. Ketika berbicara dengannya saya anggap ia adalah seorang saudara yang sudah saya ampuni dan saya percayai sepenuhnya."

Sebuah percobaan pembunuhan lainnya terjadi pada 12 Mei 1982, di Fatima, Portugal ketika seorang pria berusaha menikam Paus dengan sebilah bayonet, tetapi dicegah oleh para penjaga. Si pembunuh, adalah seorang pastor ultrakonservatif, berhaluan keras, seorang warganegara Spanyol, bernama Juan María Fernández y Krohn. Dilaporkan ia menentang reformasi Konsili Vatikan II dan memanggil Paus sebagai “Orang Polandia” dan seorang "agen dari Moskwa." Ia kemudian divonis hukuman penjara enam tahun dan lalu diekstradisi dari Portugal.

Ada pula sebuah percobaan pembunuhan Paus pada lawatannya di Manila bulan Januari 1995, yang merupakan bagian dari Operasi Bojinka, sebuah serangan terorisme masal yang dikembangkan oleh anggota kaum ekstremis Muslim Ramzi Yousef dan Khalid Sheik Mohammed. Rencananya seorang pelaku bom bunuh diri akan menyamar sebagai seorang pastor, mendekati parade Paus dan meledakkan diri.  Namun rencana keji bisa dicegah oleh pihak keamanan bahkan sebelum para pelaku menginjakan kaki mereka di Filipina.

Pada tahun 2003, Yohanes Paulus II juga menjadi kritikus terkemuka dari invasi AS dan Sekutunya ke Irak. Pada tahun itu Paus menyatakan ketidak setujuannya terhadap invasi tersebut dengan menyatakan : "Tidak untuk perang! Perang tidak selalu dapat dihindari. Namun perang selalu merupakan kekalahan untuk kemanusiaan."

Dia mengirim Apostolik Pro-Nuncio, Kardinal Pio Laghi,  ke Amerika Serikat untuk berbicara dengan presiden Amerika Serikat George W. Bush untuk menyatakan sikap anti perangnya.

Yohanes Paulus II mengatakan bahwa itu terserah pada PBB untuk menyelesaikan masalah konflik internasional melalui diplomasi dan agresi sepihak merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan pelanggaran terhadap hukum internasional.

Wafat dan pemakaman

31 Maret 2005 Yohanes Paulus II mengalami septic shock; sebuah gejala penyebaran infeksi dengan demam tinggi dan tekanan darah turun. Ia mendapat pengawasan medis dari tim perawat di tempat tinggal pribadinya. Hari itu juga, sumber Vatikan mengumumkan bahwa Yohanes Paulus II telah diberi Sakramen pengurapan orang sakit oleh teman dan sekretarisnya Stanisław Dziwisz. Selama hari-hari terakhir kehidupan Paus, cahaya tetap dinyalakan menerangi malam dimana dia tinggal di lantai atas Istana Apostolik. Puluhan ribu umat berkumpul di Lapangan Santo Petrus dan jalan-jalan sekitarnya selama dua hari. Mendengar kabar ini, paus yang sedang sekarat berkata: "Saya telah mencari untuk Anda, dan kini Anda telah datang kepada saya, dan saya berterima kasih."

Sabtu, 2 April 2005, sekitar pukul 15.30 CEST, Yohanes Paulus II mengatakan kata terakhirnya dalam bahasa Polandia, "pozwólcie mi odejść do domu Ojca", ("biarkan aku pergi ke rumah Bapa"), kepada pendampingnya, dan mengalami koma sekitar empat jam kemudian. Santo Paus Johannes Paulus II meninggal di apartemen pribadinya jam 21:37 CEST (19:37 UTC), 46 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-85.

Kematian Paus Yohanes Paulus II diiringi ritual berusia berabad-abad lamanya dan tradisi yang berawal sejak abad pertengahan. Upacara Pengunjungan berlangsung dari 4 April hingga pagi hari tanggal 8 April di Basilika Santo Petrus. Surat wasiat Paus Yohanes Paulus II yang dipublikasikan pada 7 April  mengungapkan bahwa paus berkeinginan dimakamkan di tanah kelahirannya Polandia namun tergantung dari para Kardinal, yang kemudian memutuskan agar paus yang kudus ini dikebumikan di katakombe di bawah basilika.

Misa Requiem tanggal 8 April dipimpin oleh Kardinal Joseph Ratzinger sebagai Dekan Dewan Kardinal dan dihadiri lebih dari 180 orang Kardinal dari berbagai negara. Misa ini menjadi misa yang memecahkan rekor dunia dalam hal jumlah kehadiran umat dan banyaknya kepala negara yang hadir.  Ini adalah hari berkumpulnya para kepala negara terbesar dalam sejarah, mengalahkan pemakaman Winston Churchill (1965) dan Josep Broz Tito (1980). Empat raja, lima ratu, dan sedikitnya 70 presiden dan perdana menteri, serta lebih dari 14 pimpinan agama dari agama selain Katolik menghadiri pemakaman.

Pemakaman Paus Yohanes Paulus II menjadi pelayatan terbesar dalam sejarah masa Kristen sejak Perang Salib, lebih dari 4 juta pengunjung dari luar kota Roma datang ke Vatikan ditambah dengan lebih dari 3,7 juta penduduk yang menetap di Roma. Namun dari semuanya hanya 2 juta orang yang diizinkan untuk melihat jenazah Yohanes Paulus II.

Dekan Para Kardinal, Kardinal Joseph Ratzinger, yang kemudian menjadi paus berikutnya, memimpin upacara. Yohanes Paulus II dikebumikan di katakombe di bawah basilika, makam para Paus. Ia dikebumikan di liang makam yang sebelumnya dipakai oleh jenazah Paus Yohanes XXIII. Liang itu telah dikosongkan karena jenazah Paus Yohanes XXIII telah dipindahkan ke ruang lain di basilika setelah ia dibeatifikasi.

Gelar yang Agung ( The Great )

Sejak wafatnya Yohanes Paulus II, sejumlah imam di Vatikan dan kaum awam di seluruh dunia telah menyebutnya "John Paul The Great"; sepanjang sejarah hanya empat paus yang disebut demikian, dan ia adalah yang pertama pada milenium ini.

Hukum Kanonik mengatakan bahwa tidak ada proses resmi untuk menyatakan seorang Paus mendapatkan gelar "Yang Agung"; gelar ini muncul sendiri melalui penggunaan populer dan terus menerus, seperti juga pada kasus pemimpin sekuler (sebagai contoh, Aleksander III dari Makedonia menjadi populer dan dikenal sebagai Aleksander Agung. Tiga paus saat ini yang diketahui menyandang "Yang Agung" adalah St. Paus Leo I, yang memimpin dari 440-461 dan membujuk Attila (Attila the Hun) untuk mundur dari Roma; St. Paus Gregorius I, 590-604, yang mengilhami penamaan kidung Gregorian; dan Paus Nikolas I, 858-867.

Penerusnya Paus Benediktus XVI, menyebutnya "Paus Yohanes Paulus II yang agung" pada pidato awalnya dari loggia Gereja Santo Petrus, dan menyebutkan Paus Yohanes Paulus II sebagai "Agung" di homili yang diterbitkan pada Misa pemakamannya (Mass of Repose).

Sejak memberikan homili pada pemakaman Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus selalu menyebut Yohanes Paulus II sebagai "yang Agung".  Pada Hari Pemuda Dunia ke-20 di Jerman 2005, Paus Benediktus XVI, berbicara dalam bahasa Polski, bahasa ibu Yohanes Paulus II, mengatakan, "Seperti Paus Yohanes Paulus II yang Agung akan berkat: jagalah api keimanan dalam kehidupanmu dan kerabat dekatmu." Pada Mei 2006, Paus Benediktus XVI mengunjungi tanah kelahiran Yohanes Paulus II di Polandia. Selama kunjungannya, ia berulang kali menyebut "Yohanes Paulus yang Agung" dan "pendahulu saya yang agung".

Sebagai tambahan Vatikan menyebutnya "yang Agung," banyak surat kabar melakukannya juga. Contohnya, koran Italia Corriere della Sera menyebutnya "yang sangat Agung" dan koran Katolik Afrika Selatan, The Southern Cross, menyebutnya "Yohanes Paulus II Yang Agung".
Julukan “The Great”  (yang agung) akhirnya melekat dalam setiap penyebutan nama Paus Yohanes Paulus II.

Beatifikasi dan Kanonisasi

Sesaat setelah misa Requem dari kerumunan umat yang menghadiri upacara itu terdengar seruan yang terus - menerus dan berulang-ulang : "Santo Subito!" ("jadikan Santo Segera!"). Paus Benediktus XVI memulai proses beatifikasi kepada pendahulunya, melewati batasan normal bahwa lima tahun harus berlalu setelah wafatnya seseorang sebelum proses beatifiksi bisa dimulai. Pada audiensi dengan Paus Benediktus XVI, Camillo Ruini, Vikaris Jenderal Keuskupan Roma dan orang yang bertanggung jawab untuk mempromosikan alasan kanonisasi seseorang, mengutip "keadaan luar biasa" yang menyebabkan masa menunggu bisa diabaikan. Keputusan ini diumumkan pada 13 Mei 2005, pada Perayaan Our Lady of Fátima dan peringatan 24 tahun percobaan pembunuhan Yohanes Paulus II di lapangan Santo Petrus.

Pada awal 2006, dilaporkan bahwa Vatikan sedang menyelidiki kemungkinan mukjizat terkait dengan Yohanes Paulus II. Suster Marie Simon-Pierre, seorang biarawati Perancis dan anggota Konggregasi Little Sisters of Catholic Maternity Wards, yang hanya bisa tergolek di tempat tidurnya karena penyakit Parkinson, dilaporkan mendapatkan pengalaman "kesembuhan total setelah anggota komunitasnya berdoa baginya dengan perantaraan Paus Yohanes Paulus II". 

Pada Mei 2008, Sister Marie-Simon-Pierre, dapat berkarya lagi di rumah sakit ibu dan anak yang dioperasikan oleh biaranya. "Saya sakit dan sekarang saya telah disembuhkan," dia mengatakan pada wartawan Gerry Shaw. "Saya sembuh, namun ini terserah gereja apakah ini adalah mukjizat atau bukan."

Pada Februari 2007, peninggalan Paus Yohanes Paulus II berupa potongan jubah putih yang sering ia gunakan mulai didistribusikan bersama kartu doa untuk suatu alasan, sebuah kebiasaan khas setelah meninggalnya seorang Katolik yang saleh.

Pada peringatan tahun keempat wafatnya Paus Yohanes Paulus II, 2 April 2009, Kardinal Dziwisz, memberitahu wartawan tentang mukjizat yang baru saja muncul di makamnya di Basilika Santo Petrus.  Seorang anak laki Polandia berusia sembilan tahun dari Gdańsk, yang menderita kanker ginjal dan tidak bisa berjalan, berziarah ke makam Paus Yohanes Paulus II bersama orang tuanya. Ketika meninggalkan Basilika Santo Petrus, anak itu mengatakan, "Saya ingin berjalan," dan ia mulai bisa berjalan normal.

Pada 16 November 2009, sebuah panel peninjau dari Congregation for the Causes of Saints mengambil suara secara tertutup bahwa Paus Yohanes Paulus II telah hidup dalam kebajikan.  Pada 19 Desember 2009, Paus Benediktus XVI menanda tangani satu dari dua dekrit (keputusan) yang diperlukan untuk beatifikasi dan menyebut Yohanes Paulus II "Yang Mulia", untuk menandakan bahwa ia hidup dalam kegagahan dan kebajikan.  Pengambilan suara kedua dan dekrit kedua ditanda tangani untuk menandai kebenaran dari mukjizatnya yang pertama (suster Marie Simon-Pierre, biarawati Perancis yang sembuh dari penyakit Parkinson). Begitu dekrit kedua ditanda tangani, positio (laporan alasan, dengan dokumentasi kehidupannya dan tulisan-tulisannya ditambah informasi tentang alasannya) telah dianggap lengkap.  Dia dapat di beatifikasi.

Vatikan mengumumkan pada 14 Januari 2011 bahwa Paus Benediktus XVI telah mengkonfirmasi mukjizat yang terkait suster Marie Simon-Pierre dan Yohanes Paulus II dapat di beatifikasi pada 1 Mei, Minggu Rahmat Ilahi dalam oktaf Paskah dan awal bulan Rosario. 1 Mei juga dirayakan di bekas negara-negara komunis seperti Polandia. dan beberapa negara Eropa Barat sebagai May Day (Hari Buruh), dan Paus Yohanes Paulus II sangat dikenal dalam banyak hal, termasuk dalam kontribusinya dalam runtuhnya Komunisme Eropa Timur dengan damai, yang juga terbukti kebenarannya oleh kesaksian bekas presiden Soviet Gorbachev pada saat wafatnya Yohanes Paulus II.

Pada 29 April 2011,  mengawali beatifikasinya peti mati Paus Yohanes Paulus II digali, sementara puluhan ribu umat mulai berdatangan ke Roma untuk peristiwa besar sejak pemakamannya pada tahun 2005. Peti tertutup berisi jenazah Yohanes Paulus II dipindahkan dari gua di bawah Basilika Santo Petrus ke monumen batu marmer di Kapel Santo Sebastian, Pier Paolo Christofari, di mana Yang Diberkati (Beato) Paus Innosensius XI dimakamkan. Lokasi yang lebih baik ini, dekat Kapel Pieta, Kapel Sakramen Mahakudus dan patung dari Paus Pius XI dan Paus Pius XII, akan memungkinkan lebih banyak peziarah mengunjungi makamnya.

Tanggal 1 Mei 2011 Secara resmi Paus Benediktus XVI memaklumkan Paus Johannes Paulus II sebagai Beato dan pada tanggal 27 April 2014 ia dikanonisasi oleh Paus Fransiskus.

No comments:

Post a Comment

Peringatan Arwah Tiga Rama

Hajatan yang diselenggarakan di Domus Pacis memang sudah dimulai dan kemudian menjadi kebiasaan. Itu terjadi sejak masih berada di Puren Pri...