Oleh : Antonius Koko Kristanto
Frater Antonius Koko Kristanto adalah calon imam Keuskupan Agung Semarang, Kini Frater Koko masih menyelesaikan studinya dan tinggal di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan. Tulisannya tentang Kristologi dalam kaitan dengan dunia kaum difabel disajikan dalam Blog Domus secara bertahap.
1. Pengantar
Artikel ini akan membahas tentang Kristologi bagi orang-orang difabel.[1] Kata difabel atau difability di kamus baik lokal maupun internasional (oxford dictionary) ternyata istilah tersebut tidak ada.[2] Berbagai kamus menuliskan orang yang cacat dengan sebutan disabel/disability bukan difabel/difability. Istilah ‘difabel’ (different ability) pada umumnya digunakan untuk menyebut orang-orang yang melakukan aktivitas secara berbeda dibandingkan dengan cara normal atau umum, oleh karena keterbatasan pada fungsi anggota tubuh dalam gerak dan sensorik, entah karena sebab bawaan maupun sebab-sebab lain.[3] Yesus mempunyai gelar nama sebagai Kristus yang berarti mesias. Mesias dalam pengertian Yahudi adalah seorang tokoh yang akan datang sebagai wakil Tuhan yang akan membawa keselamatan. Kristus merupakan pribadi sempurna yang dinantikan bagi umat Yahudi. Sebagai wakil Tuhan, Ia mengambil pribadi Yesus yang memiliki kekurangan dan pada saat Ia bangkit, Yesus Kristus menampilkan diri sebagai orang difabel. Dalam Kitab Suci ditunjukkan bahwa yang memiliki kecacatan fisik, terutama dalam perjumpaan dengan Tomas pada kisah kebangkitanNya. Setelah bangkit dan berjumpa dengan Tomas, Yesus tetap menjadi pribadi yang tidak sempurna secara fisik. Yesus menampakkan lubang pada tangan dan lambungNya.[4] Yesus Kristus dapat dimaknai sebagai Tuhan yang tetap berusaha sehati seperasaan dengan umatNya, termasuk orang-orang penyandang difabilitas.[5]
Analisis dalam artikel ini menggunakan metode studi pustaka dan hasil wawancara dengan penyandang difabilitas Katolik yang mempunyai kesetiaan dalam iman dan ajaran Katolik. Yesus Kristus juga mempunyai hati bagi orang-orang yang ada dalam situasi difabilitas. Yesus pernah memperhatikan dengan cara menyembuhkan orang yang buta sejak lahir. Bentuk perhatian Yesus bagi orang-orang difabel menunjukkan bahwa Allah tidak tinggal diam bagi mereka yang mengalami situasi difabilitas. Selain itu Yesus memiliki kemampuan yang berbeda (different ability) dalam bidang tertentu. Misalnya: Ia menghayati situasi different ability menghadapi pemimpin yang ingin membunuhnya pada waktu bayi. Ia memilih untuk menghindari situasi yang membuatnya hampir terbunuh (bdk. Matius 2: 13-23).
1.2 Keprihatinan
Penyandang difabilitas merupakan bagian dan realitas dunia ini. Berdasarkan perhitungan konservatif berdasarkan data Susenas pada 2018, ada 14,2 persen penduduk Indonesia yang menyandang difabilitas atau sekitar 30,38 juta jiwa[6]. Data Simfoni KPPPA[7] per 30 Maret 2021 mencatat terdapat 110 kasus anak difabilitas yang mengalami kekerasan dari 1.355 kasus anak sebagaimana dilaporkan Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus KPPPA, Elvi Hendrayani, dalam webinar Perlindungan Anak Disabilitas dari Kekerasan Selama Pandemi, yang diinisiasi oleh Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Jumat 20 Agustus 2021[8]. Dalam Gereja Katolik juga terdapat orang-orang penyandang difabilitas. Bagaimanapun keadaannya, para penyandang difabilitas merupakan pribadi yang adalah ciptaan Tuhan dan citra Allah serta memiliki martabat yang sama luhurnya dengan orang-orang non-difabilitas. Dalam kehidupan bermasyarakat, penyandang difabilitas tidak lepas dari diskriminasi. Dalam konteks accessibility justice perlu ada perubahan dalam sistem dan struktur dalam aturan negara. Hal ini perlu agar para penyandang difabel bisa bersekolah di sekolah yang inklusif, begitu juga konteks pekerjaan juga dibuka secara fair, secara umum. Dengan demikian waktu ke depan, teman-teman difabel ini sama dengan manusia pada umumnya.[9]
Penempatan para penyandang difabilitas mental di panti-panti sosial merupakan sebuah bentuk perampasan kebebasan yang juga bagian dari pelanggaran HAM. Penyandang difabilitas mental berbeda dengan orang dalam gangguan jiwa (ODGJ). Penyandang difabilitas mental adalah individu yang mengalami kelainan mental dan atau tingkah laku akibat bawaan atau penyakit. “Penyandang disabilitas mental adalah individu yang mengalami gangguan jiwa yang telah dirawat di Rumah Sakit Jiwa dan direkomendasikan dalam kondisi tenang,” tulis Dewantara dalam penelitian Penerimaan Diri Sebagai Penyandang Disabilitas Mental Dalam Proses Rehabilitasi di Rumah Pelayanan Sosial Disabilitas Mental (RPSDM) “Martani”, Kroya, Cilacap dikutip Jumat (26/2/2021).[10] Seseorang disebut memiliki disabilitas mental jika masalah tersebut telah menjadi rintangan atau hambatan untuk melakukan fungsi sosial dalam pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah dan kegiatan sehari-hari, tambahnya. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014, tentang Kesehatan Jiwa menjelaskan, Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Sedangkan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia.
Difabel secara mental tidaklah perlu ditempatkan pada panti-panti sosial. Difabel secara mental memanglah perlu dikonsultasikan secara rutin dengan dokter, tapi tidaklah perlu ditempatkan panti. Apabila keluarga penyandang difabilitas tidak mampu, peran pemerintah bukanlah mengapresiasi dan menempatkan penyandang di panti, namun memberi edukasi dan bantuan agar para difabel mental ini tetap dirawat di rumah keluarganya. Di Indonesia menempatkan orang difabel mental di panti masih dianggap sebagai hal yang wajar. Bahkan mendapat penghargaan atas tindakan tersebut. Untuk mengatasi pelanggaran, perlu diubah anggapan-anggapan terhadap penyandang difabilitas juga dibentuk peraturan-peraturan yang relevan.[11] Berdasarkan data di atas dan hasil wawancara, para difabel masih memperjuangkan martabatnya, kendati ada penyandang difabel yang minder akan keadaannya. Dari paparan di atas, penulis memilih pertanyaan mendasar untuk penyandang difabilitas, yakni bagaimana orang-orang difabel itu merasakan diri (menyadari) sebagai citra Yesus? Lalu bagaimana mereka melihat diri sebagai ciptaan yang sempurna seperti Kristus? Bagaimana orang difabel memandang Kristus? Pertanyaan mendasar ini secara khusus akan terjawab pada poin 6.1 (Hasil Wawancara).
2. Memandang Difabel
John Duns Scotus mencetuskan Haecceity. Haecceity merupakan properti atau sifat non-kualitatif yang menunjukkan identitas dan individualitas[12]. Haecceity adalah konsep metafisis yang sangat spesifik yang menjadikan sesuatu otentik pada dirinya[13]. Kualitas non-kualitatif ini disebut sebagai thisness. “Ke-ini-an” yang khas dari suatu entitas tertentu dan tidak terdapat pada entitas lainnya. Dalam teori Haecceity menunjukkan identitas dari objek konkrit yang digambarkan, sehingga objek yang konkrit tersebut memiliki identitas dirinya[14]. Ke-ini-an adalah perbedaan yang paling mendasar yang dimiliki setiap ciptaan dan tidak dapat dijelaskan oleh hal lain selain pada diri ciptaan itu sendiri. Haecceity menjelaskan partikularitas dari suatu ciptaan dan merupakan properti atau fitur yang primitif dari ciptaan tersebut. Berdasarkan kepemilikannya atas suatu haecceity, suatu partikular yang lengkap memiliki perbedaan dengan yang lain.[15]
Menurut pemikiran Scotus, tentang prinsip individuasi atau haecceity, prinsip identifikasi diri ini bersumber dari eksistensi[16]. Prinsip ini bukan terjadi secara aksidental, akan tetapi prinsip ini adalah prinsip keunikan, riil, dan tidak dapat terulang. Gagasan Scotus tentang haecceity menyasar pada nilai dan martabat manusia sebagai bagian dari yang universal. Setiap individu memiliki identitas masing-masing yang esensial dan tidak dapat dibagi atau dimiliki yang lain[17]. Keunikan dan ketakberulangan haecceity dari setiap makhluk membuat situasi mampu kembali posisi yang partikular di antara yang universal. Akan tetapi, prinsip ke-ini-an tidak menafikan fondasi ciptaan, yang adalah relasi[18]. Nilai dan martabat seseorang tidak terletak pada status yang didapatkan atau ditentukan oleh masyarakat, misalnya status jenis kelamin (laki-laki atau perempuan). Martabat setiap ciptaan tetap bersumber dari Allah. Ke-ini-an tersebut, secara paradoks, tidak dapat diketahui oleh orang lain, selain daripada Allah sendiri[19].
Manusia yang tidak mengidentifikasi
diri mereka sebagai individu tidak dapat mengenali identitas diri mereka[20]. Teori Duns Scotus tentang haecceity sebagai
keunikan setiap orang turut menentukan jati diri orang tersebut. Jika ‘sesuatu’
bukanlah ‘sesuatu’ dalam dirinya sendiri dan dengan sendirinya, itu tidak dapat
dihargai sebagai ‘sesuatu’ yang ada dengan sendirinya[21]. Seseorang dengan difabilitas harus
eksis sebagai dirinya apa adanya dan orang tersebut harus diperlakukan,
diapresiasi, dan dicintai sebagaimana dirinya. Prinsip haecceity ini
menjadi prinsip yang etis pula karena mendasari cara seseorang memperlakukan
penyandang[22]. Konsep haecceity dapat
dianalogikan sebagai ‘sidik jari.’ Sidik jari dimaknai sebagai tanda, seperti
‘nomor serial,’ yang unik dan tercetak pada tubuh[23]. Oleh karena itu, tubuh memiliki
identitas yang berkenaan dengan esensinya. Melalui sidik jari, seseorang
memasuki relasi yang identik dan spesifik dengan tubuhnya[24]. Identitas ini yang tidak dapat diubah
dan tak dapat dihilangkan.[25] Orang dengan difabilitas adalah
individu yang unik dan memiliki different ability.[26] Banyak teolog yang sebenarnya
mengetahui bahwa orang yang cacat memiliki kemampuan berbeda, namun beberapa
teolog masih menyebutnya sebagai difabel. Seperti halnya Jan S. Aritonang dan
Asteria T. yang menuliskan, “Seorang penyandang difabel bukan tidak memiliki
kemampuan (abilitas), tetapi memilikinya secara berbeda.”[27] Selain itu, penyandang
difabilitas juga memiliki perspektif tentang memahami sesuatu termasuk Allah.
Perbedaan ini sungguh memperkaya komunitas. Maka, dapat disimpulkan bahwa
penyandang difabilitas juga memiliki kontribusi yang khas bagi komunitas.
[1] Penulis
menggunakan istilah difabel karena penulis ingin memandang positif mereka yang
mengalami cacat fisik. Dengan sebutan difabel bukan disabel menurut penulis
orang cacat merupakan pribadi yang different ability (memiliki perbedaan
kemampuan), bukan disabel (tidak mampu). Penulis akan setia menyebut mereka
yang mengalami cacat dengan sebutan difabel. Pada poin 5 (Difabel Dalam
Kacamata Teologi Katolik), penulis akan mengulas lebih dalam.
[2] Haryanto
Imadha, Bahasa: Difabel, Difable ataukah Disable, diakses pada 16 Juni
2020 dalam
[3] Andre
B. Atawolo, Refleksi tentang Disabilitas -1 diakses pada 15
Juni 2022 diambil dari
https://komkat-kwi.org/2021/01/15/refleksi-tentang-disabilitas-1-p-dr-andreas-atawolo-ofm/
[4] Yohanes
20:27 Kemudian Ia berkata kepada Tomas: "Taruhlah jarimu di sini dan
lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan
jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.
[5] YEU
(Youth for Exchange and Understand), Handbook “Difabilty” (Brussels:
Project Management of Youth Activity Involving Youth with Difabilities, 2021),
4.
[6] Ade
Nasihudin Al Ansor, Jumlah Penyandang Disabilitas di Indonesia Menurut
Kementerian Sosial, diakses pada 23 Mei 2022 dalam Liputan6.com
https://www.liputan6.com/disabilitas/read/4351496/jumlah-penyandang-disabilitas-di-indonesia-menurut-kementerian-sosial
[7] Sistem
Informasi Perlindungan Online (SIMFONI), Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
[8] Cheta
Nilawaty P., Lebih dari 100 Anak Berkebutuhan Khusus Mengalami
Kekerasan Selama Pandemi. Diakses pada 22 Mei 2022 dalam
https://difabel.tempu.co/read/1497233/lebih-dari-100-anak-berkebuthan-khusus-mengalami-kekerasan-selama-pandemi/full&view=ok.
[9] Di
Indonesia, pemenuhan hak-hak disabilitas telah dijamin oleh UU No. 19 Tahun
2019 yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas). Beberapa permasalahan yang sering terjadi berkaitan dengan
pemenuhan hak disabilitas, seperti masih banyak para penegak hukum yang belum
aware terhadap penyandang disabilitas, fasilitas di peradilan belum cukup
menjangkau kebutuhan para disabilitas, dan minimnya akses ekonomi bagi kaum
disabilitas.
[10] Ade
Nasihudin Al Ansori, Pengertian Disabilitas Mental, ODGJ, ODMK dan
Dampaknya Bagi Penyandang - Disabilitas, diakses pada 25 Mei 2022 dalam
Liputan6.com
https://www.liputan6.com/disabilitas/read/4492950/pengertian-disabilitas-mental-odgj-odmk-dan-dampaknya-bagi-penyandang.
[11] UII, Penyandang
Disabilitas Berhak Mendapat Akses Keadilan, diakses pada 25 Mei 2022 dalam
https://www.uii.ac.id/penyandang-disabilitas-berhak-mendapat-akses-keadilan/
[12] Richard
Cross, Duns Scotus’ Theory of Cognition (New York: Oxford
University Press, 2014), 14.
[13] Antonie
Vos, The Philosophy of John Duns Scotus (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 2006), 413.
[14] Richard
Cross, Medieval Theories of Haecceity, diakses pada
20 Mei 2022 dalam
https://plato.stanford.edu/archives/sum2014/entries/medieval-haecceity.
[15] Richard
Cross, Medieval Theories of Haecceity, diakses pada
20 Mei 2022
dalam https://plato.stanford.edu/archives/sum2014/entries/medieval-haecceity.
[16] Daniel
P. Horan, “Beyond Essentialism and Complementary: Toward a Theological
Anthropology Rooted in Haecceitas,” Theological Studies Volume 75:1 (2014),
110.
[17] Daniel
P. Horan, “Beyond Essentialism and Complementary: Toward a Theological
Anthropology Rooted in Haecceitas,” Theological Studies Volume 75:1 (2014),
111.
[18] Daniel
P. Horan, “Beyond Essentialism and Complementary: Toward a Theological
Anthropology Rooted in Haecceitas,” Theological Studies Volume 75:1 (2014),
111.
[19] Brian
Kelly, “Gerald Manley Hopkins and Duns Scotus ‘Haecceitas’” diakses
pada 22 Mei 2022 dalam
https://www.catholicism.org/gerard-manley-hopkins-duns-scotus-haecceitas.html.
[20] Panenenberg,
Anthropology in Theological Perspective (Britania Raya: T&T Clark, 1999),
58.
[21] Antonie
Vos, The Philosophy of John Duns Scotus (Britania Raya:
Edinburgh University Press, 2006), 398.
[22] Antonie
Vos, The Philosophy of John Duns Scotus (Britania Raya:
Edinburgh University Press, 2006), 399.
[23] Davis, Enforcing
Normalcy: Disability, Deafness, and the Body (United State: First
Edition (US) First Printing, 1995), 31.
[24] Davis, Enforcing
Normalcy: Disability, Deafness, and the Body (United State: First
Edition (US) First Printing, 1995), 31.
[25] Debora
Beth Creamer, Disability and Christian Theology: Embodied Limits and
Constructive Possibilities (Inggris: Oxford University Press, 2009),
18.
[26] YEU (Youth for Exchange and Understand), Handbook
“Difabilty” (Brussels: Project Management of Youth Activity Involving
Youth with Difabilities, 2021), 4.
[27] Jan S. Aritonang dan Asteria T. Aritonang, Mereka juga Citra Allah (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2017), 191.
No comments:
Post a Comment