Wednesday, March 2, 2022

Lansia di Prapaskah : Wajib Bersedekah

“Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:2-4)


Pada zaman kini demi transparansi dana-berdana biasa dilakukan dengan pencatatan. Hal ini dapat terjadi misalnya ketika ada media membuka kesempatan menyumbang bencana alam. Di dalam Gereja hal itu juga terjadi. Uang dana yang dikumpulkan di Lingkungan atau kelompok umat juga dicatat dan dilaporkan. Namun demikian Tuhan Yesus dalam ayat-ayat itu tidak berbicara tentang kegiatan kebersamaan yang berkaitan dengan tata organisasi. Tuhan berbicara tentang tindakan personal dalam bersedekah sebagai salah satu kewajiban agama.


Menjadi Pribadi Utuh

Satu hal yang menarik adalah bahwa memberi sedekah dikaitkan dengan olah sikap agar tidak seperti orang munafik. Sikap munafik terungkap dalam tindakan penonjolan diri. Tindakan berdana tidak dilandasi oleh motivasi batin untuk menyumbang atau memberi secara cuma-cuma tanpa mengharapkan balasan. Pemberian derma dijadikan sarana atau alat untuk unjuk diri agar mendapatkan sanjungan dari banyak orang lain. Bagi kaum lanjut usia agar terbebas dari sikap munafik kiranya perlu menyadari kesejatian lasia. Kitab Suci berkata bahwa “Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran.” (Ams 16:31) Kaum lanjut usia sejatinya menjadi tanda keindahan bagi kehidupan bersama terutama di tengah generasi di bawahnya. Hal ini terjadi karena orang yang sungguh menghayati kesejatian lanjut usia akan menjadi sosok bijaksana (band. Mzm 90:12). Memang, kebijaksanaan kaum lanjut usia diperoleh karena ketekunannya menjalani hidup penuh perjuangan sehingga “kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan” (Mzm 90:10). Hal ini tentu cocok dengan ajaran Jawa bahwa ngèlmu (bukan “ilmu” yang berkaitan dengan pengetahuan, tetapi ngèlmu[1] adalah kebijaksanaan) itu adalah buah dari susah payah perjuangan hidup.

Perjuangan hidup itu tetap terjadi di masa lanjut usia, yaitu kalau kaum lanjut usia bersedia hidup dalam dampingan, bimbingan, dan petunjuk kaum muda. Hal ini dikatakan oleh Tuhan Yesus Kristus “jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” (Yoh 21:18) Orang yang sudah masuk lanjut usia seharusnya sudah sampai pada tahap mampu tidak hidup menurut kehendaknya sendiri. Sebagai pengikut Tuhan Yesus dia sudah sampai pada tahap endapan penghayatan hidup mengikuti kehendak Allah sebagaimana Ibu Maria yang berkata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38) Orang yang dapat menghayati perkembangan diri di lanjut usia akan mengalami kepribadian utuh dan tak ada keretakan antara yang terungkap dan terwujud secara lahiriah dengan yang sebenarnya ada dalam batin. Seorang psikolog, H. Erikson, menyatakan bahwa kaum lanjut usia yang berkembang secara positif akan mengalami hidup bijaksana.

 

Sedekah Model Lanjut Usia 

Berbicara tentang sedekah sebagai kewajiban beragama jelas berkaitan dengan masalah uang. Sedekah ini pada masa Prapaskah di banyak keuskupan biasa disebut sebagai dana APP (Aksi Puasa Pembangunan). Tetapi sebagai kewajiban beragama sedekah tidak hanya di masa Prapaskah. Dalam hal ini kaum lanjut usia pun termasuk yang kena wajib bersedekah. Berkaitan dengan kondisi ekonominya, merujuk ke Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998, ada dua macam corak hidup kaum lanjut usia (lihat http://zelously.blogspot.com/2016/04): 1) Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan aktivitas pekerjaan dalam kata lain masih mampu menghasilkan barang dan jasa; 2) Lanjut Usia Non Potensial adalah lanjut usia yang tidak bisa mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada orang lain. 

Berkaitan dengan kekuatan ekonomi, yang perlu diperhatikan adalah berapa besar uang yang riil dimiliki secara tunai. Bisa jadi yang potensial besaran pemasukan secara nyata lebih kecil daripada yang non potensial karena dia mendapatkan pemberian lebih besar. Memang, bisa saja yang potensial pendapatannya masih ditambah pemberian rutin misalnya dari anak-anak atau sanak saudara bahkan mungkin masih ada dana pensiun. Meskipun demikian, sekalipun potensial atau bahkan potensial plus tambahan pemberian, hal yang harus dicermati adalah sebesar apa pengeluaran rutinnya. Barangkali dia harus menanggung sendiri pajak-pajak bulanan. Barangkali dia juga masih harus membeayai sendiri pengobatan-pengobatan karena kaum lanjut usia pada umumnya sudah rentan akan penyakit. Atau lebih berat lagi barangkali dia juga masih menanggung atau paling tidak membantu kehidupan anak dan atau cucu.

Dalam bersedekah kaum lanjut usia harus memperhitungkan kekuatan nyata yang bisa untuk ambil bagian dalam berdana. Besar atau kecilnya dana tidak ditentukan oleh Gereja. Tuhan Yesus hanya berkata “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut,” (Luk 12:48). Sesedikit apapun jumlah sedekah, yang paling pokok itu adalah wujud totalitas diri mempersembahkan hidup kepada Allah. Sekalipun memberi banyak kalau itu hanya sekedar memenuhi wajib lahiriah dan hanya bagian dari kelimpahan, dapat terjadi itu belum menyentuh lubuk hati rela berkorban. Inilah yang terjadi ketika Tuhan Yesus membandingkan sedekah janda miskin dan kaum kaya. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Mrk 12:43-44)

 

Penghalang Utama 

Kemunafikan adalah hal yang menjadi peringatan utama dari Tuhan Yesus untuk bersedekah. Dari sini kaum lanjut usia perlu memiliki kesadaran batin akan hal-hal yang bisa membuatnya bersikap munafik, yaitu bersedekah untuk menonjolkan diri. Kalau dikuasai oleh rasa ingin terpandang karena tak ketinggalan dalam bersedekah, kaum lanjut usia bisa tidak memperhitungkan perkembangan situasi hidupnya. Barangkali dia memang punya uang banyak. Tetapi barangkali kali dia mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan yang juga membutuhkan beaya besar seperti pajak dan obat-obat rutin.

Sebaliknya, barangkali yang terjadi adalah realita keuangan amat minim. Tetapi demi dihargai oleh orang lain kaum lanjut usia menyumbang melebihi kekuatan dengan meminta uang tambahan dari anak dan atau cucu dengan desakan dan tekanan. Paling celaka kalau dia menyumbang dengan uang hasil berhutang. Tuhan berkata “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” Larangan kiri mengetahui yang diperbuat oleh tangan kanan barangkali juga dapat diperluas dengan larangan untuk mulut menceriterakan dan jari-jari menulis untuk dijadikan kabar bagi orang lain.



[1] Dalam tembang pucung (salah satu model kidung tradisional Jawa) ada ajaran: Ngèlu iku; Kelakoné kanthi laku; Lekasé lawan kas; Tegesé kas nyantosani; Setya budya pangekesé dur angkara (Kebijaksanaan itu; Terjadi sebagai buah perjuangan hidup sehari-hari; Dasarnya adalah kas; Kata kas berarti daya batin; Kesetiaan dalam segala tindakan menjadi penangkal kejahatan).

No comments:

Post a Comment

Jadi Katekumen Masuk Sorga Minggu 5

    "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Ker...