“Jujur saja, aku tidak bisa memahami pengampunan dosa yang batasannya terlalu amat sangat banyak sekali” kata seorang agamawan dalam temu akbar Majelis Penjagaan Penghayatan Agama. “Itu ajaran yang mana?” sahut yang lain secara langsung karena setiap orang dari 1000 peserta mendapatkan mikropon sendiri-sendiri. Pelontar pernyataan memberikan penjelasan “Ketika ada pertanyaan berapa kali harus mengampuni dosa, bukankah kalau normal akan dijawab tiga kali. Kebetulan yang bertanya bilang apakah sampai tujuh kali. Eeeee, yang ditanya malah menjawab tujuh puluh kali tujuh kali”. Persoalan ini melebar menjadi pembicaraan bagaimana mengaplikasi ajaran pengampunan tujuh puluh kali tujuh kali.
Untuk mendapatkan kemungkinan-kemungkinan aplikatif, para peserta dibagi dalam 20 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 50 orang. Karena pembicaraan antar 50 orang dalam kelompok masih sulit untuk terjadinya keterlibatan setiap anggota, dalam kelompok-kelompok terjadilah pembicaraan sub-sub kelompok. Sesudah pembicaraan sub-sub kelompok ternyata malah muncul soal : 1) Apakah pengampunan tujuh kali tujuh kali untuk satu dosa atau kesalahan atau bisa lebih dari satu?; 2) Penghitungan tujuh puluh kali tujuh kali itu memakai ukuran kuantitatif atau kualitatif berdasar bobotnya?; 3) Penghitungannya cukup dilakukan pribadi masing-masing atau dengan pengawasan.
Ketika kembali ke pertemuan pleno, munculnya tiga soal itu mengakibatkan datang soal-soal lain yang amat banyak untuk menemukan aplikasi ajaran pengampunan tujuh puluh kali tujuh kali. Setiap peserta atau beberapa kelompok kecil peserta mengetengahkan pelaksanaan aplikatif berdasarkan latar belakang visi, perkembangan situasi hidup, dan budaya setempat yang dihadapi. Panitia perumus bingung dan banyak peserta mempertanyakan mengapa Majelis Penjagaan Penghayatan Agama mengambil tema Pengampunan Tujuhpuluh Kali Tujuh Kali.
Tiba-tiba ada salah satu peserta, yang terkenal sering ngawur kalau berbicara, tampil. “Menurut saya, sebenarnya kita ini hanya mendapat tugas utama menyebarluaskan pertobatan dan pengampunan dosa. Sebenarnya yang mengajarkan itu tahu tak ada di antara kita dan semua orang yang tak berhenti berdosa atau paling tidak berbuat kelemahan. Makin tua seseorang, makin nempellah dosa itu. Makin suci seseorang, makin sadarlah dia akan dosa-dosa yang menggelayutinya. Kalau pegangan utama hanya pada hukum atau tata aturan, siapa yang akan luput dari hukuman? Tata hukum memang dibutuhkan dalam organisasi. Tetapi kalau tata hukum hanya yang tertulis tanpa landasan moralitas sehingga hidup baik asal tak langgar hukum, hanya setan yang bisa bebas kesalahan dan dosa. Setan bisa menjadi virus yang menyerang penguasa dan pembuat hukum. Setan bisa menjadi inspirator batin untuk membuat tata aturan sesuai kepentingannya. Setan bisa membisikkan kita mengubah aturan sesuai dengan nafsu-nafsunya. Untuk massa manusia umum yang umumnya tak memiliki daya pengetahuan tentang tata hukum, yang umumnya juga punya kepentingan atau nafsu egoistis egosentris setipis apapun, berhadapan dengan hukum “Mana tahaaaaaan ....” Naaaah, pengajar agama sejati minta pakai moral sehingga ada pengampunan tanpa menghitung berapa kali dan tanpa terlalu mengingat dosa kesalahannya".
No comments:
Post a Comment