Saturday, December 17, 2022

Kristologi Difabilitas: Kristus yang Sempurna Tampil dalam Yesus yang Difabel (2)

Oleh : Antonius Koko Kristanto

Frater Antonius Koko Kristanto adalah calon imam Keuskupan Agung Semarang, Kini Frater Koko masih menyelesaikan studinya dan tinggal di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan. Tulisannya tentang Kristologi dalam kaitan dengan dunia kaum difabel disajikan dalam Blog Domus secara bertahap.

3. Dasar Kitab Suci

Orang-orang Kristen dipanggil untuk berkontribusi membangun dunia. Sayangnya, dalam pemikiran Kristiani, kecacatan kadang-kadang diidentifikasi sebagai konsekuensi dari dosa asal. Namun, Kitab Suci mengungkapkan bahwa, sejak awal, kehidupan manusia, dalam semua dimensinya, ditandai oleh keterbatasan dan ketergantungan. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Tuhan menciptakan manusia (Adam) “dari debu tanah”. Kemudian Allah menciptakan Hawa sebagai rekan yang mampu saling menolong dan melengkapi. Meskipun demikian, “Tuhan melihat segala sesuatu yang telah dia buat, dan memang, itu sangat baik.” Hal ini karena, Allah menciptakan manusia menurut menurut gambar dan rupa-Nya. Selain itu juga terdapat teks yang menggambarkan Allah dengan memakai organ tubuh manusia. Dalam hal ini perlulah untuk berhati-hati jangan sampai menyamakan keterbatasan sifat alamiah fisik manusia dengan Allah, menjadi terlalu berpikir dari sudut manusia (antropomorfis) dalam memandang Tuhan Allah. Namun demikian, mengatakan bahwa Allah sama sekali berbeda dengan manusia sama salahnya dengan mengatakan bahwa Dia persis seperti umatNya. Pendasaran ini dapat menjadi acuan untuk menjelaskan serupa dalam gambar dan rupa antara Allah, Pencipta itu dengan manusia ciptaan-Nya. Bagaimana pengertian diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. “Hakikat kemanusiaan kita adalah citra Allah (Kej. 1:26-27). Citra Allah itu meliputi gambar Allah (imago Dei) dan teladan Allah (similitudo Dei). Ini merupakan kelengkapan manusia yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk melakukan tugas-tugas yang telah diberikan-Nya.”

Manusia diciptakan menurut gambar-Nya adalah poin yang sangat penting karena membuat manusia berbeda dengan ciptaan lainnya. Diciptakan menurut gambar Allah merupakan salah satu titik awal teologis yang mendasar di mana iman Kristen dimulai ketika manusia membahas tempat manusia di alam semesta. Karena gambar Allah yang dimiliki ini maka manusia mampu untuk percaya bahwa setiap kehidupan manusia adalah pancaran Ilahi. Gambar Allah yang ada didalam diri setiap manusia merupakan keluhuran dari segala ciptaan-Nya dan mampu menjadikan manusia itu kudus. Pada saat diciptakan Adam dan Hawa bukan saja se-gambar dengan Allah tetapi juga memantulkan se-rupa Allah. Rupa berasal dari terjemahan kata “likeness”, namun sebenarnya berasal dari kata Ibrani demut diterjemahkan sebagai similitudo (dalam bahasa Latin). Similitudo dapat diartikan sebagai kata “teladan”, sedangkan “Similitudo Dei artinya teladan Allah. Sedangkan kata ibrani demut berarti keserupaan (segi batin), yakni sebakat, setabiat, sewatak.” Ini menyatakan bahwa sebenarnya sifat-Nya yang kudus itu pun diturunkan kepada mahkota ciptaan-Nya yaitu manusia pada waktu penciptaan.

Karunia gambar Allah (imago Dei) dan rupa Allah (demut) yang menjadi berkat Allah yang tidak diberikan kepada binatang dan ciptaan lainya, seharusnya manusia syukuri dan jaga. Citra Allah yang dimiliki manusia merupakan persekutuan dengan Tuhan sebagai berkat dan karunia. Bekal yang diturunkan Allah ini, membuat manusia mampu untuk mempunyai sikap dan kelakuan sesuai dengan gambar Tuhan. Pernyataan diri Allah yang kudus itu dinyatakan-Nya di dalam diri mahkota ciptaan-Nya itu, baik dari segi jasmani dalam gambarnya maupun dari segi batinnya di dalam tabiat. Ini tidak ditemukan di dalam ciptaan lainnya dan inilah yang membuat manusia itu menjadi khusus dan istimewa. Dengan demikian terdapat tanggung jawab yang berbeda dengan ciptaan lainnya karena gambar dan rupa Allah yang melekat di dalam diri manusia itu. Para penyandang difabel perlu bangkit dan semua orang perlu menyadari bahwa orang-orang difabel mempunyai martabat yang sama. Karena Allah menciptakan semua baik adanya dan sesuai dengan citraNya.

Perjanjian Baru menunjukkan bahwa Yesus mengantar Kerajaan Allah dengan mengikatkan dirinya pada nubuat kuno yang menyatakan keselamatan bagi mereka yang ditinggalkan oleh kehidupan. Di sinagoga Nazaret, setelah membaca kata-kata Yesaya tentang tanda-tanda keselamatan, Yesus menyatakan bahwa nubuat Yesus sedang terjadi. Kata-kata Yesus ini dibuktikan dengan kesaksian yang diberikan oleh tindakan sehari-hari.  Kitab Suci berulang kali mencatat bahwa Allah berpihak kepada yang lemah, yang tersingkir, yang miskin, yang menderita, kaum janda dan anak-anak. Persembahan janda miskinlah yang berkenan kepada Allah (lih. Luk 21:3). Yesus mengajarkan agar kalau kita mengadakan perjamuan, kita mengundang orang-orang miskin, cacat, lumpuh dan buta (lih. Luk 14:13). Ini dapat diartikan, bahwa kita diajarkan untuk berbuat baik tanpa mengharapkan balasan. Yesus menghendaki agar kita memperhatikan orang-orang miskin (lih. Luk 3:11; Kis 6:1; Gal 2:10). Bahkan di hari penghakiman, kita akan diadili menurut perbuatan kasih yang kita lakukan kepada orang-orang yang miskin dan yang tersingkir (lih. Mat 25:42-45). Kristus sang Raja mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai orang hina. Tujuan utama Yesus menjadi hina atau hamba dari segala hamba adalah menyelamatkan sesama dan mewartakan Tuhan Allah yang penuh kasih. Paus Fransiskus berkomentar: “Apa yang bertahan, apa yang bernilai dalam hidup, kekayaan apa yang tidak hilang? Tentunya dua ini: Tuhan dan sesama. Kedua kekayaan ini tidak akan pernah hilang. Ini adalah sesuatu yang terbesar dan kedua hal ini untuk dicintai.” Sikap manusia terhadap Tuhan dan sesama merupakan sarana untuk secitra dengan Allah. Pada akhir hidup dan sejarah, manusia akan dinilai berdasarkan kasih terhadap sesama terutama kepada sesama yang paling rentan, dan mereka yang dianggap paling rendah dalam keluarga manusia, salah satunya adalah penyandang difabilitas.

Sadar atau tidak hadirnya para penyandang difabilitas menunjukkan kekayaan Gereja. Orang yang menyandang difabilitas tetaplah bisa mengembangkan bakat yang mampu ambil bagian dalam karya Ilahi. Keberagaman fisik dalam manusia menjadi sarana untuk menyadari bahwa manusia perlu saling terhubung. Keterhubungan ini dalam Gereja Katolik disebut sebagai kesatuan tubuh. Dalam I Korintus 12:27 dituliskan, “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya”. Marilah mengambil langkah-langkah untuk membangun dunia yang lebih baik di mana penyandang difabilitas selalu dihargai, berteman, dan dicintai.

No comments:

Post a Comment

Peringatan Arwah Tiga Rama

Hajatan yang diselenggarakan di Domus Pacis memang sudah dimulai dan kemudian menjadi kebiasaan. Itu terjadi sejak masih berada di Puren Pri...