Pada suatu hari saya mendapatkan tamu beberapa orang. Seperti biasa kami omong-omong sana-sini. Seperti biasa pula saya harus berceritera tentang kondisi para rama sepuh Domus Pacis St. Petrus karena pertanyaan yang berkaitan kesehatan para rama. Barangkali itu juga ada kaitan dengan kata-kata tamu yang sering bilang “Rama sehat, ta?” dan saya biasa menjawab “Tidaaaak”. Biasanya jawaban saya disusul dengan munculnya tawa. Kalau dari mereka ada yang berkomentar “Rama Bambang memang suka melucu”, sayapun berkata “Kalau sehat barangkali masih dikaryakan. Semua sudah kena penyakit. Bahkan 9 orang dari kami sudah berkursi roda”. Tidak jarang dari omong-omong tentang kondisi sakit kami sampai pada soal menu yang disantap. Kini Rm. Hartanta, Direktur Domus Pacis St. Petrus, mengawasi dengan ketat snak, minuman, lauk pauk, sayuran yang kami santap.
Karena Tak Sampai Hati
Berbicara tentang santap menyantap, saya merasa bagi para rama sering dihadapkan pada kebaikan hati umat. Banyak warga Gereja yang amat senang menyediakan santapan untuk para rama. Tidak sedikit yang akan menghadirkan sajian sebaik mungkin. Pada hemat saya ini semua juga membuat para rama terbiasa pada yang enak-enak. Dalam situasi menikmati enaknya sajian yang ada adalah rasa senang.
Keadaan baru berubah ketika rama berhadapan dengan penyakit. Tentu saja ini lebih berkaitan dengan golongan penyakit dalam seperti hipertensi, asam urat, kolesterol, trigliserid, dan diabetes. Sementara rama sesudah sadar akan penyakit yang dideritanya akan selektif dalam memilih menu makan. Tetapi kalau berada di tengah umat dan tersaji menu yang berbahaya untuk kesehatannya, sementara rama tidak sampai hati untuk menolaknya. Penyedia sajian bisa berkata “Sedikit saja kan tidak apa-apa”. Saya sendiri pernah melihat raut muka amat kecewa ketika bertamu dan saya berkata “Saya tidak makan itu karena sudah asam urat”. Rasa kultural mau membuat orang lain berlega hati ternyata juga bisa berperan menyuburkan penyakit.
Karena Tak bisa Mengekang Diri
Hal lain yang memperparah penyakit seperti tersebut di atas akan sangat tampak ketika penderita sudah terjerat oleh kerutinan berurusan dengan dokter dan harus menyantap obat seumur hidup. Saya menyaksikan pengalaman seperti ini karena berada di dalam rumah para rama sepuh Domus Pacis yang sudah diwarnai oleh penyakit-penyakit seperti itu. Saya menyaksikan rama yang sudah dilarang merokok oleh dokter tetapi hari-harinya tetap akrab dengan asap yang keluar dari hidung atau mulutnya. Saya menyaksikan adanya rama yang kalau mendapatkan tamu selalu diminta mengantar ke warung atau rumah makan untuk makan menu yang sudah melekat dalam seleranya. Padahal itu adalah menu yang berbahaya merongrong kesehatannya. Saya menyaksikan rama yang bisa dengan hebatnya menjelaskan makanan-makanan yang berbahaya untuk penyakitnya, tetapi diam-diam menyimpannya untuk disantap. Saya menyaksikan ada rama yang sudah dilarang tetapi mencuri-curi dengan dalih “Hanya mencicipi, kok”. Kemudian badannya jadi gatal-gatal karena jeritan dari diabetes yang dideritanya. Beberapa rama mengalami kondisi tubuh yang makin lemah karena makin parahnya penyakit yang diderita. Bahkan ada beberapa yang kini harus dilayani dalam segalanya di kamarnya.
Sebenarnya pengalaman yang saya saksikan juga terjadi di kalangan orang umum. Ini saya dengar dari ceritera-ceritera kalau berjumpa dengan tamu-tamu atau dengan kelompok-kelompok. Dari omong-omong tidak jarang saya mendengar bahwa penyebab utama adalah kesulitan untuk mengekang diri. Bahkan ketika berada di antara pasien-pasien yang antri periksa dokter saya pernah mendengar salah satu nyeletuk “Dokter akan mudah saja asal omong melarang ini melarang itu. Kita yang menjalani ini, beraaaat dong”. Sayapun mengalami hal sama. Karena diabetes, dokter melarang saya menyantap gudeg dan bakmi. Nasipun harus dengan porsi amat terbatas. Ketika bagian gizi meminta saya untuk memperbanyak makan sayur dan buah, ini sungguh amat berat kalkau saya tidak menyukainya. Saya amat mencandu gudeg, bakmi, dan nasi goreng. Ketika saya belajar makan sayur sebagai ganti nasi, dalam 6 hari pertama tubuh saya terasa lemas. Saya merasakan situasi yang amat berat.
Sebuah Refleksi
Ketika hal-hal di atas masuk dalam permenungan, saya teringat akan beberapa ayat dalam Kitab Suci. Kemudian saya berpikir, mungkinkah ayat-ayat itu bisa menjadi pegangan jiwani untuk menghayati perkembangan situasi hidup yang diwarnai oleh penyakit dalam kaitannya dengan santap menyantap menu.
Sengsara membawa nikmat
Tidak sembarang menyantap dari menu tersedia menjadi tuntutan bagi para penderita penyakit yang harus ditanggung sepanjang hidup di dunia fana. Dalam cakrawala dunia kesehatan ini disebut diet karena bisa jadi harus menyingkiri kebiasaan makan menu tertentu dan menyantap yang tidak familier. Kondisi seperti ini amat mudah menghadirkan rasa derita bahkan sengsara. Tetapi kalau ini dijadikan omongan dengan Tuhan dalam hati, secara pelahan tapi pasti orang akan mengalami keringanan hidup. Orang bisa mengekang diri dan menolak yang menarik rasa seleranya karena ada kekuatan batin tertentu, yang saya yakini sebagai kekuatan Roh Kudus. Hal ini sungguh membuat orang tahan menjalaninya setiap hari dan menjadi jalan tol untuk menikmati hidup ikut Tuhan Yesus Kristus. Semua ini saya tarik dari kata-kata Tuhan Yesus Kristus “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23)
Ketegasan membawa hormat
Ini berkaitan dengan menu yang disajikan orang lain. Dalam hal ini bagi saya dibutuhkan ketegasan. Bagaimanapun juga orang harus mengutamakan hidup yang berisi keceriaan. Berkaitan dengan penyakit yang diderita, orang akan mengalami keceriaan sejati kalau bisa tegas dalam memakan santapan. Di sini kata-kata Tuhan Yesus “Jika ya hendaklah kamu katakan ya jika tidak hendaklah kamu katakan tidak, sebab apa yang lebih dari itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37) bisa menjadi sikap batin yang diwujudkan dengan tindakan tegas. Terhadap menemu yang bisa membuat penyakit meraja, orang dituntut tegas untuk berani menolak. Orang sering takut atau kuatir akan menyinggung atau bahkan membuat sakit hati penyedia makasan. Di dalam kehidupan masyarakat penolakan seperti ini memang dapat dinilai tidak adanya penghargaan kepada yang menyediakan. Tetapi saya yakin paling tidak pelan-pelan orang akan menghargai bahkan menjadikan teladan dalam kemampuan tegas terhadap dirinya.
Yang kecil yang menentukan iman
Dalam rangka hidup beriman Tuhan Yesus pernah berfirman “Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, – maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu” (Mat 17:20). Saya menangkap bahwa dalam beriman sikap batin terbuka pada daya Roh sekecil apapun sudah menghadirkan daya yang amat besar. Di sini saya juga teringat kata-kata small is beautiful (upaya kecil sungguh menghadirkan keindahan hidup damai sejahtera). Bagi saya susah derita dan tantangan sikap menolak makanan enak dan nikmat tetapi membuat penyakit makin berat amat ditentukan oleh sikap dan tindakan mampu mengendalikan pucuk lidah. Apa yang dirasa enak atau tak enak serta nikmat dan tidak enak sejatinya hanya bersamkut paut dengan pucuk lidah. Di sini saya teringat firman “Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu” (Mzm 34:14). Ayat ini memang berkaitan dengan soal tutur kata. Tetapi saya mengambil manfaat dalam hal penggunaan mulut dengan menjaga lidah. Ini amat berkaitan dengan soal santap menyantap menu. Lidah memang bisa menyebabkan orang berbuat jahat. Kalau beriman adalah semakin ikut Tuhan Yesus Kristus dalam perkembangan situasi hidup, bagi orang yang harus menjaga diri dalam hal makan karena penyakit, itu berarti orang harus mengendalikan lidah. Pucuk lidah memang kecil, tetapi kalau dimanjakan akan membuat orang mengalami kesesatan hidup. Maka layaklah kalau orang yang mengalami situasi hidup seperti itu dalam dirinya bertekad “Aku hendak menjaga diri, supaya jangan aku berdosa dengan lidahku” (Mzm 39:2).
Domus Petrus, 6 Februari 2022
No comments:
Post a Comment