Pada sekitar jam 13.30 Jumat 21 Januari 2022 ada ketukan pintu di kamar Rm. Bambang. Rm. Bambang, yang sedang tiduran, berseru “Manggaaaaa, mlebet” (Silahkan masuk). Ternyata yang masuk adalah Mas Abas, salah satu karyawan. Dia membawa tas plastik yang dari gambar dan model tulisannya jelas dari RS Panti Rapih. “Pikantuk salam saking dokter Harnadi. Obate sing onten dos ditambah setengah ngge sonten. Saking pemriksaan lab HBa1c minggah” (Ada salam dari dokter Suharnadi, Obat kebasan dos ditambah setengah untuk sore. Itu dikarenakan hasil periksa laboratorium menunjukkan HBa1c naik). Mas Abas memang biasa mewakili rama-rama Domus Pacis untuk datang ke dokter sebulan sekali di RS Panti Rapih. Khusus untuk Rm. Bambang 3 bulan sekali ada periksa darah di laboratorium. Pada Kamis 20 Januari 2022 ada petugas lab datang di Domus. Dari rama-rama Domus hanya Rm. Bambang yang harus didahului dengan puasa sebelum diambil darah.
Rm. Bambang memang termasuk yang mengidap diabetes. Dia mulai kena gula darah sejak Januari 2012. Selama pandemi Rm. Bambang tidak pernah datang sendiri ke RS Panti Rapih. Hal ini tentu ikut mempengaruhi kondisinya karena kurang terawasi oleh dokter dengan teliti. Apalagi dalam hal menyantap menu Rm. Bambang kerap menikmat yang sebetulnya tidak baik untuk penyakitnya. Terhadap realita ini, sejak Jumat sore 21 Januari 2022 dia kembali bertindak ekstrim dalam memilih santapan dan makanan. “Aku kudu wani mati sajroning urip” (Aku harus berani meninggalkan dunia dalam kehidupan). Dalam hal ini dia berketetapan hati untuk berani mati (meninggal) terhadap dunia enak nikmat yang terasa di lidahnya. Baginya itu menjadi penghayatan iman dalam konteks budaya Jawa. Dia menemukan penjelasan bahwa “Dalam falsafah Jawa ungkapan “nglakoni mati sakjroning urip” rasanya tidak terlalu asing. Ungkapan itu sendiri bermakna bahwa seyogyanya manusia bisa mematikan segenap hawa nafsunya dalam menjalani kehidupan.” (https://mayaharsasi.wordpress.com/2015/12/02) Bagi Rm. Bambang ini adalah ungkapan kultural dari firman Tuhan "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku." (Luk 9:23) Secara lengkap Rm. Bambang membaca itu dalam artikel lengkap sebagaimana tertulis di bawah ini :
Nglakoni Mati Sajroning Urip
Diposkan pada 2 Desember 2015 oleh maya harsasi
Dalam falsafah Jawa ungkapan “nglakoni mati sakjroning urip” rasanya tidak terlalu asing. Ungkapan itu sendiri bermakna bahwa seyogyanya manusia bisa mematikan segenap hawa nafsunya dalam menjalani kehidupan. Ya, kehidupan yang penuh dengan dinamika berupa pahit getir dan susah senangnya.
Di sini manusia dituntut sabar dan
tawakal terhadap takdir Tuhan. Bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah tercatat
jauh-jauh hari sebelum dunia ini diciptakan. Manusia hanya wenang usaha
atau ikhtiar. Sehingga apapun yang terjadi, terutama saat ditimpa cobaan tidak
terlalu hanyut dan larut sehingga menyalahkan Tuhan. Susah senang dianggap
adalah kembang kehidupan yang mesti dijalani. Semua adalah
fana –tak abadi, sekarang senang besok susah dan sebaliknya, sekarang kaya
besok miskin.
Sebenarnya ungkapan nglakoni
mati sajroning urip sejalan dengan sebuah hadist Rasulallah selepas
perang Badar: Bahwa perang fisabilillah (di jalan Allah) yang paling besar
adalah melawan hawa nafsu yang ada di dalam dada manusia.
Perlu diketahuii, bahwa di dalam diri manusia terdapat empat nafsu, yakni: lauwamah, amarah, sufiyah dan mutmainah. Nafsu lauwamah kekuatannya meliputi nafsu makan sehingga melupakan segala pekerjaan. Nafsu amarah punya kecenderungan mendengki sembarang pekerjaan orang lain. Nafsu sufiyah berkekuatan mempengaruhi orang untuk memenuhi hasratnya. Sedangkan nafsu mutmainah adalah nafsu yang mulia bertempat di hati sanubari yang bersifat sabar, tawakal, beriman dan beritikat selamat.
Nah dalam diri manusia senantiasa terjadi pertarungan antara nafsu mutmainah melawan ketiga nafsu lainnya. Jika manusia menuruti nafsu mutmainah dan mengalahkan nafsu lainnya maka selamatlah dunia akhirat. Dan sebaliknya, jika di dalam dadanya nafsu mutmainah terkalahkan oleh ketiga nafsu lainnya, sudah pasti terjeruslah manusia ke dalam kesengsaraan.
Tirakat Empat Laku Tapa
Dalam serat Centhini Tambangraras-Amongraga karya Ngabehi Ranggasutrasna dkk, disebutkan bagaimana caranya agar manusia mampu memenangkan perang melawan hawa nafsu. Manusia mestinya menjalankan empat macam ulah tapa. Ulah tapa yang pertama adalah menerima kasih sayang Allah. Apa yang diperintah Allah sudah semestinya dijalankan dan yang dilarang harus ditinggalkan.
Tapa yang kedua disebut Geniara. Maksudnya, bertahan terhadap api. Artinya, bila seseorang dibakar hatinya dengan kata-kata yang tidak mengenakkan maka selayaknya hati tetap tenang dan teguh, baik berupa gunjingan, fitnah maupun hinaan yang menyakitkan.
Tapa yang ketiga disebut Banyuara.
Yakni bertapa dengan cara menghanyutkan diri terbawa arus. Artinya, manusia
mestinya senantiasa menaati nasihat kebenaran dari sanak kerabat dan
menutup-nutupi hal-hal yang membuat mereka malu. Di jawa ungkapan ini dikenal
dengan istilah mikul duwur mendem jero.
Tapa keempat disebut Ngluwat.
Yakni bertapa dengan cara memendamkan diri dalam tanah. Artinya tidak suka
menonjolkan diri dengan memperlihatkan kebaikan dan lakunya sendiri. Hal itu
semestinya ditutup rapat. Lagi pula, seyogyanya seseorang bersikap rendah hati
dan sabar, serta mengalah dalam perselisihan.
Memang menjalankan semua itu tidaklah mudah. Tapi kita mesti sadar bahwa urip mung sepisan kanggo saklawase . Hidup sekali di dunia adalah wahana bercocok tanam yang akan jadi bekal selamanya di akhirat kelak. Akhirnya, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang merugi.
No comments:
Post a Comment