Dapat Oleh-oleh
Pagi ini, Minggu 2 Mei 2021, ada dua orang muda datang. Dengan gerobak kecil milik Domus keduanya membawa sejumlah dos yang diserahkan kepada saya. Ternyata keduanya adalah anak-anak Bu Paula dari Magelang yang dititipi oleh ibunya untuk menyampaikan bingkisan. Di situ ada pesan bahwa yang berupa paket-paket tas kain merah adalah untuk rama-rama Domus Pacis. Sedang bermacam-macam makanan kecil dalam 4 dos adalah untuk karyawan. Sesudah bagian untuk para rama dibagikan ke kamar masing-masing, saya memandu tiga orang karyawan membuat tiga belas paket tak plastik yang diisi makan-makanan kecil. Bu Paula adalah salah satu sahabat sejak saya tinggal di Pastoran Paroki Santo Ignatius Magelang pada tahun 1990-1998.
Peristiwa pagi itu membuat saya merasakan adanya limpahan perhatian umat, karena kemarin pada pagi Sabtu 1 Mei 2021 juga ada pemberian banyak oleh-oleh. Astrid, yang ketika masih SMP hingga mahasiswa dekat saya, datang bersama bapak-ibunya serta adiknya. Dia sudah menjadi dosen di perguruan tinggi daerah Tangerang. Dia pulang ke Jogja untuk persiapan kelahiran bayinya yang kini masih berada dalam perutnya yang membesar karena kehamilan. Kehadiran Astrid disertai dos-dos berisi buah, beras, minyak kelapa, gula pasir, dan beberapa sembako lain termasuk telor ayam dalam tas plastik yang cukup besar. Kedatangan Astrid dan keluarganya disusul oleh hadirnya Bu Happy dan anaknya serta Pak Agus dan Bu Maria. Dari tamu-tamu ini ada oleh-oleh kaos dalam untuk para rama. Sebenarnya masih ada satu dos besar yang berisi alat-alat mandi seperti sabun dan pasta gigi. Saya lupa yang terakhir ini dari Astrid atau Bu Happy. Yang jelas, kaos-kaos langsung dibagikan ke rama-rama di kamarnya. Sementara itu yang lain-lain saya serahkan ke Rm. Hartanta, direktur Domus Pacis. Tentu saja itu semua untuk kepentingan serumah.
Karena Banyak Teman?
Peristiwa mendapatkan pemberian umat memang kerap saya alami. Pemberian itu saya alami lewat kehadiran pemberi secara langsung atau lewat jasa pengiriman. Yang diberikan tidak hanya berupa barang. Kiriman berupa uang juga kerap terjadi. Ini terjadi sejak tahun 2011. Barangkali saya kalau berjumpa umat, baik ketika memimpin misa atau acara lain, biasa berceritera tentang Domus Pacis. Saya memang ikut aktif membuat Domus dekat dengan umat. Saya juga termasuk yang menggerakkan tumbuh kembangnya relawan-relawan pemerhati Domus. Sebenarnya saya tidak memiliki tanggungjawab atas kehidupan Domus Pacis. Memang pada Agustus 2018 saya diminta oleh Uskup untuk ikut mengurus kehidupan harian rumah. Tetapi dengan kehadiran Rm. Hartanta, mulai dengan pertengahan Oktober 2020 segala urusan rumah saya serahkan kepada beliau. Barangkali ini semua membuat Rm. Agoeng, kini Ketua Unio Persaudaraan Rama Praja Keuskupan Agung Semarang, mengomentari diri saya “Rama Bambang itu punya banyak teman.” Mungkin beliau berpikir banyaknya umat yang dulu banyak membantu saya ketika selama 27 tahun bekerja di lembaga misioner Keuskupan. Tetapi mayoritas yang kini banyak memperhatikan Domus Pacis adalah orang-orang yang saya jumpai sesudah saya tinggal di Domus Pacis sejak 1 Juli 2010.
Satu hal yang barangkali terjadi dalam diri saya, hadirnya orang-orang untuk menjalin hubungan dengan saya kebanyakan juga menjadi sosok-sosok yang memberikan perhatian pada kehidupan Domus secara keseluruhan. Pemberian untuk saya biasa berjumlah sangat banyak kalau hanya untuk saya seorang. Itu biasa membuat para rama lain bahkan karyawan juga mendapatkan bagian. Bahkan pemberian uang baik langsung maupun lewat rekening bank pada umumnya juga untuk Domus.
Jadi Putera Talang Kemurahan Hati Umat?
Ketika
saya merenungkan hal-hal diatas, saya merasa bahwa tanpa sengaja dalam aliran
kehidupan di Domus saya telah ikut menjadi jalan aliran kemurahan hati umat.
Tentu saja beberapa rama lain, baik dari dalam maupun luar Domus, juga ikut
menggerakkan perhatian umat ke Domus. Bahkan ada awam-awam yang amat giat
mengajak teman-temannya untuk membantu kehidupan Domus Pacis. Dalam renungan
ini tiba-tiba saya ingat nyanyian untuk menghormati Bunda Maria yang dulu
terjadi ketika saya masih aktif mengisi katekese jam 13.00 setiap Jumat Pertama
di makam Rm. Sandjaja Muntilan. Kalimat pertama syair nyanyian itu adalah :
“Ibu talanging sih”.
Katanya itu adalah kata-kata yang berasal dari Rm. Sanjaya yang mungkin untuk menterjemahkan nyanyian berbahasa asing. Kini nyanyian berbahasa Jawa itu dimulai dengan kata-kata “Ibu marganing sih”. Kata “marga” yang berarti jalan pada mulanya memakai istilah “talang”, yaitu alat untuk mengalirkan air hujan di atap rumah. Adapun kata “sih” berarti rahmat atau kemurahatian ilahi. Jujur saja, hati saya lebih merasa terkena dengan istilah “talang”.
Ibu Maria menjadi talang kasih karunia ilahi karena hadirnya penyelamat dunia, yaitu Tuhan Yesus Kristus, lewat rahimnya. Sikap batin Ibu Maria, yang terungkap dengan kata-kata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38), telah membuatnya menjadi aliran hujan rahmat ilahi demi damai sejahtera manusia. Dengan kesiagaan menjadi “talanging sih” Bunda Maria telah menjadi Ibu Tuhan. Tetapi dalam Yesus Bunda Maria juga ditentukan menjadi ibu murid-murid-Nya (Yoh 19:26-27).
Dari renungan itu saya kemudian bertanya pada kedalaman hati saya “Apakah saya telah menjadi putra Bunda Maria talanging sih?” Bukankah saya masih memiliki koleksi bercak-bercak noda dan kelemahan? Mungkinkah kebiasaan saya melamunkan bacaan Injil misa harian telah memasukkan saya pada model batin Bunda Maria? Yang jelas dengan membiarkan diri menjadi talang umat berbagi demi kehidupan orang serumah, saya ikut mengalami kebahagiaan.
Puren, 2 Mei 2021
Rm. Bambang
No comments:
Post a Comment