Pada Sabtu 20 September 2025 saya diundang oleh gerakan kelompok Meditasi Kristiani Paroki Baciro. Meditasi Kreistiani Baciro berulang tahun ke 8 dan mengundang kelompok-kelompok Meditasi Kristiani yang ada di Yogyakarta. Ulang tahun diselenggarakan dengan mengadakan seminar. Di dalam Seminar ada 2 orang pembicara, Bu Sisca dan saya. Bu Rosa dari Ambarrukmo menjadi moderator. Dari berbagai tanggapan yang muncul dari sekitar 150 orang peserta, ternyata PENYANGKALAN DIRI banyak diperbincangkan untuk pengalaman berhening diri.
Mengomentari hal penyangkalan diri saya mengaitkannya dengan kata-kata Tuhan Yesus "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku." (Luk 9:23). Penyangkalan diri memang merupakan langkah pertama untuk mengalami kemesraan hubungan dengan Kristus dalam relung hati. Kemesraan ini membuat orang mengalami ketenangan batin dalam keadaan apapun. Bagi saya penyangkalan diri terjadi kalau orang bisa hidup dalam realita harian yang dihadapi. Kalau realita menyenangkan orang tidak melekat dan jadi mapan. Kalau tidak menghadirkan kenyamanan, orang tidak merasa terganggu. Kemampuan menghayati realita akan membuat orang memiliki dinamika hidup semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya setempat. Dalam hal ini saya mengetengahkan penghayatan olah batin dalam budaya Jawa. Pertama, orang berjuang membiarkan yang ada sesuai apa adanya. Ini menjadi sebuah KEHARUSAN. Orang berproses menghayatinya dari keharusan dari luar menjadi keharusan dari dalam diri sendiri. Proses ini bisa berjalan dalam hitungan hari atau minggu atau bulan sesuai ketekunan. Orang berproses dengan membiasakan diri selalu mengembalikan segala yang dirasakan atau dipikirkan atau diinginkan ke Tuhan. Di sini orang akan terbantu dengan semacam mantra. Kalau dalam gerakan Mdeditasi Kristiani ada mantra "maranata", saya sendiri bisa bilang "Gusti ..... Gusti ....." dalam hati. Dalam khasanah Jawa ini disebut proses pengembangan sikap RILA (membiarkan yang ada sesuai apa adanya). Kemampuan rila akan membuat perkembangkan ke sikap nrima (menerima yang ada). Di dalam proses pengembangan orang bisa sabar (kemampuan toleransi, bisa berdampingan dengan yang berbeda apapun dengan ketenangan hati). Semua ini saya ringkas dalam sajian tembang pucung :
Wening iku (Inilah keheningan); Meksa ati laku kudu (Meng-HARUS-kan hati berhadapan dengan realita); Yèn uwis kelampah (Kalau berhasil); Ati isa muni YA WIS (Hati mampu YA SUDAH, artinya menerima); Rasa bungah isa sandhing RO SING BÉDA (Hati riang tenang BISA BERSANDING DENGAN YANG BERBEDA).
No comments:
Post a Comment