Friday, December 2, 2022

Menyelami Sejarah Telur Asin

 diambil dari https://www.validnews.id/kultura

Mulanya sebagai suguhan dalam sesaji peribadatan warga Tionghoa


17 Desember 2020 14:08 WIB

Editor: Satrio Wicaksono

Peternak memproses telur bebek untuk pengasinan di rumah industri kampung bebek Desa Kebon Sari, Candi, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (22/7). Peternak bebek setempat mengeluhkan naiknya harga garam dari Rp150.000 menjadi Rp400.000 per 50 kilogram sehingga mengakibatkan naiknya biaya produksi telur asin. ANTARA FOTO/Umarul Faruq

JAKARTA – Tak sekadar menjadi kudapan dan oleh-oleh khas Brebes, Jawa Tengah, telur asin telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) oleh Kemendikbud Indonesia, pada Oktober lalu. Makanan olahan dari telur bebek itu ternyata punya sejarah panjang.

Bukan sekadar produk kuliner. Telur asin merangkum pengetahuan, keterampilan serta identitas warga Brebes.

Tak tahu pasti kapan pertama kali telur asin tercipta. Namun, menurut berbagai sumber, telur asin pertama kali dipopulerkan di Brebes pada 1950-an. Adalah In Tjau Seng dan Tan Polan Nio, yang keduanya membuka usaha telur asin pertama di sana.

Telur Asin Menembus Masa

Etnis China masuk ke Brebes sekitar abad ke 18, satu abad sebelum pondasi toko pertama telur asin ditancapkan ke tanah. Peradaban China di Brebes bisa dilihat dari adanya dua klenteng di Losari (Hok Tek Tjeng Sin) dan Klenteng (Hok Tek Bio) di Gamprit, Keduanya sudah ada sejak abad 19.

Orang-orang Tionghoa waktu itu mengenalkan berbagai makanan termasuk telur asin. Mulanya telur asin disuguhkan dalam sesaji dalam peribadatan warga Tionghoa, bahkan menjadi menu yang wajib ada. Telur asin dijadikan simbol kesuburan untuk Dewa Bumi.

Proses pengasinan merupakan tradisi atau malah satu-satunya cara membuat makanan lebih awet dari semestinya. Dengan diasinkan, berbagai olahan makanan, termasuk telur bisa disimpan lebih lama.  

Bermula dari sesaji Dewa Bumi, masyarakat Tionghoa menjadikan telur asin sebagai bagian dari kekuatan ekonomi pada masa transisi pasca-Kemerdekaan. Selepas revolusi pada periode 1945 hingga 1950, perekonomian Indonesia belum benar-benar stabil.

Pada rentang waktu itu, telur asin menjadi bagian perekonomian masyarakat Tionghoa. Tak hanya untuk sesaji para dewa-dewa, telur asin juga mulai mengisi perut-perut lapar mereka. 

Untuk kesekian kalinya telur asin kembali bertransformasi. Telur bebek itu kemudian memiliki nilai ekonomis. Singkatnya telur asin berubah menjadi barang komersial.

Masyarakat Brebes mulai mengenal telur asin pada 1960-an. Bukan hanya keturunan Tionghoa, masyarakat pribumi sudah bisa membuat telur asin secara mandiri.  

Masyarakat Tionghoa dan pribumi Brebes hidup rukun di antara telur asin. Sejak saat itu, salah satu kabupaten di Jawa Tengah itu dikenal sebagai kota penghasil telur asin.

Telur asin kemudian menjamur hingga kini. Berbagai merek melabeli telur asin di Brebes. Pada mulanya, lokasi geografis Brebes menguntungkan para pengusaha telur asin. Wilayah Brebes yang dibelah jejak Herman Willem Daendels itu menjadi pusat arus manusia di Pulau Jawa.

Pantura menjadi penghubung puluhan kota di Jawa. Namun, setelah dibangun jalur Trans Jawa, fungsi pantura tak sestrategis dulu. Sejak saat itu, tak sedikit outlet telur asin di Pantura gulung tikar. Namun, bagi Anda yang ingin melancong ke Brebes atau sekadar mampir tak perlu khawatir. 

Sebab masih banyak toko yang menyediakan telur asin dengan berbagai varian, seperti original, bakar, panggang dan beberapa rasa lain. (Muhammad Fadli Rizal)

No comments:

Post a Comment

Santo Bruno, Pengaku Iman

diambil dari https://www.imankatolik.or.id/kalender/6Okt.html Bruno lahir di kota Koln, Jerman pada tahun 1030. Semenjak kecil ia bercita-ci...