Ini adalah pengalaman tempo dulu di rumah tua yang penghuninya terdiri dari para pastor lansia. Mereka pasti tahu bahwa ketidaksopanan adalah salah satu wujud dosa. Penulis Kitab Suci mengatakan “..... aku akan berdukacita terhadap banyak orang yang di masa yang lampau berbuat dosa dan belum lagi bertobat dari kecemaran, percabulan dan ketidaksopanan yang mereka lakukan.” (2Kor 12:21) Di dalam kehidupan orang Jawa kesopanan ini akan terungkap dalam sikap hormat dari yang muda terhadap yang lebih tua dan dari bawahan kepada pimpinannya.
Terkisah salah satu rama, demikian sebutan untuk pastor di banyak kalangan orang Jawa, tampak selalu murung. Beliau selalu berada dalam keadaan tak mau bicara. Kalau ada yang masuk menemuinya di kamar, beliau banyak menunjukkan sikap amat tidak bersahabat. Tidak jarang beliau mengusir orang yang masuk kamarnya. Di kamar makan beliau juga hanya diam dengan mimik amat buram sementara rama-rama lain berbicara dan bercanda. Keadaan ini menjadikan keprihatinan mendalam bagi salah satu rama yang menjadi pengurus rumah. Doa-doa pribadinya selalu terisi oleh permohonan akan terjadinya keceriaan bagi rama yang selalu bermuka gelap itu. Bagi sang pengurus bagaimanapun juga beliau pernah menjadi pembimbing perjalanan panggilannya ketika masih mahasiswa. Maka doa-doa bagi sang mantan pembimbing selalu muncul baik ketika di tempat tidur maupun di dalam ibadat bersama orang serumah. Bahkan ketika sedang nonton TV, bila teringat sang mantan pembimbing, doa spontan pun muncul. Tetapi dari hari ke hari dan minggu ke minggu serta masuk bulan ketiga, muka buram mulut terkunci masih mewarnai sang mantan pembimbing. Entah bagaimana, sang pengurus kemudian kerasukan rasa jengkel. Kejengkelan pun mewarnai kata-kata dalam doa menjadi semacam curhat kepada Tuhan.
Pada suatu pagi, ketika masuk kamar makan, perasaan sang pengurus diterpa gelegak kemarahan tertahan melihat bekas pembimbingnya. Dia berseru menyebut panggilan sang muka gelap dan meneruskan dengan kata-kata “Sugeng anjiiiiiiing”. Ini adalah kata-kata salam pagi hari yang seharusnya berbunyi “Sugeng énjing” yang berarti (Selamat pagi). Tetapi kata énjing dirubah jadi anjing. Tiba-tiba terjadilah keajaiban. Rama mantan pembimbing itu tertawa terbak-bahak dan kemudian berkata “Sing asu ki kowé” (Kamulah yang anjing). Dan sejak itulah beliau dapat omong-omong penuh warna saling ejek dengan sang pengurus. Ketika berdoa mensyukuri keadaan, sang pengurus berpikir “Kalau dalam 2Kor 12:21 ketidaksopanan menjadi kedosaan, mungkinkah untuk aku Tuhan memberi dispensasi boleh tidak sopan?”
No comments:
Post a Comment