Tampaknya ada gambaran umum bahwa hidup bersama akan berkembang baik kalau tertata dan semua anggota taat pada tatanan. Bahkan dalam budaya Jawa, katanya, prinsip tata (hidup tertata) dan titi (semua teliti menjalani) akan membuahkan tentrem (ketentraman). Berkaitan kondisi ketuaan dan kelansiaan, orang dapat mengalami kondisi yang sulit teratur dan bahkan bisa menabrak aturan. Dengan demikian kehadiran seorang lansia bisa menjadi kegundahan anak-cucu karena kesulitan untuk diatur. Apalagi kalau sang lansia sudah mengalami kurang atau tidak bisa mengontrol diri sehingga bisa mudah menjadi gangguan bagi kiri kanan orang serumah. Di sini saya mensharingkan kehidupan kami di Domus Pacis Santo Petrus, Kentungan.
Pengalaman Domus Pacis
Saya mengalami tinggal di Domus Pacis sejak di Puren, Pringwulung, yang bernama Domus Pacis Puren hingga diboyong pindah di Kentungan yang bernama Domus Pacis Santo Petrus. Penghuni lansia dan bahkan dengan kondisi kepikunan dan juga penyakit ketuaan bisa dikatakan menjadi warna yang terasa dalam keseharian. Lebih-lebih kini, sesudah berada di Domus Pacis Santo Petrus, suasana seperti itu menjadi warna utama.
Kondisi para romo sepuh
Almarhum Rm. Suryonugraha ketika menjadi ketua para romo projo Keuskupan Agung Semarang mengatakan bahwa Domus Pacis juga menjadi semacam rumah sakit. Sementara itu Rm. Hartanta sebagai Direktur Domus mengatakan "Kula selalu kemutan kata-kata Romo Bambang bahwa Domus itu rumah tempat penghuni tak normal" (Saya selalu ingat akan kata-kata Rm. Bambang bahwa Domus adalah rumah para penghuni tidak normal). Saya memang memandang Domus berisi para romo yang tidak normal. Tentu saja termasuk diri saya. Saya menempatkan diri saya, tentu juga teman-teman romo sepuh serumah, sebagai sosok-sosok yang tidak dapat lagi mengikuti tata tertib umum.
Sebagai imam orang biasa mengaitkan dengan hidup keagamaan. Dalam berdoa tentu beberapa yang kondisinya sudah mengalami disorientasi biasa sudah jauh. Kalau masih ada yang bisa mengucapkan doa, berkaitan dengan waktu ada yang sudah mengucapkan "ing enjing menika" (pada pagi ini) padahal itu makan malam. Beberapa sudah sulit membaca sehingga bisa terjadi sudah tidak menjalani doa wajib untuk para imam. Apalagi dalam Misa, 4 orang sudah tidak pernah ikiut. Bagi yang ikut, tata gerak seperti berdiri dan berlutut sudah tidak masuk praktek, Bahkan pemimpin Misa kebanyakan duduk terus tanpa menggunakan altar resmi. Altar yang banyak dipakai adalah sebuah meja. Bahkan beberapa kerap tertidur ketika Misa berlangsung.
Berkaitan dengan kondisi fisik, tidak ada romo sepuh termasuk saya yang tidak membutuhkan bantuan karyawan. Yang membedakan adalah kadar bantuannya: ada yang dalam segalanya, ada yang harus selalu dijaga atau dikontrol, ada yang masih bisa melayani sendiri dalam beberapa hal. Yang jelas semua kini sudah berkursi roda. Memang, 4 orang sudah di kamar terus dan sudah tak dapat mengurus diri dalam segalanya. Tetapi yang masih dapat ikut kebersamaan, misalnya dalam makan, juga ada yang sudah harus dibantu atau diawasi karena bisa sudah tidak bisa memilih sendiri menu yang bertentangan dengan kondisi sakitnya. Bahkan bisa terjadi ketika sedang makan ada yang buang air kecil bahkan besar tetapi beliaunya tenang saja. Maka dapat dibayangkan itu juga terjadi pada beberapa romo di kamar masing-masing.
Pelayanan karyawan
Tampaknya, yang saya kisahkan di atas tidak tertangkap oleh umum terutama mereka yang berkunjung di Domus baik perorangan maupun rombongan. Kebanyakan tamu mengagumi Domus Pacis karena bangunan megahnya tetapi terutama karena kebersihan dan keindahan tata ruangnya. Banyak yang mengunjungi rama sepuh di kamarnya juga mengagumi terawatnya kamar tentu termasuk kebersihannya. Para romo memang biasa tampak tampil rapi dan bersih. Memang, kalau ikut Misa bersama para romo, para tamu bisa merasa terharu akan kondisi para romo. Tentu saja mereka juga dapat tertawa tertahan ketika melihat perilaku yang tak sesuai dengan sikap liturgis. Tetapi mereka akan memakluminya.
Bahwa kondisi rumah dan para romo sepuh selalu tampak rapi, tertata, dan bersih, itu adalah hasil kerja para karyawan. Begitu melihat ada hal "tak beres" pada romo tertentu, selalu ada karyawan yang segera bertindak. Mereka selalu siaga membersihkan romo yang menderita kekotoran. Mereka akan selalu siaga mengepel kamar atau tempat romo di posisi tertentu. Mereka akan segera memandikan lagi dan mengganti pakaian romo sewaktu-waktu. Mereka akan segera datang di kamar tertentu kalau ada bel panggilan yang dibunyikan romo tertentu dari kamarnya. Kondisi tertata dan rapi baik ruangan maupun para romo sepuh bagaimanapun juga terjadi karena kesigapan para karyawan.
Kepemimpinan Rm. Hartanta
Satu hal yang bagi saya memiliki posisi penentu atas segala keadaan baik Domus adalah peran kepemimpinan Rm. Hartanta. Beliau tinggal bersama di Domus. Beliau mengalami kebersamaan dengan para karyawan dan para romo sepuh. Beliau selalu memastikan kerja, hari libur, kebersamaan model tim dari para karyawan. Kesejahteraan para karyawan juga diupayakan seoptimal mungkin. Tetapi ketenangan karyawan dalam melayani para romo sepuh baik dalam kebutuhan tetapi juga dalam kerewelannya, itu semua juga terjadi karena ada pendampingan dari Rm. Hartanta. Sebagai pemimpin Rm. Hartanta sering mengadakan pertemuan dengan karyawan baik bersama maupun perorangan.
Kepemimpinan Rm. Hartanta juga amat terasa dalam diri para romo. Tidak jarang beliau memberikan pengumuman-pengumuman dalam kebersamaan di meja makan. Koordinasi dengan para romo juga amat tampak dalam tugas-tugas liturgi. Beliau juga tidak segan untuk menjumpai para romo secara individual untuk berbicara tentang hal-hal personal. Rm. Hartanta bisa melakukan pendekatan humanis tetapi juga bisa tegas terhadap para romo sepuh. Tugas pokok beliau memang menjadi Direktur Domus Pacis Santo Petrus. Namun demikian Rm. Hartanta juga menjadi anggota beberapa kelompok kerja dan juga menjadi pengurus harian Kevikepan Jogja Barat. Untunglah, dengan kemajuan tekhnologi masa kini beliau bisa tetap siaga memperhatikan Domus secara online. Dengan demikian kalau ada hal yang harus segera mendapatkan penanganan, beliau bisa langsung mengirim kebijakan lewat karyawan atau bisa pula segera pulang ke Domus.
Sebuah Refleksi
Rm. Suntara, salah satu romo sepuh Domus Pacis Santo Petrus, kerap memunculkan kata-kata sekitar "Neng kene ki sangat terurus" (Di sini kita sangat terurus). Sementara itu kalau ada rombongan tamu sering ada pertanyaan "Apa syarat boleh tinggal di rumah ini?", Rm. Hartanta dengan nada seloroh biasa menjawab "Syaratnya adalah taat kepada Uskup mau diminta tinggal di Domus Pacis Santo Petrus". Tak dapat dipungkiri, sebagaimana juga terjadi di sementara kaum sepuh dalam keluarga umum, kaum sepuh banyak yang tidak mau tinggal di rumah khusus untuk lansia. Tetapi saya tidak akan membicarakan ini semua. Saya mau mencoba menemukan nilai-nilai yang terjadi di Domus Pacis Santo Petrus sehingga ada suasana seperti yang dikatakan oleh Rm. Suntara, dan ada suasana nyaman bagi para romo sepuh.
Ada kesungguhan kepemimpinan iman
Bagi saya kepemimpinan iman adalah sama dengan istilah penggembalaan dalam Kitab Suci. Di dalam Injil Yohanes ada gambaran tentang kesejatian gembala, yaitu "Sesungguhnya siapa yang masuk ke dalam kandang domba dengan tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan seorang perampok; tetapi siapa yang masuk melalui pintu, ia adalah gembala domba." (10:1-2). Rm. Hartanta sebagai pemimpin Domus selalu berjuang untuk memahami satu persatu situasi kondisi masing-masing para romo sepuh ragawi dan jiwaniya. Dia juga selalu memantau paling tidak juga dengan mendengarkan informasi dari para karyawan. Kebetulan kepemimpinan di Domus Pacis Santo Petrus mulai dengan 1 Juni 2021 sudah dilatarbelakangi kehadirannya di Domus Pacis Puren, Pringwulung, sejak 1 September 2020 ketika para romo sepuh tinggal di situ sebelum pindah ke Domus Petrus.
Rm. Hartanta juga tampak menjaga kebersamaan dengan para karyawan. Beliau berusaha mengenal satu persatu baik karakter maupun latarbelakang keluarganya. Rm. Hartanta biasa ikut duduk bersama dengan para karyawan ketika mereka sedang makan bersama. Apa yang dilakukan oleh Rm. Hartanta baik terhadap para romo sepuh dan para karyawan sungguh membuat terjadinya suasana saling mengenal antar para romo dan antar para karyawan serta antara pemimpin dan yang dipimpin. Antara para karyawan dan para romo juga terjadi keakraban.
Ada komunitas nyata
Suasana kepemimpinan di atas bagi saya sungguh membuahkan suasana yang memancarkan kegembiraan hubungan satu sama lain antar semua orang serumah. Memang tak dapat dipungkiri bahwa ada romo-romo tertentu yang sering membuat repot bahkan tampak rewel. Di antara para karyawan juga ada yang sering bertindak tak menyenangkan. Tetapi semuanya menjadi ramuan yang menghasilkan nuansa seperti antar anggota keluarga hidup dalam satu rumah. Kebetulan saja sementara fasilitas yang ada pada romo juga tersedia untuk para karyawan. Makan, minum, dan snak juga tersedia sama bagi para romo dan karyawan. Memang, antar para penghuni tak ada yang memiliki hubungan darah. Bahkan ada 6 karyawan yang berbeda agama dengan lainnya termasuk para romo yang Katolik. Di dalam permenungan saya kondisi dan situasi kebersamaan hidup di Domus sungguh mencerminkan hidup kekeluargaan dan persaudaraan seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus "..... siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku" (Mat 12:50). Dengan demikian bagi saya Domus Pacis sungguh mengungkapkan suasana komunitas. Kalau berkata ada Komunitas Domus Pacis Santo Petrus, itu bukan sekedar label rumah tempat tinggal para imam sepuh. Seberapapun kadarnya di situ ada realitas kehadiran Kristus sebagai sukacita ilahi karena sadar atau tidak sadar terjadi apa yang difirmankan-Nya "di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka" (Mat 18:20).
Kentungan, 13 Agustus 2022
No comments:
Post a Comment