Seorang tokoh agama Kristiani akan tahu bahwa “mencuri” masuk dalam pelanggaran perintah Tuhan. Pada umumnya orang Kristiani biasapun tahu itu masuk dalam yang namanya Sepuluh Perintah Allah. Seorang tokoh bisa hafal satu per satu dari kesepuluhnya. Bahkan seorang tokoh tahu bahwa “Jangan mencuri” adalah perintah ketujuh. Bahkan seorang tokoh bisa menunjuk ayatnya dalam Kitab Suci, yaitu Keluaran 20:15 dan Ulangan 5:19. Siapa melakukan pencurian termasuk pendosa bahkan masuk kaum jahat. Perintah Allah tentu menjadi pegangan untuk mengenyam kekudusan hidup. Bukankah itu menjadi salah satu perintah untuk menjalani sabda Kitab Suci “..... hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1 Petrus 1:15)?
Kata-kata di atas diomongkan ketika ada beberapa orang
berjumpa dan kemudian ngerumpi. Mereka membicarakan salah satu tokoh yang
sedang sakit. Tokoh itu memang selalu tampak bugar. Badannya memang atletis dan
tampaknya memang jauh dari segala penyakit. Tentu saja dia pernah menderita
pusing. “Nèk mumet jaréné nggo renang terus mari” (Katanya kalau pusing
lalu berenang di kolam, sembuhlah dia) salah satu berkata. “Ning nyatané
saiki mondhok nèng rumah sakit” (Tetapi nyatanya sekarang dia opname di
rumah sakit). Kenyataan bahwa kini sang tokoh opname di rumah sakit memang
membuat keheranan bagi teman-temannya. Mereka tahu bahwa sang tokoh sebenarnya
tak mau berurusan dengan dokter. Rumah sakit adalah dunia yang harus
disingkiri. Sehebat apapun rumah sakit, sang tokoh memiliki penilaian “Dokter
karo perawat ki mung nangani nganggo pikiran ilmu karo tindakan tekhnis”
(Dokter dan perawat hanya bertindak atas dasar ilmu dan tekhnik kesehatan). Dia
berkata tidak seperti di rumah .... Ada hati peduli kasih. Kemudian omongan
beberapa orang itu terpusat pada soal “Mengapa akhirnya sang tokoh mau dibawa
di rumah sakit dan malah mau opname?”.
“Apa merga tembung kecolongan, ya?” (Apa karena kata kecurian,ya?) tiba-tiba salah satu dari mereka nyeletuk. Teman itu kemudian bercerita peristiwa ketika mendesak sang tokoh mau diopname. Salah satu pengantar, sama-sama tokoh, berkata “Pun pasrah mawon. Kula ajrih nèk ngantos kecolongan” (Sudah, pasrah saja. Saya takut kalau-kalau kecolongan). Kata kecolongan dari kata nyolong yang berarti mencuri. Kecolongan berarti kecurian. Karena mereka yang omong-omong biasa hidup dalam khasanah keagamaan Kristiani, benaknya tertuju pada kata-kata Kitab Suci bahwa Tuhan memanggil seseorang seperti pencuri. Manusia hanya diminta untuk berjaga-jaga karena Tuhan datang memanggil seperti pencuri (bandingkan Wahyu 3:3). Mereka juga menemukan Injil Matius 24:42-44 “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang. Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga.” Bahwa Tuhan diibaratkan seperti pencuri, hal ini membuat pembicaraan jadi ramai. Kalau mencuri itu masuk dosa dan kejahatan, apakah Tuhan juga bertindak salah? Ada juga yang menyoalkan mengapa Tuhan tidak memberikan semacam agenda iman yang membuat orang tahu kapan dan di mana Tuhan akan memanggil. Apakah hanya karena manusia adalah pemberian ilahi, makan bebaslah Dia untuk mengambilnya.
No comments:
Post a Comment