Beberapa hari lalu pada waktu makan saya merasa ada barang kecil ikut terkunyah. Saya kunyah beberapa kali tetap keras. Ketika saya keluarkan dengan menjulurkan lidah dan saya ambil dengan pucuk jari dan jempol, ternyata itu adalah cuwilan gigi. Saya langsung memasukkan jari dan jempol meraba pucuk geraham yang terasa ada patahan. Ternyata geraham itu sudah goyang dan ketika saya goyah-goyang malah patah. Sebenarnya masih ada gigi lain yang juga sudah goyang, yaitu yang ada disebelah depan. Saya menghubungkan pengalaman ini dengan realitas diri saya yang sudah menjadi golongan kaum lansia dengan umur 71 tahun.
Terang Medis
Untuk memahami
kondisi kongkret dalam diri, saya membuka internet. Saya menemukan judul Gigi
Goyang Pada Lansia dalam https://rsgm.umy.ac.id. Di sini saya
kutipkan penjelasan berikut:
Pertumbuhan dan kesehatan
gigi ikut berpengaruh seiring pertumbuhan usia. Biasanya, semakin tua seseorang
akan semakin mudah berlubang dan tulang yang ada di sekitar gigi mengalami
penyusutan. Akibatnya, banyak orang tua yang mengalami masalah di gigi dan
mulut seperti bau mulut, nyeri di rahang karena gigi berlubang dan gigi
goyang.
Selain itu, ada beberapa
faktor lain yang turut meningkatkan risiko gigi goyang seperti kebersihan gigi
yang buruk (terbentuknya karang gigi yang banyak hingga di dalam gusi),
memiliki riwayat diabetes, serta trauma kepala, seperti saat kecelakaan
bermotor, juga bisa menyebabkan gigi goyang.
Khususnya pada orang yang sudah berusia lanjut, gigi mereka bisa goyang sendiri tanpa ada pemicunya. Hal ini disebabkan oleh penuaan alami yang membuat tulang dan jaringan di sekitar gigi mengalami penipisan terus menerus. Akibatnya, sokongan tulang tidak cukup kuat lagi sehingga gigi terlepas sendiri atau harus dicabut.
Ternyata gigi goyang tanpa pemicu adalah bisa menjadi salah satu hal biasa bagi kaum lansia (alinea 3). Namun demikian, dengan menyadari kondisi diri saya, saya menemukan faktor lain sebagaimana dinyatakan dalam alinea 2. Saya menjadi salah satu penderita diabetes. Ini sudah saya sandang sejak Januari 2012 sehingga kini sebulan sekali harus rutin berhubungan dengan dokter yang memberikan obat yang makin lama makin bertambah kadarnya. Obat itu harus menjadi bagian menu saya hingga meninggalkan dunia fana. Berkaitan dengan masalah gigi, kebetulan sebelum berumur 50 tahun saya kurang merawat kebersihannya sehingga sudah mengalami ompong beberapa gigi geraham.
Terang Iman
Mungkin karena ada
dalam banyak kesendirian, dan mungkin juga karena saya seorang imam, saya
merenungkan masalah gigi itu dalam keheningan. Saya mencoba mencari apakah ada
kehendak Tuhan berkaitan dengan gigi ompong. Ketika saya mencari-cari ayat
Kitab Suci dengan bantuan buku Konkordansi Alkitab, saya tertarik pada
firman Tuhan dalam Amos 4:6:
“Sekalipun Aku ini telah memberi kepadamu gigi yang tidak disentuh makanan di segala kotamu dan kekurangan roti di segala tempat kediamanmu, namun kamu tidak berbalik kepada-Ku,” demikianlah firman TUHAN.
Sebenarnya ayat itu berkaitan dengan suasana bencana sosial ketika rakyat menderita kekurangan pangan. Tetapi ungkapan “gigi yang tidak disentuh makanan …. Dan kekurangan roti” bagi saya juga sedikit banyak cocok dengan kondisi akibat berkurangnya jumlah dan kekuatan gigi. Saya juga mulai sulit untuk mengunyah menu yang cukup keras. Apalagi kalau dikaitkan dengan penyakit diabetes yang mungkin membuat parah gigi, saya sudah dijauhkan dari berbagai menu kesukaan saya seperti gudeg, bakmi, nasi goreng, dan snak gorengan serta makanan-makan yang enak karena manisnya.
Ketika merenungkan ayat itu saya tersadar bahwa kondisi seperti itu bisa dipakai Tuhan untuk menghadirkan peringatan iman. Umat Nabi Amos mendapat kondisi bencana sosial untuk mengajak agar berbalik kepada Tuhan. Bagi saya gigi goyang dan gigi putus menjadi semacam “bencana pribadi” untuk mempertanyakan bagaimana sikap saya terhadap Tuhan. Kalau tidak hati-hati saya hanya akan terpusat pada keadaan berkurangnya jumlah dan daya gigi. Bahkan kalau tidak hati-hati saya bisa dikuasai oleh rasa tak enak kurang gigi karena tak dapat menikmati makanan yang menghadirkan kenyamanan lidah. Saya merasa bahwa itu adalah tantangan apakah saya bisa selalu berbalik berkiblat pada Tuhan. Ini tantangan untuk membawa kembali kepada Tuhan. Untuk makin berserah diri ikut kehendaknya dan bukan untuk berprihatin akan kemauan dan kehendakku sendiri yang tak kesampaian. Bukankah realita hidup adalah jalan Tuhan untuk menghadirkan yang jauh lebih baik daripada yang saya maui?
Domus Pacis St. Petrus, 8 Februari 2022
No comments:
Post a Comment