Thursday, January 23, 2025

Syukur dalam Keterbatasan

Pada Rabu tanggal 22 Januari 2025 saya mengadakan pesta syukuran 44 tahun tahbisan imamat. Saya ditahbiskan di Kapel Seminari Tinggi Kentungan pada 22 Januari 1981 oleh almarhum Bapak Kardinal Justinus Darmojuwana. Kini, menunggu segera berumur 74 tahun, saya berada di rumah para rama praja tua dan bebas tugas yang  bernama Domus Pacis Santo Petrus. Untuk merayakan 44 tahun imamat saya mengundang 6 sekolah Taman Kanak-kanak dan 1 Kelompok Bermain. Selain para murid dan guru, kepada para orangtua atau pengantar juga dibuka kesempatan untuk ikut datang. Tiga orang dari mantan teman-teman ketika berada dalam Karya Misioner dan Karya Kepausan Keuskupan Agung Semarang saya minta bantuan untuk memandu acara yang saya namakan Kenalan Dini Panggilan Katolik. Ada suster, bruder, dan rama untuk ikut jadi pendamping. Rama yang datang adalah Rm. Nurwidi mantan Direktur Nasional Karya Kepausan Indonesia dalam 2 periode. Para rama Domus tampil berjubah. Aacara memang mengalir amat menyenangkan dan terasa meriah penuh kegembiraan. Kegembiraan juga terdukung oleh macam-macam konsumsi yang disajikan oleh Bu Rini, Bu Rachel, Bu Ticka, dan kue tart dari Bu Titik Waluyanti.

Ada Protes?

Sehari setelah peristiwa itu Rm. Hatanta, Direktur Domus Pacis Santo Petrus, berkata bahwa beliau kena protes. Protes itu datang dari TK lain. Ada 2 orang guru dari 2 TK memprotes Rm. Hartanta mengapa TK mereka tidak diundang ikut acara 22 Januari 2025 di Domus. Sebetulnya, ketika Rm. Bambang menayangkan tahap-tahap proses menuju acara itu, dia mendapatkan pertanyaan dari salah satu ibu. Ibu itu bertanya apakah anak-anak dari TK lain boleh ikut datang. Bahkan salah satu kepala TK yang diundang ada yang mengusulkan diikutsertakannya salah satu TK lain. Kebetulan kepala sekolah TK lain itu tinggal di rumah bersebelahan dengan rumah ibu kepala TK yang termasuk diundang. Pada waktu itu saya mengatakan bahwa pesertanya memang terbatas pada 6 TK dan 1 Kelompok Bermain yang diundang.

Dari realitas saya hanya membatasi 6 TK dan 1 Kelompok bermain, saya menyadari adanya KETERBATASAN yang ada dalam diri saya, yaitu :

  • Keterbatasan anggaran. Saya hanya mengandalkan tabungan dari sebagian uang saku. Padahal ini adalah program saya pribadi. Memang, saya juga sering mendapatkan uluran dari teman atau kenalan. Ada juga yang menyumbang berupa paket-paket makanan. Tetapi, itu semua tidak cukup untuk lebih dari jumlah anak murid, guru, orangtua dan atau pengantar, rama dan karyawan Domus, dan beberapa yang ikut menangani penyelenggaraan.
  • Keterbatasan tempat. Yang hadir di Domus pada 22 Januari 2025 lebih dari 350 orang. Anak-anak murid dan guru-gurunya sudah memenuhi beberapa karpet yang digelar di lantai. Untuk jumlah orang tua dan pengantar, beberapa karyawan beberapa kali harus menambah jumlah kursi. Jumlah keseluruhan tidak akan mengganggu kesegaran semua peserta untuk mengikuti proses acara pendampingan. Tetapi untuk pertemuan kelompok-kelompok, karena ada proses pendampingan dalam kelompok, ada yang didampingi di dalam Kapel Domus. 

Syukur atas Keterbatasan

Kesadaran saya atas 2 keterbatasan itu sebenarnya masih bisa ditambah lagi berkaitan dengan realitas kelansiaan saya. Apalagi selain lansia, saya juga sudah mengalami keterbatasan fisik. Untuk pergi ke sana-sini saya harus sudah memakai kursi roda dan sudah membutuhkan pendorong. Saya juga sudah tak mampu untuk bermotor dan bermobil sekalipun dengan matik karena ketajaman penglihatan yang sudah tidak oke di jalan raya. Bahkan untuk naik mobil saya harus memperhitungkan tinggi-rendahnya jog tempat duduk untuk pindah dari kursi roda ke dalam mobil. Itu semua tentu membuat berjejaring saya dalam berkomunikasi amat sangat minim dalam bertatap wajah. Komunikasi saya dengan orang lain jauh lebih banyak lewat media sosial mengingat hidup saya sehari-hari 92% berada dalam kamar. 

Dua keterbatasan di atas bagi saya menjadi kelemahan yang diperdalam oleh berbagai kelemahan fisik. Tetapi, berkaitan dengan peristiwa 22 Januari 2025, saya tidak merasa gundah apalagi sakit hati terhadap protes karena saya hanya membatasi diri pada 6 TK dan 1 Kelompok Bermain. Saya masih bersyukur bahwa saya boleh mensyukuri imamat saya karena adanya dukungan dari beberapa pihak yang ikut mendukung. Tanpa kepedulian Bu Rini, Bu Rachel, Bu Tika, dan Bu Titik sebenarnya uang yang ada pada saya tak dapat menyajikan sebagaimana yang telah tersaji. Tanpa kepedulian Pak Seno, Bu Yayik, Bu Asih, saya tak akan mampu untuk memandu dan memproses jalannya acara. Ketiganya juga menjadi sarana hadirnya Rm. Nurwidi yang pernah amat dekat ketika saya berada di dalam karya Misi dan Kepausan Keuskupan Agung Semarang. Kesediaan para rama Domus untuk tampil berjubah sungguh membahagiakan saya karena bersedia ikut menampakkan imamat di kalangan para balita yang datang. Semua ini membuat syukur hati saya juga diwarnai untuk makin bersikap rendah hati dan sadar bahwa justru dalam kelemahanlah saya mengalami kekuatan ilahi lewat semua kepedulian di atas. Saya sungguh diyakinkan oleh kata-kata Santo Paulus berikut :

  • "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami." (2Kor 4:7)
  • "Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (2Kor 12:9b-10).

No comments:

Post a Comment

Pengembangan Pendamping PIA

Pada Sabtu sore Rm. Bambang akan menuju salah satu warga di salah satu Lingkungan Paroki Kalasan. Dia diminta memimpin Misa Peringatan arwah...