“Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:16-18)
Bukan Kebanggaan
Masa Prapaskah adalah
masa Retret Agung. Istilah lain dari retret adalah samadi. Di dalam olah rohani
Jawa biasa disebut bertapa. Orang-orang yang menyingkir dari pergaulan harian
umum disebut pertapa sebagaimana terjadi pada biarawan-biarawati Katolik yang
menekankan kehidupan kontemplasi misalnya yang ada di Rawaseneng dan Gedana.
Secara umum pada masa seperti itu salah satu yang biasa dijalani adalah kegiatan berpuasa. Dan kegiatan berpuasa ini biasa dimengerti berkaitan dengan kegiatan tidak makan dan minum. Orang yang bisa tidak makan minum pada masa tertentu atau diakui keseriusannya dalam berpuasa akan diakui sebagai orang sungguh beragama. Karena tidak makan minum dalam kurun waktu tidak sebentar, orang dapat mengalami kondisi lemah paling tidak dalam tampilan ragawi. Karena tampilan seperti ini bisa membuat orang lain tahu bahwa dia sedang berpuasa dan akan sungguh mendapatkan pujian dan sanjungan sebagai orang yang serius beragama. Karena puasa dengan tanda-tanda seperti itu menghadirkan kebanggaan, bisa terjadi kalau tubuh tetap segar meski mengurangi atau tidak makan minum, orang dapat merekayasa tampilan agar tampak berkondisi lemah. Tampilan-tampilan rekayasa seperti ini, apalagi kalau sebetulnya tidak menjalani puasa, amat dikecam oleh Tuhan Yesus. Kegiatan berpuasa bukanlah eksposisi kebaikan. Bahkan Tuhan Yesus menuntut agar dalam berpuasa meminyaki rambut dan mencuci muka sehingga tampak segar walau lapar dan haus.
Puasa Alamiah Kaum Lanjut Usia
Di dalam aturan tentang puasa ada aturan Gereja bahwa yang berusia 60 tahun keatas bebas dari kewajiban berpuasa. Gereja membedakan antara puasa dan pantang. Meskipun demikian secara rohaniah, karena Kitab Suci adalah landasan dasar hidup rohani, puasa adalah kewajiban untuk semua orang. Maka yang perlu dicari adalah bagaimana kaum lanjut usia harus menjalani kewajiban berpuasa.
Matiraga kembangkan “habitus baru”
Bagaimanapun juga puasa adalah tindakan yang mengakibatkan kondisi raga terasa tidak nyaman, tidak enak, dan tidak segar. Inilah mengapa puasa juga disebut matiraga. Puasa selalu menyangkut segi jasmaniah. Tetapi dalam masa Prapaskah puasa dijalani dalam rangka Retret Agung. Dan yang harus disadari adalah bahwa setiap retret, agung atau tidak agung, adalah latihan rohani, latihan hidup dalam bimbingan Roh Kudus. Orang beriman akan yakin dalam bimbingan Roh dia akan dinamis, selalu baru dan diperbarui, sehingga mengalami suasana damai sejahtera dalam hidupnya.
Puasa 40 hari sebagai Retret Agung terutama menjadi proses pengembangan diri untuk semakin mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya. Dalam hal ini kaum lanjut usia dalam puasa diajak untuk menyadari perkembangan situasi hidupnya secara kongkret kini dan di sini. Hal-hal apa yang saat ini sudah ada dalam keadaan baik? Hal-hal apa yang menjadikan diri ada dalam kondisi tidak baik? Dalam proses selama 40 hari lewat berbagai permenungan dan doa dengan terang iman selama Prapaskah, kaum lanjut usia melatih diri untuk mampu meneladan Tuhan Yesus yang mengalami kemuliaan Paskah lewat salib, yaitu derita dan wafat-Nya. Kalau kita sudah ada dalam keadaan baik, kita berupaya menemukan pengembangan sikap dan tindakan apa untuk mempertahankannya. Kalau keadaan kita tidak baik, kita berupaya menemukan perubahan dan melatih diri untuk menghayatinya. Dengan demikian puasa dalam masa Prapaskah menjadi proses melatih kebiasaan baru atau habitus baru untuk menjadi orang lanjut usia yang segar ceria sekalipun lewat susah derita selama 40 hari.
Limpahnya penghayatan puasa
Kalau puasa juga menjadi kegiatan matiraga, untuk hal ini kaum lanjut usia memiliki kesempatan yang amat luas. Sesehat apapun seorang lanjut usia, secara ragawi sudah mengalami pelemahan dibandingkan dengan usia-usia sebelumnya. Dia sudah harus mewaspadai kondisi badan agar tetap segar. Apalagi kalau dilihat secara umum, kaum lanjut usia sudah mengalami kerawanan fisik sehingga penyakit(-penyakit) mudah menjangkiti. Dalam hal ini kerap muncul yang disebut dengan diet atau pantang makanan atau minuman tertentu demi menjaga kondisi tubuh tidak dikuasai oleh perkembangan penyakit tertentu. Tentang pantang, yang sudah lanjut usia tanpa penyakit pun juga harus mulai mengurangi santapan ini dan itu agar terhindar dari penyakit yang biasa menjadi idapan lanjut usia.
Diet atau pantang asupan itu dapat dijalani sebagai tindakan
berpuasa bagi kaum lanjut usia. Orang berlanjut usia selama masa Prapaskah
melatih diri meninggalkan menu yang mungkin sebelumnya menjadi favorit tetapi
kini membahayakan kondisi fisiknya. Dia berlatih membiasakan diri menyantap
makanan-makanan yang dipandang amat sesuai untuk kebugaran tubuh sesuai dengan
realitas masa kini. Ini adalah pelatihan menghayati kebiasaan atau habitus baru. Apalagi kalau
makanan-makanan sehat untuk masa kini dulu tidak pernah masuk dalam seleranya.
Di sini kegiatan santap menu baru menjadi jalan pertobatan karena berbalik
mengikuti kehendak kebaikan. Dengan demikian, sekalipun secara yuridis formal
sudah bebas berpuasa, kaum lanjut usia justru masuk dalam keleluasaan menjalani
matiraga berlatih mengikuti Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perkembangan
dirinya. Latihan rohani ini, karena tanpa penyangkalan batin orang tak akan
mampu menjalani olah ragawi dalam berpuasa, akan membuat orang meraih kebiasaan
baru yang menjadi kebiasaan perilaku sesudah masa Prapaskah.
Penghalang Utama
Bagaimanapun juga puasa menjadi ungkapan untuk tindakan menyangkal diri dan memikul salib berupa ketidakenakan. Ini dapat dihayati sebagai hal yang membuat orang merasa tidak bebas. Bagi orang lanjut usia yang inginnya mengikuti kehendak sendiri, dia dapat memperoleh alasan syah secara Gerejani. Dia bisa berkata bahwa “Aku kan sudah umur 60 tahun, jadi sudah bebas dari puasa”. Kaum lanjut usia memang sudah bebas dari puasa yang diatur oleh Keuskupan. Dan aturan ini dapat menjadi dalih untuk tidak bermatiraga.
Tetapi bagaimana dengan puasa sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban beragama yang sesuai dengan realitas diri sebagai kaum lanjut usia? Untuk membangun kebiasaan baru yang menyegarkan badan ada hal yang menjadi hambatan besar. Kaum lanjut usia bisa memiliki selera berat terhadap makanan atau minuman tertentu. Jeratan selera ini dapat menggagalkan untuk membiasakan diri dengan menu lain bahkan baru di luar kebiasaan makan. Apalagi kalau yang baru itu amat bertentangan dengan selera lidah.
No comments:
Post a Comment