Thursday, January 13, 2022

Tebar Senyum di Kursi Dua Roda

Senyuman wajahnya terpancar jelas di setiap perbincangan kami. Kursi roda menjadi sahabat dalam rutinitas hidupnya. Dua roda berwarna abu-abu menjadi pengganti dari kedua kakinya yang kini mulai terbatas berjalan. Namun, keterbatasan di kursi roda berbanding terbalik dengan semangatnya untuk terus melayani.  

        Nama: Dominikus Bambang Sutrisno

Lahir: 30 Januari 1951

Tahbisan: 22 Januari 1981

Profesi: Imam Keuskupan Agung Semarang

“Mangga, mlebu (mari masuk)” ujar Romo Bambang ketika menyambut Kompas di kamarnya. Di kamar sederhana berukuran 6 x 4 meter persegi, kami banyak mendengarkan kisah hidupnya. Raganya yang dulu masih segar bepergian kesana kemari kini hanya menjadi kisah lama. Kursi roda kini menyangga hampir seluruh kehidupannya di Wisma Sepuh Kentungan Yogyakarta.

            Awalnya Romo Bambang memang sudah pincang. Ketika baru berumur setahun, ia diberi obat yang sudah kaduluarsa. Konon katanya obat inilah yang membuat kaki kirinya pincang, “Ini yang membuat kaki saya pincang sejak kecil,” katanya. Hingga, pada tahun 2007, ketika berumur 57 tahun, ia merasa sudah saatnya untuk menggunakan krek (tongkat) karena kondisi kaki yang mulai tidak seimbang.

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2010, ia mengakhiri masa tugasnya sebagai imam produktif dan masuk ke rumah tua para romo Keuskupan Agung Semarang. Beberapa kali, ia memang terpleset karena beban tubuh yang nyatanya tidak sebanding dengan kuatnya krek. Hingga akhirnya, Romo Bambang membutuhkan kursi roda sebagai sahabat baru dalam kehidupannya.

            Berbeda dengan orang lain pada umumnya, Bambang tidak pernah merasa dikucilkan dari pergaulan. Ia bahkan tidak pernah merasa tersinggung dengan perkataan orang-orang yang menganggapnya unik dan berbeda. Ia sering dijuluki sebagai Bambang D, “Saya sering dipanggil sebagai Bambang D, Deglok (pincang),” kelakarnya.

Berkat kursi roda, Romo Bambang kini tidak ingin lagi disebut pincang. Ia merasa sudah pulih dari kepincangannya. Namun, kursi roda membuat seluruh aktivitasnya tidak dapat secepat dulu lagi. Ketika ada tawaran untuk memimpin misa, ia juga cukup selektif. “Saya tanya dulu, mau nggak menerima saya yang seperti ini?” katanya. Bambang merasa tahu diri dengan keadaannya dan tidak malah bernafsu untuk memimpin misa di paroki.  

Di tengah kondisi menggunakan kursi roda, banyak orang yang nampak kasihan dengan Romo Bambang. Inilah yang sebenarnya tidak disenangi olehnya. Namun, ia tidak pernah mengungkapkan hal itu karena tidak ingin menyakiti hati orang lain. “Walaupun saya berkursi roda, jangan sampai membuat orang lain harus mengabdi kusi roda saya, saya harus tetap mengabdi,” sambungnya.

Kursi roda mengajarkan banyak hal kepada Romo Bambang. “Saya teringat sebuah pepatah, begja begjane wong sing lali, luwih begja sing eling lan waspada,” ujarnya (orang harus selalu ingat dan waspada). Romo Bambang belajar untuk ingat dan waspada sehingga tidak mudah terpeleset. Entahlah, inovasi apa lagi yang akan dikerjakannya dari kursi rodanya itu.   

Fr, Singgih

Catatan : Tulisan ini dibuat oleh Fr. Singgih dalam rangka pelatihan jurnalistik

No comments:

Post a Comment

Peringatan Arwah Tiga Rama

Hajatan yang diselenggarakan di Domus Pacis memang sudah dimulai dan kemudian menjadi kebiasaan. Itu terjadi sejak masih berada di Puren Pri...