Friday, October 10, 2025

Kaum Tua Lansia Perlu Tahu Penurunan Daya Otot?

Pada suatu ketika, ketika saya masih bertugas purna waktu di Komisi Karya Misioner dan Karya Keapusan Indonesia  Keuskupan Agung Semarang serta Miseum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner, kaki kanan saya terasa amat sakit. Kenyerian amat terasa ketika saya berdiri dan berjalan. Itu terjadi pada tahun 2008 kalau tidak keliru ketika sudah memasuki Masa Prapaskah. Memang kalau berhenti dengan duduk dan termasuk berbaring, rasa sakit mereda. Jujur saja, karena kenyerian yang terasa amat berat, muncul pertanyaan dalam diri saya "Apakah ini tanda aku terkena kanker?" Memang, saya merasa derita nyeri mereda kalau aku menyantap sebuah tablet. Dalam hati saya bertekad bertahan hingga sesudah Perayaan Minggu Paskah. Saya ingin, kalau saya memang kena kanker, saya sudah ikut melayani Pekan Suci hingga Minggu Paskah. Maka, sesudah ikut membantu Pekan Suci di Paroki Wonogiri, saya memeriksakan diri di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.

Satu hal dalam menghadapi realita kaki nyeri itu terjadi dalam relung hati. Saya berjuang untuk bertahan. Kalau saya katakan berjuang, karena sering kalau kesakitan seperti kerap tak tertahankan. Perjuangan saya saya lakukan dengan menutup mulut untuk mengomongkan itu kepada orang lain sekalipun dengan orang-orang dekat. Memang, itu semua muncul karena ketakutan saya untuk diminta tidak terlibat dengan tugas harian dan lebih-lebih untuk ikut melayani Perayaan Pekan Suci. Memang, saya selalu mengeluh. Tetapi keluhan itu saya katakan kepada Tuhan dalam hati. Di tengah kegiatan-kegiatan saya kerap dalam hati mengeluh dan merintih "Gusti ..... Gusti ..... Lara banget" (Tuhan ..... Tuhan ..... Sakit sekali). Keluahan itu menjadi curhati yang berkepanjangan ketika sendiri di kamar terutama mengisi doa-doa pribadi.

Perangkat Tua

Sesudah Minggu Paskah 2018 saya ke RS Panti Rapih. Segala keluhan saya sampaikan kepada dokter. Dokter memeriksa kondisi saya dengan amat teliti. Saya juga harus menjalani pemeriksaan lewat laboratorium dan pengambilan foto rontgen. Dari berbagai pemeriksaan dokternyatakan bahwa kondisi saya baik-baik saja. Tentu saja ada obat yang diberikan untuk meredam rasa sakit kaki kanan. Tentu saja obat itu bisa mengurangi rasa nyeri. Tetapi obat itu tidak menyembuhkan. Kenyerian selalu muncul lagi dan obatpun selalu saya beli lagi dengan menggunakan resep dokter yang bisa saya perpanjang.

Jujur saja, karena kenyerian tak pernah hilang, di dalam kegalauan saya bertanya pada diri saya "Ada apa dalam diriku?" Saya mulai curiga jangan-jangan saya mengalami gangguan kejiwaan yang menciptakan rasa gelisah. Tentu saja segala rasa gelisah selalu saya sampaikan ke "Gusti" dalam hati. Sayapun memutuskan diri untuk datang ke psikiater yang ada di RS Panti Rapih. Omong-omong amat mewarnai pertemuan saya dengan dokter. Dokter itu seperti pelaku riset yang melakukan wawancara dengan responden. Saya menjadi responden. Tetapi metodologinya membuat saya harus menceritakan segala pengalaman hidup saya berkaitan dengan kepincangan saya. Permulaan rasa sakit hingga hari wawancara menjadi udaran yang mengaduk kondisi saya. Saya menjadi informan yang harus menceritakan sedetail-detailnya kondisi kaki kanan berkaitan dengan berbagai aktivitas. Tiba-tiba dokter itu berkata "Rama, semua ini berkaitan dengan kepincangan rama. Jalan rama tidak seimbang. Hal ini justru membuat kanan yang tidak pincang justru harus menanggung beban berat. Kini, dengan usia yang makin menua, tampaknya otot kaki kanan sudah tidak selentur dulu. Itu seperti per yang sudah tidak bisa lentur. Otot kaki kanan sudah mulai kaku sehingga tarikan ketidakseimbangan kedua kaki membuat sakit karen seperti dipaksa akibat ketidak lenturan". Terhadap keterangan dokter saya bertanya "Apakah itu seperti sok beker pada kendaraan yang karena faktur usia per menjadi tidak lentur?" Ternyata dokter mengiyakan. Namun dokter itu berkata "Tetapi saya tidak tahu bagaimana harus mengobatinya agar untuk jalan tidak sakit". Sebelum meninggalkan kamar periksa saya berkata kepada dokter "Mudah-mudahan saya menemukan penanganan agar bisa berjalan tanpa rasa sakit".

Penyandang Kruk hingga Kursi Roda

Sebetulnya dengan mendengarkan tidak lenturnya otot yang membuat rasa sakit kaki tak picang dan tak tahunya dokter menemukan obat, hati saya seperti kena cahaya yang menghadirkan kecerahan. Saya merasa bersyukur karena aktif di kalangan anak muda cacad tubuh sejak 1974 hingga 1983. Dari bayangan pergaulan dengan teman-teman cacad tubuh tampak sebuah alat mobilitas yang biasa disebut kruk. Itu adalah tongkat penyangga alat bantu berjalan yang pemakaiannya dijepitkan di ketiak dan dipegang dengan tangan. Kebetulkan saja yang mengalami memakai beberapa kali ketika mengalami beberapa kali terjatuh dan ketika berjalan harus memakai kruk.

Sepulang dari konsultasi dokter saya langsung mengambil kruk yang tersimpan di kamar. Ternyata setelah tiha hari menyandang kruk, rasa nyeri kaki tak pincang. Sejak saat itulah ke mana-mana saya selalu membawa dan memakai kruk. Di rumah dan dalam berbagai pelayanan kruk menjadi sahabat setia. Saya tetap bisa bermotor dan mengendarai mobil tetapi kruk selalu menyertai. Begitu turun dari motor atau mobil, saya terbiasa "berkaki empat". Maka, ketika masuk Domus Pacis Puren, rumah para rama praja tua Keuskupan Agung Semarang di Pringwulung, saya adalah seorang rama cacad penyandang kruk. Itu terjadi pada 1 Juli 2010.

Sekalipun sudah di rumah tua saya masih banyak pergi dengan motor roda tiga untuk melayani umat baik itu Misa, rekoleksi, ceramah keagamaan, dan bahkan mendampingi retret. Seringkali saya juga pergi ke umat untuk latih persiapan Misa seperti Misa dengan gamelan. Nah, pada suatu ketika di kala musim hujan, di halaman rumah umat saya terpeleset dan jatuh. Ternyata kaki cacad saya mengalami patah tulang di atas lutut. Katanya, ada 8 buah pen dipasang di atas lutur kaki pincang. Sejak itu selain kruk saya mula akrab dengan kursi roda. Maklumlah, kaki pincang mulai tidak lurus sehingga untuk jalan dengan kruk terasa mulai terasa berat karena kaki kiri sudah tak bisa menapak. Kaki kiri lebih berposisi tergantung. Kondisi mobilisasi dengan kruk terhenti ketika pada tahun 2013 saya terjatuh di kamar mandi dan ada patah tulang lagi di kaki kiri. Sejak itu dalam mobilisasi saya total bersahabat dengan kursi roda. Memang, saya masih misa ke sana-sini dengan mengendarai mobil matik. Kursi roda selalu saya masukkan dalam bagasi dan di tempat aktivitas dikeluarkan. Saya selalu memdapatkan bantuan orang mendorong kursi roda yang saya duduki. Semua ini terjadi hingga Oktober 2020.

Kondisi fisik yang saya ceritakan itu ternyata tidak membuat keceriaan saya tergerus. Saya tetap merasakan keceriaan dan tak sedikit umat bilang "Rama Bambang selalu gembira". Saya yakin bahwa semua itu terjadi karena karya dan terang Roh dalam relung hati. Saya sungguh bersyukur bahwa saya beroleh karunia bisa omong, ngobrol, dan bahkan curhat dengan Gusti dalam hati. Di tengah kesibukan saya biasa menyampaikan kata-kata singkat ke Gusti dalam hati seperti menulis pesan WA singkat ke sahabat. Dalam suasana khusus saya bisa bercerita atau hanya hening-hening menangkap dan merasa-rasakan kata-kata batin yang muncul.

Ternyata Kemunduran Fisik Pertama

Sebenarnya semua yang saya paparkan di atas adalah penelusuran kemunduran fisik yang saya alami. Saya sadar bahwa makin tua dan makin lansia saya termasuk yang mengalami kerentanan dan makin rentannya raga. Ketika memikirkan kerentanan raga, saya ingin tahu hal ragawi apa yang pertama kali dialami oleh seseorang karena faktur usia yang menua. Ketika membuka google dengan menuliskan pelemahan fisik pertama, saya menemukan tulisan berikut :

Pelemahan fisik pertama pada lansia ditandai dengan penurunan massa dan kekuatan otot (sarkopenia), yang menyebabkan penurunan kemampuan fisik, gerakan melambat, dan lebih mudah lelah. Selain itu, perubahan lain seperti kulit yang mengering dan keriput, penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran, serta penurunan kepadatan tulang juga umum terjadi dan berkontribusi pada penurunan kekuatan fisik secara keseluruhan.

Ternyata pemerosotan daya raga berkaitan dengan otot. Ada penurunan massa dan kekuatan otot yang disebut dengan istilah sarkopenia. Dalam penjelasan itu dikatakan terjadi "kemampuan fisik, gerakan melambat, dan lebih mudah lelah". Berkaitan dengan realita fisik saya, sarkopenia sungguh menyebabkan rasa sakit bukan main karena berkurangnya kelenturan otot kaki yang tidak pincang. Otot-otot dan jaringan antar otot pada kaki kanan saya menjadi seperti kaku. Kondisi ketidakseimbangan dalam berjualan membuat rasa nyeri. Itulah realita raga yang saya alami.

Dengan mengingat terjadinya masa lalu pada tahun 2008 hingga masa pakai kruk dan bermuara bersahabat dengan kursi roda, saya sungguh bersyukur karena anugrah ilahi yang selalu mengetuk relung hati sehingga saya bisa mengontakkan apa yang saya pikir atau saya rasa atau saya inginkan. Bagi saya itulah daya Roh Allah yang bertahkan dalam relung hati yang selalu menyertai dan menjaga agar saya mampu menghayati apapun yang ada sesuai adanya, menerima dengan mengharuskan diri menghayatinya, dan muaranya bisa merasakan keenakan mengalami ketidakenakan.

Domus Pacis St. Petrus, 10 Oktober 2025.

No comments:

Post a Comment

Kaum Tua Lansia Perlu Tahu Penurunan Daya Otot?

Pada suatu ketika, ketika saya masih bertugas purna waktu di Komisi Karya Misioner dan Karya Keapusan Indonesia  Keuskupan Agung Semarang se...