Senyuman wajahnya terpancar jelas di setiap perbincangan kami. Kursi roda menjadi sahabat dalam rutinitas hidupnya. Dua roda berwarna abu-abu menjadi pengganti dari kedua kakinya yang kini mulai terbatas berjalan. Namun, keterbatasan di kursi roda berbanding terbalik dengan semangatnya untuk terus melayani.
Nama: Dominikus Bambang Sutrisno
Lahir: 30 Januari 1951
Tahbisan: 22 Januari 1981
Profesi: Imam Keuskupan Agung Semarang
“Mangga,
mlebu (mari masuk)” ujar Romo Bambang ketika menyambut Kompas di kamarnya. Di kamar sederhana berukuran 6 x 4 meter
persegi, kami banyak mendengarkan kisah hidupnya. Raganya yang dulu masih segar
bepergian kesana kemari kini hanya menjadi kisah lama. Kursi roda kini
menyangga hampir seluruh kehidupannya di Wisma Sepuh Kentungan Yogyakarta.
Awalnya Romo Bambang memang sudah
pincang. Ketika baru berumur setahun, ia diberi obat yang sudah kaduluarsa.
Konon katanya obat inilah yang membuat kaki kirinya pincang, “Ini yang membuat
kaki saya pincang sejak kecil,” katanya. Hingga, pada tahun 2007, ketika berumur
57 tahun, ia merasa sudah saatnya untuk menggunakan krek (tongkat) karena kondisi kaki yang mulai tidak seimbang.
Tiga
tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2010, ia mengakhiri masa tugasnya sebagai
imam produktif dan masuk ke rumah tua para romo Keuskupan Agung Semarang.
Beberapa kali, ia memang terpleset karena beban tubuh yang nyatanya tidak
sebanding dengan kuatnya krek. Hingga
akhirnya, Romo Bambang membutuhkan kursi roda sebagai sahabat baru dalam
kehidupannya.
Berbeda dengan orang lain pada
umumnya, Bambang tidak pernah merasa dikucilkan dari pergaulan. Ia bahkan tidak
pernah merasa tersinggung dengan perkataan orang-orang yang menganggapnya unik
dan berbeda. Ia sering dijuluki sebagai Bambang D, “Saya sering dipanggil
sebagai Bambang D, Deglok (pincang),”
kelakarnya.
Berkat
kursi roda, Romo Bambang kini tidak ingin lagi disebut pincang. Ia merasa sudah
pulih dari kepincangannya. Namun, kursi roda membuat seluruh aktivitasnya tidak
dapat secepat dulu lagi. Ketika ada tawaran untuk memimpin misa, ia juga cukup
selektif. “Saya tanya dulu, mau nggak menerima saya yang seperti ini?” katanya.
Bambang merasa tahu diri dengan keadaannya dan tidak malah bernafsu untuk
memimpin misa di paroki.
Di
tengah kondisi menggunakan kursi roda, banyak orang yang nampak kasihan dengan
Romo Bambang. Inilah yang sebenarnya tidak disenangi olehnya. Namun, ia tidak
pernah mengungkapkan hal itu karena tidak ingin menyakiti hati orang lain.
“Walaupun saya berkursi roda, jangan sampai membuat orang lain harus mengabdi
kusi roda saya, saya harus tetap mengabdi,” sambungnya.
Kursi roda mengajarkan banyak hal kepada Romo Bambang. “Saya teringat sebuah pepatah, begja begjane wong sing lali, luwih begja sing eling lan waspada,” ujarnya (orang harus selalu ingat dan waspada). Romo Bambang belajar untuk ingat dan waspada sehingga tidak mudah terpeleset. Entahlah, inovasi apa lagi yang akan dikerjakannya dari kursi rodanya itu.
Fr, Singgih
Catatan : Tulisan ini dibuat oleh Fr. Singgih dalam rangka pelatihan jurnalistik
No comments:
Post a Comment